Bagaikan Langit dan Bumi, <i>Tax Amnesty</i> Jilid II Kalah Jauh dari Jilid I
Ilustrasi (Foto: Dok. Kemenkeu)

Bagikan:

JAKARTA – Penyelenggaran Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang digelar oleh pemerintah sejak awal tahun bakal segera berakhir pada 30 Juni mendatang.

Program yang kerap disebut sebagai pengampunan pajak alias tax amnesty ini merupakan gelaran kedua setelah sebelumnya pemerintah memberlakukan skema yang sama pada 2016-2017 silam.

Lantas, bagaimana perbandingan kesuksesan di antara dua program perpajakan ini?

Mengutip data yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, diketahui bahwa bahwa hingga Kamis pagi, 9 Juni 2022 tercatat jumlah wajib pajak (WP) yang mengikuti tax amnesty jilid II berjumlah 68.762 WP.

Dari angka itu nilai harta yang dideklarasikan mencapai Rp144,2 triliun. Kemudian, nilai bersih yang masuk ke kantong negara melalui penarikan pajak penghasilan (PPh) adalah sebesar Rp14,4 triliun.

Sementara untuk tax amnesty jilid I, jumlah peserta program mencapai lebih dari 956.000 peserta dengan total harta yang diungkap mencapai sekitar Rp4.800 triliun. Adapun, penerimaan yang masuk ke kas negara sebesar Rp135 triliun.

Perbedaan yang cukup signifikan itu membuat jajaran DJP Kemenkeu melakukan sejumlah strategi khusus demi menggenjot tingkat partisipasi wajib pajak dalam agenda PPS tahun ini.

“Kami terus menggencarkan sosialisasi dan kampanye yang dilakukan tidak hanya oleh kantor pusat tetapi juga kantor pajak di seluruh Indonesia,” ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam paparan realisasi APBN beberapa waktu lalu.

Menurut Suryo, pihaknya juga melakukan himbauan melalui surat kepada WP berdasarkan data yang selama ini dikumpulkan.

“Kami mendapat data ini dari rekening wajib pajak, serta data aset mereka agar segera melaporkan apabila ada harta yang di SPT pada 2020 dan 2015 jika ada yang belum diungkap,” tuturnya.

Berdasarkan ketentuan, Program Pengungkapan Sukarela kali ini mengenakan tarif 8 persen hingga 11 persen untuk harta yang belum dilaporkan dengan tahun perolehan sebelum Desember 2015.

Kemudian, tarif sebesar 12 persen sampai dengan 18 persen harta yang diperoleh dari 2016-2020 namun belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020.