Kasus Penganiayaan Muhammad Kece: Pengaruh Bonaparte yang Tak Luntur dan Masalah Klasik Pengawasan Sel
Irjen Napoleon Bonaparte (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Tersangka kasus dugaan penistaan agama Muhammad Kece melaporkan tindakan penganiayaan yang diduga dilakukan Irjen Napoleon Bonaparte. Memang, kasus penganiayaan di dalam sel ini adalah masalah klasik. Ditambah pengaruh jabatan si terduga pelaku, aksi koboi semacam ini semakin langgeng saja di dalam tahanan. Mau sampai kapan?

Dalam laporan polisi (LP) yang terdaftar dalam LP bernomor LP:0510/VIII/2021/Bareskrim yang dibuat pada 26 Agustus 2021, Muhammad Kece menjelaskan bahwa tubuh dan wajahnya dilumuri kotoran manusia dan dipukuli oleh Napoleon Bonaparte. Karenanya dia membuat laporan atas nama Muhamad Kosman.

Agar bisa menganiaya Muhammad Kece, Irjen Napoleon Bonaparte mengganti gembok sel tahanan Muhammad Kece dengan tahanan lainnya. Dengan begitu, ia bisa masuk ke dalam sel tahanan Muhammad Kece. Hal tersebut diungkapkan langsung oleh pihak Bareskrim Polri.

"Gembok standar untuk kamar sel korban diganti," kata Brigjen Andi Rian Djajadi. Menurut pemberitaan, gembok sel tahanan Muhammad Kece diganti dengan sel dari 'Ketua RT' di rutan. 'Ketua RT' yang dimaksud diduga adalah tahanan yang bertanggung jawab atas tahanan lain.

Selain itu, diketahui juga bahwa Irjen Napoleon Bonaparte mengajak tiga tahanan lainnya untuk menganiaya Muhammad Kece. Satu dari tiga tahanan itu merupakan tersangka yang berkaitan dengan Front Pembela Islam (FPI). Dua tahanan lainnya adalah tersangka kasus pertanahan.

"Salah satunya adalah napi dalam kasus yang melibatkan eks (bekas) organisasi FPI ya," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian pada 21 September, seperti yang diwartakan VOI.

Irjen Napoleon Bonaparte diduga memanfaatkan pangkatnya untuk mengatasi pengawasan petugas rutan saat melakukan aksi penganiayaan terhadap Muhammad Kece. Untuk membuktikan dugaan itu, Bareskrim Polri memeriksa empat petugas jaga.

Selain itu, Polri juga tengah mempersiapkan sidang kode etik untuk Irjen Napoleon Bonaparte. Sidang etik tersebut merupakan tindak lanjut vonis 4 tahun penjara atas kasus penghapusan red notice dan DPO pada Imigrasi.

Arsip Foto - Irjen Pol Napoleon Bonaparte usai hadiri persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 30 September 2020 (Foto: Laily Rahmawaty/Antara)

"Komisi Kode Etik Polri sudah mempersiapkan sidang Komisi Etik terhadap Irjen NB," ujar Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo dalam keterangannya, Senin 20 September. Setelah pelaporan tindak penganiayaan tersebut, Napoleon Bonaparte membuat surat terbuka. Dalam surat tersebut, ia mengakui perbuatannya dan menyatakan alasannya memukuli Muhammad Kece.

"Terkait simpang siurnya informasi tentang penganiayaan terhadap Kece, dapat saya jelaskan," kata Napoleon Bonaparte, dalam surat tersebut. Napoleon menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang muslim. Ia berpandangan bahwa tidak boleh ada yang menghina agamanya.

"Siapa pun bisa menghina saya, tapi tidak terhadap Allahku, Alquran, Rasulullah SAW dan akidah Islamku. Karenanya saya bersumpah akan melakukan tindakan terukur apapun kepada siapa saja yang berani melakukannya," ungkapnya.

Napoleon juga meyatakan jika perbuatan Muhammad Kece sangat berbahaya karena merusak persatuan dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Di akhir surat, Napoleon menyatakan kesiapannya untuk bertanggungjawab terkait kasus penganiayaan tersebut.

"Saya akan mempertanggung jawabkan semua tindakan saya terhadap Kece, apapun risikonya," jelas Napoleon.

Youtuber Muhammad Kece/ Foto: IST

Masalah klasik ditambah pengaruh Bonaparte

Irjen Napoleon Bonaparte bukan pertama kali memanfaatkan dan menyalahgunakan jabatannya. Saat ini ia harus mendekam di jeruji besi karena menerima suap atas red notice Djoko Tjandra.

Napoleon terbukti menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 370 ribu dolar Amerika Serikat (AS) dari Djoko Tjandra. Uang itu merupakan suap agar Napoleon dapat menghapus Djoko Tjandra dari status daftar pencarian orang sistem Imigrasi.

Penghapusan Djoko Tjandra, yang merupakan buronan kasus korupsi cessie Bank Bali, dari red notice membuat Djoko Tjandra dapat masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan praperadilan. Akibat tindakan itu Napoleon divonis 4 tahun penjara.

Selain itu, Napoleon juga dijatuhi denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun Napoleon membantah menerima suap. "Saya lebih baik mati daripada martabat keluarga dilecehkan seperti ini, saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding," kata dia seusai pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Rabu 10 Maret 2021.

Kini Napoleon diduga kembali menyalahgunakan pengaruhnya agar dapat melancarkan aksi pemukulan terhadap sesama napi. Namun jika ditelaah lebih baik, seharusnya kasus pemukulan yang dilakukan Irjen Napoleon Bonaparte bisa dicegah jika sistem pengawasan di rutan sudah berjalan baik.

Peneliti dari ICJR Iftitahsari menjelaskan, kita masih punya permasalahan soal penempatan narapidana. Sel tahanan yang penuh, bercampur antara tahanan polisi dan Kemenhumkam, membuat sel tahanan melebihi kapasitas. Lebihnya kapasitas membuat pengawasan lebih sulit. Oleh sebab itu, kasus pemukulan seperti itu tidak terhindarkan.

"Karena overcrowding dan beberapa ada yang ditaruh di rutan polisi padahal harusnya di Kemenhumkam. Kritik kita adalah tidak ada pengawasan yang baik, beda sistem dengan yang diterapkan oleh Kemenhumkam. Memang ada isu rutan-rutan di bawah institusi Polri masih minim pengamanan," kata Iftitahsari, saat dihubungi VOI.

Akar permasalahan rutan-rutan di Indonesia memang pengawasan dan monitoring yang masih tidak jalan. Jikalau petugas atau pengawas rutan bekerja dengan profesional dan memiliki mekanisme yang baik, seharusnya tindak pemukulan tersebut dapat dicegah.

"Hal seperti itu kan sebenarnya dapat dicegah. Overcrowding juga menyebabkan pengawasan yang tidak maksimal. Pengawas tidak sebanding dengan jumlah tahanan," jelas Iftitahsari.

Jika dilihat apakah pengaruh Bonaparte yang menyebabkan ia dengan mudahnya melakukan pemukulan, bisa iya dan bisa tidak. Hal tersebut dikarenakan kita semua cukup sering mendengar kasus narapidana yang melakukan penganiayaan atau pemukulan di penjara.

Para pelakunya pun tidak melulu orang yang memiliki pengaruh. Bahkan narapidana biasa, bisa saja melakukan penganiayaan atau pemukulan. Kembali ke poin sebelumnya, hal tesebut dikarenakan pengawasan yang masih belum mumpuni.

"Sebenarnya masalah yang lebih mengakar adalah sistemnya. Dari awal dasarnya kita tidak memiliki sistem yang baik dalam pengawasan tahanan. Mau dia sebenarnya berpengaruh atau tidak berpengaruh, pun kejadian (pemukulan) seperti itu ya terjadi juga. Orang biasa pun bisa juga melakukan tindakan tersebut," ujar Iftitahsari.

Pemukulan yang dilakukan Irjen Napoleon Bonaparte terhadap sesama napi yaitu Muhammad Kece, merupakan sedikit kasus dari banyak yang masih belum diketahui. Jika kasus ini tidak ingin terulang, Pemerintah Indonesia seharusnya lebih memantangkan kembali sistem pengawasan di rutan. Belum lagi permasalahan over kapasitas rutan yang membuat sistem pengawasan yang sudah lemah, semakin lemah.

*Baca Informasi lain tentang LAPAS atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya