Bagikan:

JAKARTA - Pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) untuk sekolah tingkat dasar dan menengah berakibat pada kemunculan sejumlah klaster COVID-19. Dilematis. Kami paham PTMT harus dilakukan untuk menghindari learning loss. Hanya saja, tepatkah strategi membuka pendidikan dasar dan menengah terlebih dulu ketika lebih banyak 'anak kampus' yang tersentuh vaksinasi?

Sejak 30 Agustus lalu, pemerintah memberlakukan PTMT untuk sekolah tingkat PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, MTs, MA hingga MI yang berada di zona Level 3, 2, dan 1. Hari ini, hampir satu bulan sejak diselenggarakan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat 1.296 sekolah yang melaporkan klaster COVID-19.

Angka itu berarti 2,78 persen dari total 46.500 sekolah yang telah menerapkan PTMT. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah (PAUD Dikdasmen) Jumeri, data dihimpun hingga 20 September. Ia merinci sebaran klaster sekolah berdasar jenjang: SD ada 581 sekolah, PAUD (525), SMP (241), SMA (170), SMK (70), SLB (13).

Dari laporan itu, 11.615 siswa positif COVID-19. Siswa SD jadi yang paling banyak tertular, dengan angka hingga 6.908 siswa. Pun dengan guru-gurunya, yang catatkan penularan hingga 3.174. Di tingkat SMP, penularan tercatat atas 2.220 siswa dan 1.502. Di PAUD terdapat 953 siswa dan 2.007 positif COVID-19. Kemudian, di tingkat SMA, 794 siswa dan 1.915 guru positif.

PTM di sebuah sekolah di Jakarta (Sumber: Antara)

Catatan lain dari lingkup SMK dan SLB. Masing-masing mencatatkan penularan pada 609 dan 1.594 (siswa/guru) serta 131 dan 112 (siswa/guru). Meski begitu Jumeri tak berpikir langkah mundur. Ia tetap mendorong pembukaan sekolah lain demi mengejar ketertinggalan dari learning loss akibat pandemi. Saat ini baru 42 persen dari total 540.979 sekolah di Indonesia yang PTMT.

"Kami butuh dukungan dari daerah untuk memperbolehkan sekolah di PPKM level 1-3 untuk segera membuka PTM Terbatas, Dinas Kesehatan masing-masing daerah juga untuk mengakselerasi vaksinasi tenaga pendidik yang sudah menjadi prioritas," tutur Jumeri, melansir laman resmi Kemendikbudristek, Rabu, 22 September.

Penetapan kebijakan PTMT ini diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4, Level 3, Level 2 Coronavirus Disease 2019 di wilayah Jawa dan Bali. Kebijakan PTMT juga diikuti dengan penerbitan pedoman pembukaan sekolah dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri.

Jumeri juga menjelaskan, bagaimanapun penularan yang terjadi di lingkungan sekolah relatif kecil. Angka 2,8 persen itu jadi dasar sikap Jumeri. Menurut Jumeri, persentase penularan yang dicatat ini juga bukti bahwa protokol kesehatan ketat yang diberlakukan sekolah-sekolah berjalan baik. Pun ketika klaster terjadi. Sesuai SKB 4 Menteri, otoritas langsung bergerak.

"Mematuhi SKB 4 Menteri, termasuk di dalamnya pemerintah daerah menutup sekolah, menghentikan PTM Terbatas, melakukan testing, tracing, dan treatment jika ada temuan kasus positif COVID-19," katanya.

Tepatkah prioritas PTMT pada anak usia sekolah?

Pengamat pendidikan, Doni Koesoema mengatakan capaian nyata vaksinasi adalah satu dari sejumlah variabel yang harus dilihat secara komprehensif sebagai pertimbangan kebijakan PTMT. Selain capaian vaksinasi, variabel lainnya adalah zonasi dan evaluasi lain terkait kesiapan sekolah, orang tua dan siswa.

Maka persoalannya bukan pada anak sekolahan yang lebih dulu PTMT ketimbang anak kuliahan atau sebaliknya. "Tapi analisis kondisi COVID-19 di kabupaten atau kota serta kesiapan sekolah dan orang tua. Harus ada analisis pemda terhadap pembelajaran di sekolah dan analisis sekolah terhadap pembelajaran anak selama di rumah," tutur Doni kepada VOI, Rabu, 22 September.

Dari sisi epidemiologi, Dicky Budiman, epidemiolog Griffith University, Australia menilai prioritas PTMT sudah benar. Dalam COVID-19, data epidemiologis dunia masih menunjukkan bahwa semakin muda, potensi penularan semakin minim. "Usia di bawah 17 tahun itu proporsi orang terinfeksi jauh lebih kecil. Makin tua makin besar potensi risikonya," kata Dicky, dihubungi VOI.

Hal itu terjadi karena reseptor ACE2 pada anak jauh lebih sedikit. Reseptor ACE2 adalah protein membran tipe I yang jadi pintu masuk SARS-COV-2, virus laknat penyebab COVID-19. "Namanya reseptor penerimanya sedikit, sel penerimanya sedikit jadi kecil kemungkinan. Bukan berarti tidak mungkin ya," tambah Dicky.

Selain itu, secara imunitas anak-anak belum berkembang sempurna. Hal ini yang membuat mereka lebih aman dari potensi fatalitas. Dicky mengatakan kebanyakan kasus kematian dan fatalitas COVID-19 terjadi ketika respons imunitas tubuh manusia yang berlebihan: badai sitokin. Maka, pada anak, risiko perparahan ini relatif lebih rendah.

PTMT harus lanjut, vaksinasi wajib mengejar

Doni Koesoema menyebut ini dilematis. Learning loss harus segera diatasi. Tapi sekali lagi, dasar kebijakan PTMT tak bisa dilepaskan dari capaian nyata vaksinasi. Selain vaksinasi, variabel lainnya adalah zonasi wilayah berdasar pertumbuhan kasus. Maka, Kemendikbudristek memang memerlukan dukungan. PTMT harus lanjut. Vaksinasinya wajib mengejar.

"Learning loss harus segera diatasi. Kalau Pemerintah tidak bisa melakukan serentak, buatlah prioritas. Terutama di daerah yang paling banyak terdampak. Buat evaluasi yang objektif lalu diintervensi sesuai kebutuhan daerah, sekolah, dan siswa," tutur Doni.

Intinya, penerapan kebijakan PTMT harus selaras dengan strategi dasar penanganan pandemi berbasis sains. Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman sepakat. Sekolah, menurut Dicky memiliki posisi dan fungsi yang unik dalam perspektif pandemi. Pandemi pada dasarnya memang tak boleh mematikan aspek kehidupan manusia.

Dalam hal pendidikan, sama pentingnya melindungi siswa dengan memastikan terpenuhinya hak-hak pembelajaran mereka. Bahkan ada kesepakatan global yang mendorong prosedur standar agar sekolah jadi sektor yang paling pertama buka ketika situasi pandemi membaik dan yang terakhir tutup saat wabah memburuk. Kesepakatan itu kata Dicky didasari argumentasi saintifik.

“Bahwa sekolah itu bukan hanya anak-anak belajar tapi ada dampak besar. Dampak besar buat si anak, dampak besar buat negeri ini. Satu bangsa. Ini bukan hanya masalah kesehatan saja. Ada juga masalah yang menyangkut keberadaan satu bangsa di generasi mendatang. Itulah sebabnya kenapa masalah memberlakukan pembukaan sekolah jadi satu prioritas yang sangat penting,” kata Dicky.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

“Bahkan pada situasi wabah yang sangat terbatas seratus tahun lalu pun kondisi ini sudah terus diberlakukan bahwa anak-anak masih sekolah, bahkan di outdoor. Dan itu memang sesuai strategi pandemi di mayoritas negara bahwa saat ini sudah bisa mulai dilakukan pembukaan sekolah. Dengan cara tentu ada jaring pengamannya. Jadi kalau ada yang menganggap sekolah harus tutup, selain itu salah kaprah, itu tidak sesuai dengan argumentasi ilmiah,” tambah Dicky.

Sekarang tinggal bagaimana otoritas menggencarkan vaksinasi di kelompok anak usia sekolah, paling tidak usia 12-17 tahun. Pada dasarnya vaksinasi untuk 12-17 tahun sudah berjalan. Namun jika melihat data, lajunya masih jauh dari ideal. Catatan Kemenkes hingga 30 Agustus mencatat vaksinasi 12-17 tahun pada dosis pertama baru menyentuh 2,61 juta atau 9,81 persen.

Sementara data vaksin kedua pada kelompok tersebut masih 1,64 juta atau 6,15 persen. Meski meyebut risiko minim fatalitas pada anak, Dicky Budiman menyatakan pada hakikatnya vaksinasi harus menyentuh semua kalangan, mulai anak-anak hingga lansia. Pada konteks PTMT, vaksinasi pada peserta didik jadi penting untuk meminimalisir potensi penularan lewat herd immunity.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya