JAKARTA - Lembaga pemerhati kelautan Destructive Fishing Watch (DFW) mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) segera menindaklanjuti temuan 16 ribu kapal tak berizin yang melaut di perairan Indonesia.
Peneliti DFW Indonesia Muhamad Arifuddin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu, mengatakan informasi yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan terkait 16 ribu kapal tak terdaftar di KKP mesti dibuktikan kebenarannya untuk segera memperbaiki tata kelola perikanan.
“Karena disampaikan langsung oleh Menteri, maka tingkat kebenaran dan akurasi informasi tersebut sangat valid” kata Arif seperti dikutip Antara.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya mengatakan data kapal ikan di KKP tercatat sebanyak 6.000, sedangkan data yang terdaftar di Kementerian Perhubungan sebanyak 22.000, atau selisih 16.000 kapal yang tak terdaftar di KKP.
Oleh karena itu, lanjut Arifuddin, Menteri Kelautan dan Perikanan harus segera menindaklanjuti langsung informasi tersebut dengan melakukan koordinasi dengan Menteri Perhubungan untuk memastikan dan klarifikasi.
“Jika benar ada perbedaan data, mesti dicari sebabnya, apakah ada perbedaan format data dan penyajian atau secara faktual ada perbedaan angka” kata Arif. Menurut dia, Pemerintah Indonesia mestinya mempunyai satu data tentang jumlah kapal ikan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia.
Dia menyebutkan agar pengungkapan data 16.000 kapal tersebut dapat dilakukan dalam waktu dekat. “Tantangan implementasi penangkapan ikan terukur makin bertambah dengan perbedaan data ini” kata Arif.
Sementara itu Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan salah satu prinsip bisnis termasuk usaha perikanan tangkap adalah adanya kepastian. “Jika data kapal saja tidak pasti dan terdapat dualisme informasi, maka pelaku usaha akan berpikir ulang untuk berinvestasi,” kata Abdi.
Abdi menyebut jika hal tersebut benar, maka beroperasinya 16.000 kapal tidak berizin selama ini telah menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat.
“Artinya selama ini negara mengalami kerugian dari hilangnya data hasil tangkapan, produksi, PNBP dan pajak dari beroperasinya 16.000 kapal tersebut,” kata Abdi.
Abdi menambahkan perlu adanya perbaikan yang fundamental dari tata kelola perikanan.
“Perlu pemetaan rantai hulu-hilir dan titik permasalahan sensitif yang menjadi faktor penghambat yang menyebabkan bisnis perikanan tangkap selama ini menjadi tidak transparan,” katanya.