Bagikan:

JAKARTA – Pengguna moda transportasi kereta rel listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek dihebohkan rencana pemberian subsidi berbasis Nomor Induk Kependudukan atau NIK. Sejumlah pengamat penyebut kebijakan ini akan menimbulkan dampak bagi para penumpang, salah satunya pengelompokan sosial.

Belum lama ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana mengubah skema pemberian subsidi tiket KRL Jabodetabek menjadi berbasis NIK. Dengan penerapan tiket KRL berbasis NIK, pemerintah ingin subsidi PSO disalurkan lebih tepat sasaran.

Sebagai informasi, selama ini seluruh tiket KRL Jabodetabek disubsidi pemerintah dalam bentuk public service obligation (PSO), sehingga pemberian subsidi dilakukan secara merata kepada seluruh penumpang KRL.

Namun rencana ini ditentang sejumlah kalangan, khususnya para pengguna KRL. Armada kereta yang masih kurang serta masa tunggu yang cukup lama di beberapa rute seharusnya menjadi perhatian pemerintah, menurut pengguna KRL. Selain itu, diberlakukannya kebijakan ini juga malah menambah beban kelas menengah.

Kenyamanan KRL Dipertanyakan

Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan, rencana ini sebenarnya telah mencuat sejak 2023 namun belum terealisasi sampai sekarang. Menurutnya, rencana ini didorong pemerintah dengan memasukkannya pada Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan APBN Tahun Anggaran 2025.

"Di 2025 memang ada banyak penurunan alokasi APBN. Salah satunya kan pasti konsekuensinya ada juga subsidi atau keperintisan yang itu harus disesuaikan. Makanya ini sebenarnya selaras dengan rencana untuk tarif KRL berbasis NIK itu supaya tepat sasaran karena memang keterbatasan dananya," jelas Adita.

Kendati demikian, Adita menyebut rencana ini belum tentu diterapkan pada 2025 karena masih menunggu hasil kajian pemerintah.

Meski belum ada kepastian soal jadi tidaknya kebijakan ini, namun mayoritas pengguna KRL mengeluhkan rencana ini.

Suasana gerbong khusus wanita KRL rute Tanah Abang-Rangkasbitung. (VOI/Dewi)

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menuturkan, wacana pemberian subsidi berbasis NIK untuk tiket KRL Commuter Line Jabodetabek sebenarnya memiliki tujuan yang baik, salah satunya untuk pemerataan subsidi di seluruh daerah.

Namun ia mengatakan subsidi berbasis NIK ini tidak bisa diimplementasikan dalam waktu dekat. Itu karena kondisi armada saat ini belum memungkinkan untuk diterapkan pembedaan pembayaran tiket antara pengguna yang mampu dan tidak mampu.

“Secara keseluruhan dampaknya positif, tapi jangan dulu diberlakukan sekarang. Kenapa masyarakat marah atau tidak terima? Karena saat ini mereka menikmati KRL yang tidak nyaman,” kata Djoko.

Anggaran Subsidi Jomplang

Kepada VOI, Djoko menuturkan, tarif KRL Jabodetabek tidak mengalami penyesuaian atau kenaikan sejak 2016.

Dalam survei yang dilakukan terhadap pengguna KRL Jabodetabek oleh Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) pada 2016 menyebutkan, penumpang yang memiliki penghasilan Rp3 juta-Rp7 juta per bulan sebanyak 63,78 persen.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Ardianta, Hengki Purwoto dan Agunan Samosir dalam Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik Trisakti (Juli 2022) menyimpulkan, pemberian PSO KRL Jabodetabek tidak tepat sasaran karena sekitar 60 persen pengguna adalah kelompok mampu.

Dengan penerapan subsidi berbasis NIK, kata Djoko, merupakan upaya untuk pemerataan subsidi di wilayah lainnya. Pada 2023, ia menambahkan, pemerintah menganggarkan PSO untuk perkerataapian sebesar Rp3,5 triliun. Dari dana tersebut, sebanyak Rp1,6 triliun atau 0,48 persen diberikan untuk PSO KRL Jabodetabek.

Angka ini berbeda jauh dengan anggaran untuk bus perintis di 36 provinsi pada tahun yang sama, yaitu Rp177 miliar atau hanya 11 persen dari PSO KRL Jabodetabek. Djoko menilai subsidi ini tampak sangat jomplang.

KRL melintas di samping Stasiun Pondok Rajeg yang telah selesai dibangun, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/7/2024). (ANTARA/Yulius Satria Wijaya/foc)

“Sungguh tidak berimbang. Kepentingan layanan transportasi umum daerah 3 T (Terdepan, Tertinggal dan Terluar) se-Indonesia kalah jauh ketimbang warga Jabodetabek,” tutur Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata ini.

"Indonesia kan bukan Jabodetabek saja, banyak lho daerah lain itu enggak kebagian padahal mereka penghasil mineral kayak Morowali, Halmahera, tetap melarat masyarakatnya," ucap Djoko.

Terkait pemberian subsidi tiket KRL Jabodetabek, ia menyarankan agar tidak diberikan setiap hari, melainkan hanya di hari kerja. Di hari libur seperti Sabtu dan Minggu serta hari libur nasional bisa dikenakan tarif biasa.

Dengan menerapkan tarif seperti itu, dana yang tidak digunakan bisa dialihkan untuk program lain yang lebih membutuhkan.

"Kalau (kata) saya, Sabtu-Minggu, nggak usah disubsidi juga. Kita bisa hemat sampai berapa? Akhir pekan, hari libur nggak subsidi ya, itu bisa menghemat sepertiganya, dari Rp1,6 triliun. Nah artinya uang seperti itu dilarikan ke daerah lain yang membutuhkan," kata Djoko.

Menimbulkan Kelas Sosial

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menilai kebijakan tarif KRL berbasis NIK bisa menimbulkan pengelompokkan sosial di masyarakat.

Ia khawatir jika rencana ini diimplementasikan, nantinya akan menimbulkan semacam segregasi sosial dan muncul ‘kelas penumpang’ yang bersubsidi dan tidak bersubsidi. Menurut Deddy, dari segi bisnis hal itu sangat berpotensi terjadi di lapangan. Padahal pada dasarnya, transportasi umum bebas digunakan oleh lapisan masyarakat mana pun.

Perbedaan kelas antara yang mendapat subsidi dengan yang tidak, dituturkan Deddy, tidak relevan diaplikasikan di transportasi umum.

"Mungkin juga bisa berdampak secara bermacam-macam, sekarang dengan tarif yang sama pun, ada gejolak misal rebutan tempat duduk, nanti apalagi kalau ada yang merasa bayar mahal, dia tentu akan merasa lebih berhak karena bayar mahal, kamu kan tidak bayar," kata Deddy.

Padahal dari sisi fasilitas dan pelayanan, PT KAI sebagai operator KRL juga diragukan bisa memberikan lebih kepada para pengguna, baik yang membayar dengan subsidi maupun yang tidak.

"Ya tidak ada yang salah itu, secara bisnis memang begitu, dia bayar ya berhak dilayani. Misal yang satu bayar Rp10.000, dan satu bayar Rp1.000. Jadi memang sulit untuk disamaratakan terkait pelayanananya," pungkasnya.