Janji Jokowi Berantas Mafia Tanah Harus Didukung Sebab Konflik Agraria di Era Kepemimpinannya Meningkat Tajam
Presiden Joko Widodo (Foto: BPMI Setpres/Rusman)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji akan memberantas mafia-mafia tanah. Di saat yang bersamaan belakangan ini perkara sengketa tanah sedang banyak terjadi. Bagaimana datanya?

Jokowi menegaskan pemerintah berkomitmen untuk memberantas mafia tanah. Hal tersebut demi mewujudkan reformasi agraria dan kepastian agraria.

"Dan kepastian terhadap ketersediaan ruang hidup yang adil bagi masyarakat. Termasuk, komitmen penuh dalam memberantas mafia-mafia tanah," kata Jokowi lewat akun Twitternya.

Selain itu Jokowi juga mengingatkan supaya Polri tak boleh ragu mengusut mafia tanah. "Dan jangan sampai ada aparat penegak hukum membekingi mafia tanah."

Jokowi mengatakan tak ingin rakyat kecil tak mempunyai kepastian hukum terhadap lahan yang menjadi sandaran hidup mereka. Sementara ia juga tak ingin para pengusaha "tidak mempunyai kepastian hukum atas lahan usahanya."

Sengketa tanah

Pernyataan Jokowi ini keluar bertepatan dengan banyaknya kasus sengketa tanah yang terjadi belakangan ini. Misalnya saja belum lama ramai kabar Anggota Badan Pembinda Desa (Babinsa) TNI di Kota Manado, Sulawesi Utara berurusan dengan oknum Brimob yang membela PT Ciputra Internasional. Babinsa itu kabarnya disantroni oknum Brimob lantaran membela tanah milik warga. 

Begini duduk perkaranya. Seperti dikutip Pikiran Rakyat, masalah itu bermula ketika Ari Tahiru (67 tahun) warga setempat, meminta pertolongan kepada anggota Babinsa TNI AD.

Ari yang diketahui warga buta huruf berusaha mempertahankan lahan hasil warisan dari PT Ciputra Internasional atau Ciputra Land. Ia berkeras lahan tersebut sah sebagai hasil warisan dan bisa dibuktikan dengan hasil keputusan Mahkamah Agung (MA).

Kemudian tiba-tiba oknum Brimob bersenjata dengan membawa surat tugas mempertanyakan alasan Babinsa Winangun Atas ikut campur persoalan lahan yang diklaim milik PT Ciputra Internasional. Setelah itu, anggota Babinsa dipanggil tertulis ke Polres Manado.

Mengetahui hal tersebut, Inspektur Kodam (Irdam) Brigjen Junior Tumilaar protes. Ia menyebut Babinsa diajari untuk tak menyakiti dan menakuti hati rakyat.

Brigjen Junior lantas menulis surat terbuka kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. Sementara itu Kapendam XIII/Merdeka Letkol Inf Jhonson Sitorus menjelaskan undangan klarifikasi dari Polresta Manado kepada Babinsa Winangun Atas tidak jadi dilaksanakan dengan alasan tidak melalui jalur koordinasi lintas insitutsi.

Selain itu, perkara serupa yang ramai diperbincangkan adalah sengketa lahan PT Sentul City versus Aktivis Rocky Gerung. Kasus ini bermula saat Rocky mendapat somasi untuk membongkar rumahnya di Desa Bojong Koneng, Babakan Madang, Kabupaten Bogor.

Rocky Gerung (Foto: Dok. Antara)
 

Dalam somasinya, perusahaan memperingatkan bila Rocky memasuki wilayah itu, akan ditindak tegas atas dugaan tindak pidana Pasal 167,170, dan Pasal 385 KUHP. Ia diberi waktu 7x24 jam untuk membongkar dan mengosongkan rumahnya. Jika tidak, perseroan akan meminta bantuan Satpol PP untuk merobohkannya.

Masing-masing punya klaim yang kuat dari sengketa ini. Seperti dikutip Kompas, PT Sentul City mengklaim pemilik sah atas tanah yang diklaim Rocky Gerung karena memegang hak atas bidang tanah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HBG). Perseroan juga mengantongi Surat Keputusan (SK) dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat tentang Persetujuan Izin Lokasi dan Pembebasan Tanah.

Sementara menurut Kuasa hukum Rocky Gerung, Haris Azhar, kliennya sudah tinggal di lokasi tersebut sejak 2009 dan mendapatkannya secara sah. Rocky, kata Haris, juga memiliki surat keterangan tidak bersengketa yang ditandatangani Kepala Desa Bojong Koneng pada waktu itu.

Atas somasi ini, Rocky Gerung berencana menggugat balik PT Sentul City Tbk dengan nilai gugatan sebesar Rp 1 triliun. Besarnya nilai gugatan immaterial itu lantaran tempat tinggalnya sangat berharga karena memiliki banyak kenangan.

Anomali

Janji Presiden Jokowi untuk memberantas mafia tanah dan menyelesaikan konflik agraria sejatinya patut didukung. Bukan cuma itu, janji tersebut juga perlu didorong agar pengejawantahannya terlaksana tak hanya sebatas ucapan belaka. Pasalnya, konflik agraria selama masa pemerintahan Jokowi memang meningkat signifikan dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.

Ada yang menarik dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (pdf). Pada Laporan Akhir Tahun 2020, KPA mencatat ada anomali yang terjadi dari data konflik agraria sepanjang tahun tersebut.

Logikanya, saat krisis pandemi COVID-19 melanda menurut KPA hal ini akan mampu menahan laju letusan konflik agraria. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang minus asumsinya akan mempengaruhi banyak rencana investasi dan ekspansi kelompok bisnis dalam negeri dan luar negeri.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. "Terjadi sebuah anomali, pandemi dan pertumbuhan ekonomi yang minus ternyata tidak mampu menahan apalagi menghentikan laju ekspansi korporasi untuk merampas tanah-tanah masyarakat," tertulis.

Ilustrasi penyelesaian sengketa lahan (Foto dari Antara)

Seperti kita ketahui, di awal 2020, ekonomi kita berada di ambang resesi akibat pertumbuhan yang minus. Bahkan kuartal II, Kementerian Keuangan mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia -5,32 persen akibat kebijakan pembatasan PSBB.

"Meski demikian, situasi krisis ekonomi dan PSBB tidak melumpuhkan praktik-praktik perampasan tanah dan pengadaan tanah yang represif oleh badan usaha raksasa. Akibatnya letusan konflik agraria di lapangan terus berlangsung selama masa pandemi," tulis KPA. 

Meningkat dua kali lipat

Sepanjang 2020 KPA mencatat telah terjadi 241 letusan konflik agraria di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar. Dibanding tahun 2019 sebanyak 279 konflik, penurunan hanya berkisar 14 persen di tahun ini.

Sebagai perbandingan, pada kuartal periode April-September tahun 2019 perekonomian kita mencatat pertumbuhan sebesar 5,01 persen, dan letusan konflik agraria pada periode tersebut tercatat sebanyak 133 letusan konflik. Sementara pada periode yang sama di tahun 2020, di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai minus 4,4%, justru letusan konflik agraria mencapai 138 kejadian.

Lalu untuk perbandingan lait, pada saat krisis ekonomi global terjadi juga pada 2008, data konflik agraria KPA menunjukkan menurunnya angka letusan konflik agraria. "Pada tahun 2008, KPA mencatat “hanya” 24 letusan konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun tersebut. Namun, situasi saat ini berbanding jauh, dengan terjadinya 241 letusan konflik agraria yang terjadi di tahun 2020 di tengah ekonomi nasional sedang mengalami resesi."

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika membeberkan konflik agraria di era Jokowi yang baru berjalan 7 tahun ini meningkat drastis. Bahkan menurut dia jumlah konflik agraria terpaut jauh dari pemerintahan era sebelumnya.

Dewi membeberkan selama 2015 hingga sekarang tercatat ada 2.291 konflik agraria. Jumlah ini dua kali lipat dibandingkan 10 tahun era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebanyak 1.770 konflik agraria.

"Ini menunjukkan adanya proses perampasan tanah yang sangat masif di seluruh wilayah Indonesia baik di desa yang ditempati masyarakat agraris, bahari, pedesaan, adat, dan petani. ini krisis agraria yang tak berkesudahan," kata Dewi. Ia menyebut hal ini tak boleh dibiarkan, sebab Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 menegaskan bahwa hukum agraria nasional harus mewujudkan nilai-nilai Pancasila.

Dewi juga mengungkap bahwa 68 persen daratan Indonesia sudah dikuasai oleh satu persen kelompok pengusaha dan koorporasi besar, ini merupakan ketimpangan penguasaan lahan terburuk sejak UUPA disahkan. Dan kondisi ini semakin diperparah dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah.

*Baca Informasi lain tentang KONFLIK AGRARIA atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya