JAKARTA – Makanan dan minuman manis yang dikonsumsi secara berlebihan ternyata tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental.
Akhir-akhir ini, dampak buruk akibat mengonsumsi makanan dan minuman manis terus menjadi sorotan. Mengutip AI Care, kebanyakan makanan atau minuman manis bisa meningkatkan risiko masalah kesehatan serius. Di antara dampak tersebut adalah obesitas, diabetes, penyakit jantung, gigi berlubang, serta asam urat.
Tak hanya itu, di tengah menjamurnya makanan dan minuman manis kekinian yang sering viral juga meningkatkan risiko kematian dini akibat penyakit tidak menular seperti serangan jantung dan beberapa tipe kanker.
Penelitian yang diterbitkan oleh T.H. Chan School of Public Health Universitas Harvard pada Maret 2019, yang menganalisis data dari 37 ribu laki-laki dan 80 ribu perempuan selama 30 tahun, menemukan bahwa semakin banyak minuman bergula yang dikonsumsi seseorang, semakin besar pula risiko kematian dini bagi orang tersebut.
"Dibandingkan dengan orang yang minum kurang dari satu minuman manis per bulan, meminum minuman manis satu sampai empat porsi sebulan meningkatkan risiko sebanyak satu persen. Minum dua hingga enam per minggu, risiko meningkat enam persen. Satu sampai dua minuman manis per hari, risikonya 14 persen. Sedangkan untuk minum dua atau lebih, risikonya 21 persen," kata Vasanti Malik, ilmuwan dari Harvard's Department of Nutrition dan penulis utama pada penelitian tersebut.
Makan makanan dan minuman manis secara berlebihan ternyata tidak sekadar memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga berdampak negatif pada kesehatan mental.
Hubungan Konsumsi Tinggi Gula dan Depresi
Menurut beberapa penelitian, konsumsi gula berlebih, ditambah konsumsi makanan cepat saji, dapat memicu stres, depresi, dan keinginan bunuh diri terutama di kalangan remaja.
Salah satunya adalah jurnal ilmiah Frontiers in Nutrition tahun 2022 yang ditulis Jin Suk Ra. Dalam jurnal tersebut menyoroti hubungan konsumsi minuman berpemanis atau sugar-sweetened beverages (SSB) dan makanan cepat saji, dengan kesehatan mental di kalangan remaja di Korea Selatan (Korsel).
“Pada remaja Korsel, mengombinasikan konsumsi minuman manis bergula dan makanan cepat saji di atas rata-rata dikaitkan dengan lebih banyak stres, gejala depresi, dan keinginan bunuh diri,” demikian hasil penelitian tersebut.
Studi tersebut dilakukan dengan menganalisis data sekunder lebih dari 24 ribu anak SMA di Korsel, berdasarkan hasil Survei Berbasis Web Risiko Perilaku Remaja Korea ke-17 tahun 2021.
Begitu pula dengan artikel ilmiah Lu Zhang, Haiyang Sun, Zihui Liu, Jiguo Yang, dan Yuanxiang Liu, yang dipublikasikan pada Februari 2024. Artikel ini menyoroti hubungan antara konsumsi gula dan Tingkat depresi.
“Kami menemukan bahwa peningkatan asupan gula makanan sebanyak 100 gram per hari berkorelasi dengan prevalensi depresi yang 28 persen lebih tinggi,” tulis artikel tersebut.
Studi ini melibatkan 18.439 orang dewasa atau di atas 20 tahun dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional Amerika Serikat pada 2011 sampai 2018.
Konsumsi Gula di Indonesia Tinggi
Bagaimana dengan Indonesia?
Masalah depresi dan kesehatan mental mulai menjadi perhatian di Indonesia akhir-akhir ini. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 memetakan prevalensi depresi pada penduduk di atas 15 tahun. Prevalensi depresi orang di atas 15 tahun, dalam dua minggu terakhir, adalah 1,4 persen dari data responden.
Namun ketika dibedah lebih mendalam menurut kelompok umur, data SKI menunjukkan prevalensi depresi yang lebih tinggi justru berada di kelompok umur termuda yaitu rentang usia 15-24 tahun dan kelompok tertua, yaitu 65-74 tahun dan 75 tahun ke atas.
“Pada kelompok usia 15-24 tahun prevalensinya mencapai dua persen,” demikian laporan SKI.
Namun perlu dicatat bahwa SKI 2023 tidak mengaitkan masalah depresi dengan konsumsi makanan maupun minuman manis. Tapi survei yang sama menunjukkan tingginya konsumsi makanan dan minuman manis di kalangan masyarakat Indonesia.
Mayoritas orang Indonesia, tepatnya 56,2 persen, rata-rata mengonsumsi makanan manis 1-6 kali dalam seminggu. Bahkan sekitar 1 dari 3 orang Indonesia (33,7 persen) mengonsumsi makanan manis lebih dari satu kali sehari.
Demikian pula dengan konsumsi minuman manis. Sebanyak 47,5 persen responden mengaku minum minuman manis lebih dari satu kali dalam sehari, sedangkan 43,3 persen lainnya minum minuman manis 1-6 kali dalam sepekan.
Yang termasuk makanan manis berdasarkan klasifikasi SKI 2023 adalah makanan yang mengandung gula tinggi, termasuk yang lengket. Sedangkan minuman mamnis adalah yang mengandung gula tinggi, tapi berbeda dari minuman berkarbonasi.
SKI 2023 memasukkan kategori makanan dan minuman manis dalam kategori makanan yang berisiko terhadap penyakit degeneratif seperti jantung coroner, hipertensi, diabetes melitus, dan kanker.
Obesitas Timbulkan Rasa Kurang Percaya Diri
Berbeda dengan Korsel dan AS yang telah melakukan penelitian mengenai hubungan konsumsi makanan dan minuman manis dengan tingkat depresi, di Indonesia sebenarnya belum ada penelitian komprehensif yang mampu menunjukkan korelasi dua hal tersebut.
Tapi psikolog klinis dari Ohana Space, Rafika Syaiful M.Psi., menjabarkan keterkaitan konsumsi gula berlebih dengan kesehatan mental. Menurut Rafika, obesitas akibat konsumsi gula berlebih berpotensi menimbulkan kurangnya rasa percaya diri terhadap penderitanya.
“Ketika orang obesitas kan pasti ada rasa minder, ada rasa nggak nyaman dengan diri sendiri. Akhirnya bisa mengarah juga ke kecemasan, bisa juga sampai depresi,” kata Rafika.
Lebih lanjut, Rafika juga menyoroti kebiasan orang yang umumnya mengonsumsi makanan dan minuman manis untuk meredakan stres.
BACA JUGA:
Padahal konsumsi makanan dan minuman manis berlebih dalam jangka panjang bisa mengaktifkan Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis atau HPA Axis (struktur kecil di otak dan seukuran buah kenari). HPA Axis ini terhubung ke sistem saraf pusat dan sistem endokrin. Mereka bekerja sama mengatur keseimbangan hormon dalam tubuh dan memengaruhi respon stres.
Respons stres merujuk pada bagaimana tubuh bereaksi terhadap peristiwa stres, termasuk peningkatan detak jantung atau keringat.
Sederhananya, ketika terlalu sering mengonsumsi makanan maupun minuman manis, hingga memengaruhi HPA, maka seseorang akan merasa stres, lalu mengatasi perasaan tersebut juga justru dengan gula. Menurut Rafika, pola semacam ini seperti lingkaran setan.