Bertemu Jokowi, Sri Mulyani Bawa Kabar Gembira dengan Berjanji Kurangi Utang Luar Negeri: Penerbitan SBN Ritel Akan Diperkuat
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) memberikan keterangan pers usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta (Foto: Tangkap layar Youtube Sekretariat Presiden)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah sedapat mungkin menghindari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di luar negeri untuk periode 2022 mendatang. Keputusan tersebut disampaikan Menkeu usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta pada awal pekan ini.

Menurut Menkeu, langkah ini tidak lepas dari proyeksi pemerintah atas ketidakpastian yang berlanjut di pasar keuangan mancanegara.

“Kita akan terus menjaga pembiayaan secara hati-hati karena tahun depan terjadi beberapa dinamika global yang harus kita waspadai,” ujarnya melalui saluran virtual, dikutip Selasa, 30 November.

Menkeu menambahkan, berapa indikasi tersebut dapat dilihat dari kenaikan inflasi yang cukup tinggi di beberapa negara Eropa akibat dampak krisis energi pada penghujung 2021.

“Kita juga akan mewaspadai harga komoditas serta dari sisi perekonomian, baik dari situasi yang terjadi di China maupun Amerika Serikat yang kemungkinan mereka akan menghadapi tekanan atas dinamika ini,” tuturnya.

Meski demikian, bendahara negara tidak menutup kemungkinan jika pemerintah akan tetap melepas SBN bagi market asing dengan sederet pertimbangan mendalam.

“Oleh karena itu target dan timing lelang untuk SBN akan dilakukan secara hati-hati menyesuaikan dinamika pasar,” tegas dia.

Sebagai gantinya, pembiayaan akan difokuskan ke segmen dalam negeri yang pengelolaan risikonya cenderung bisa dijaga. Sebab, pemerintah mempunyai kemampuan untuk melakukan penetrasi ke sistem ekonomi domestik melalui sejumlah kebijakan strategis maupun insentif dan stimulus.

“Kita akan menggunakan optimalisasi penerbitan SBN ritel untuk bisa memperkuat ritel investor di Indonesia dan di dalam negeri,” ucap dia.

Selain itu, Menkeu mengungkapkan pula jika pemerintah akan meningkatkan sumber daya keuangan alternatif yang memiliki dampak rendah.

“Kita akan mengandalkan sumber pembiayaan nonutang seperti saldo kas dari BLU (badan layanan umum), SAL (saldo anggaran lebih) dan Silpa (sisa lebih pembiayaan anggaran), serta tentu kita akan terus melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia serta otoritas terkait,” jelas Menkeu.

Tepati janji

Dalam pemberitaan VOI sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) disebutkan bakal menjaga pengelolaan utang secara hati-hati melalui komposisi SBN domestik yang lebih besar daripada utang dalam bentuk valuta asing. Hal itu diungkapkan dalam siaran resmi APBN Kita edisi Oktober 2021 yang dirilis oleh Kemenkeu.

“Pemerintah secara konsisten berusaha untuk menurunkan pinjaman luar negeri dan SBN dalam valuta asing sebagai upaya untuk mengurangi eksposur terhadap utang pemerintah,” ungkap lembaga pimpinan Sri Mulyani itu.

Asal tahu saja, posisi utang per September 2021 telah mencapai Rp6.711,52 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 41,38 persen produk domestik bruto (PDB).

DIkatakan bahwa posisi utang pemerintah pusat mengalami kenaikan sebesar Rp86,09 triliun apabila dibandingkan posisi utang akhir September 2021.

“Kenaikan utang Indonesia terutama disebabkan adanya kenaikan utang dari Surat Berharga Negara domestik sebesar Rp89,08 triliun sementara Surat Berharga Negara dalam valuta asing mengalami kenaikan sebesar Rp6,2 triliun. Kemudian, untuk pinjaman terjadi penurunan sebesar Rp9,19 triliun,” ungkap rilis Kemenkeu.

Terpisah, Bank Indonesia (BI) melaporkan jika jumlah cadangan devisa RI menurun sebesar 1,4 miliar dolar AS dalam satu bulan terakhir, dari 146,9 miliar dolar AS pada September 2021 menjadi 145,5 miliar dolar AS di Oktober 2021.

“Penurunan posisi cadangan devisa pada Oktober 2021 antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah,” ungkap Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan pers pada awal bulan ini.

Untuk diketahui, kondisi utang RI tergolong masih cukup mumpuni mengingat dalam Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003 menyebut jika batas maksimal utang tidak boleh melampaui 60 persen PDB.