Bagikan:

JAKARTA – Keputusan PDI Perjuangan (PDIP) mengusung Pramono Anung-Rano Karno dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta 2024-2029 dipandang negatif bagi sejumlah kalangan. Namun menurut pengamat politik, partai berlogo banteng moncong putih itu justru tengah melakukan investasi jangka panjang.

Duet Pramono-Rano Karno telah mendaftarkan mereka ke kantor KPUD Jakarta, Rabu (28/8/2024, setelah di malam sebelumnya resmi diusung PDIP. Kedatangan mereka juga ditemani Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Sekretaris Tim Pemenangan Pilkada PDIP Aria Bima.

"Saya Pramono Anung Wibowo dengan Rano Doel Karno mendaftarkan diri menjadi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dari PDI Perjuangan," kata Pramono setelah mendaftar di kantor KPUD Jakarta.

Bahwa PDIP akhirnya memberi restu kepada Pramono Anung, yang sejauh ini masih menjabat sebagai Menteri Sekretaris Kabinet Presiden Joko Widodo, mengejutkan banyak pihak, terutama dari kubu partai itu sendiri.

Komunikasi Jangka Panjang dengan Pemerintah

Kepada VOI, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad menuturkan, PDIP tentu telah mempertimbangkan untung rugi dalam memutuskan memberi dukungan, baik dalam pilpres maupun pilkada. Berdasarkan itulah Anies kemudian kesulitan mendapat parpol pengusung. 

Pada Pilpres 2024 misalnya, dikatakan Andriadi, Anies tidak memberikan keuntungan bagi partai pengusungnya, yaitu PKS, NasDem, dan PKB.

Dari sisi politik, keputusan PDIP lebih memilih Pramono ketimbang Anies merupakan investasi jangka panjang, seperti diungkapkan analis komunikasi politik dari Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio. Ia menduga ada motif, deal-deal-an (kesepakatan tertentu) sama pemerintah, meski ia mengaku ini masih sebatas desas-desus.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago. Meski pemasangan Pramono-Rano di Pilkada Jakarta tidak logis untuk melawan Ridwan Kamil-Suswono, Arifki menganggap ini adalah negosiasi jangka panjang dari PDIP.

Bakal Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Rano Karno menyapa warga dan pendukung saat berjalan menuju Kantor KPU Provinsi DKI Jakarta, Rabu (28/8/2024). (ANTARA/Muhammad Ramdan/tom)

Seperti diketahui, PDIP ditinggal sendiri oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka saat Pilpres 2024. KIM juga makin gemuk dengan tambahan PKB, NasDem, dan PKS yang bergabung di Pilkada Jakarta.

“Tentu banyak variabel yang menyebabkan PDIP akan berhitung lebih baik ke depan. Permasalahan PDIP selama ini kan dengan Jokowi, bukan Prabowo,” ucap Arifki.

“Bahwa mencoret Anies, maka ada negosiasi jangka panjang. Apakah masuk kabinet atau lainnya,” imbuh dia.

Memajukan Anies dinilai terlalu berisiko buat partai merah tersebut. Karena seperti diketahui, eks Gubernur DKI Jakarta ini bukan kader dan belum tentu juga mau ‘nurut’ seperti yang diminta Megawati. Selain itu, Anies juga memiliki catatan negatif dengan Prabowo.

Memilih Anies juga akan mengancam konstelasi politik di tahun 2029. Jika berlayar di Pilkada Jakarta dan akhirnya menang, ia akan menjadi lawan kuat Prabowo, Gibran, Puan Maharani, termasuk Ganjar Pranowo dan Ahok di Pilpres 2029. Karena itu, mematikan kartu Anies lebih awal menguntungkan semua pihak, baik dari internal PDIP maupun pihak di partai lain.

Lalu, mengapa PDIP tak memajukan Ahok, yang elektabilitasnya hanya kalah dari Anies? Mengusung Ahok diyakini Arifki berpotensi memperburuk hubungan PDIP dan Prabowo-Gibran, karena ia adalah simbol perlawanan kepada pemerintah pusat.

“Saya rasa pencalonan PDIP di Jakarta mengusung Pramono-Rano ini sebuah formalitas dan menghargai kader, dan juga agar PDIP tidak terpecah untuk melihat komunikasi politik jangka panjang dengan Prabowo-Gibran,” tegas Arifki.

Pilihan Sulit Anies

Pilkada Jakarta 2024 seharusnya menjadi panggung politik Anies sebelum bertarung di Pilpres 2029. Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai Anies tetap membutuhkan panggung untuk menjaga elektabilitas hingga 2029 mendatang.

“Anies tidak boleh redup lampunya, harus tetap punya panggung. Artinya dia tidak boleh berhenti, tidak boleh mati sebagai politisi adalah punya jabatan sebagai gubernur,” ujar Pangi kepada VOI.

“Dengan menjadi gubernur, berarti dia memiliki program, menjaga elektabiltasnya tetap baik karena dia tetap menjadi sorotan publik,” katanya lagi.

Sayangnya, panggung tersebut gagal didapatkan Anies. Setelah tak mampu meyakinkan partai di Pilkada Jakarta, Anies juga gagal maju di Pilkada Jawa Barat, sebuah isu liar yang sempat beredar di detik-detik penutupan pilkada.

Lalu, apa saja pilihan yang dimiliki Anies ke depannya? Hendri Satrio mengatakan hanya ada dua pilihan yang dimiliki Anies sekarang.

Anies Baswedan bersama Ketua DPD PDIP Ady Widjaja memberikan keterangan kepada wartawan usai menggelar pertemuan tertutup di kantor DPD PDIP, di Cakung,Jakarta Timur,Sabtu (24/8/2024). (ANTARA/Fakhri Hermansyah/foc/am)

Berhenti dari politik dan menjadi profesional atau tetap lanjut berpolitik. Untuk pilihan kedua, Anies tentu perlu bergabung ke partai besar. Namun Hendri memberikan catatan, Anies tak bisa berharap menempati posisi tinggi.

“Ya harus siap berada di posisi yang biasa saja,” ucapnya.

Di sisi lain, Anies juga akan kesulitan melanjutkan karier politik jika bergabung partai menengah seperti PPP, PAN, dan PKS. Karena ia berpotensi menyaingi pamor ketua partainya, menurut Hendri. Pilihan lainnya jika mau tetap berkarier di politik, dituturkan Hendri, adalah membuat partai sendiri, meski ini pilihan sulit. 

Apakah absennya Anies di kontestasi Pilkada 2024 akan serta merta meredupkan namanya menjelang menuju pilpres mendatang?