JAKARTA - Pada 4 Juli 2019, 32 warga Indonesia, di antaranya Melanie Soebono, Elisa Sutanudjaja, Tubagus Soleh Ahmadi, Nur Hidayati, Adhito Harinugroho, Asfinawati, dan puluhan lainnya menggugat sejumlah otoritas atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sederet otoritas itu dianggap lalai memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Diwakili penasihat hukum, Arif Maulana, kelompok masyarakat itu menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai tergugat I. Selain Jokowi, ada tergugat II, yaitu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar; tergugat III Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; tergugat IV Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin; dan tergugat V yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan; Gubernur Banten Wahidin Halim; dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Pada 16 September lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan negara melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. "Mengadili, mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian. Menyatakan tergugat I, tergugat II, tergugat III, tergugat IV, dan tergugat V telah melakukan perbuatan melawan hukum," kata Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri dalam putusannya.
Mengutip artikel VOI berjudul Jokowi, Siti Nurbaya, Tito Karnavian, Budi Gunadi dan Anies Baswedan Divonis Melawan Hukum soal Polusi Udara, para tergugat dinilai melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan ketentuan dari segala peraturan perundang-undangan terkait.
"Menghukum tergugat I (Presiden Joko Widodo) untuk menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi," kata hakim Saifuddin.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ditunjuk untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kinerja tergugat V, yaitu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam pengendalian pencemaran udara.
"Menghukum tergugat IV (Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin) untuk melakukan penghitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKI Jakarta yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan tergugat V (Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan) dalam penyusunan strategi dan pengendalian pencemaran udara," kata hakim Saifuddin.
Atas putusan tersebut, Gubernur Anies menyatakan bahwa pihaknya tidak akan melawan putusan tersebut dengan banding. Anies menambahkan bahwa siap unuk menjalankan putusan pengadilan untuk udara Jakarta yang lebih baik.
"Hari ini juga, PN Jakpus mengabulkan gugatan Koalisi Ibu Kota terkait polusi udara. Pemprov DKI Jakarta memutuskan tidak banding dan siap menjalankan putusan pengadilan demi udara Jakarta yang lebih baik," kata Anies dikutip dari akun Twitter resminya pada 16 September 2021.
Sementara dari pihak Jokowi mengaku masih mengkaji hasil putusan tersebut. Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini, mengatakan bahwa kajian tersebut dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Kami menunggu tinjauan dari KLHK, setelah itu akan membicarakan berbagai poin rekomendasi, untuk menentukan langkah selanjutnya, sebaiknya seperti apa," kata Faldo kepada VOI.
Faldo menjelaskan, pemerintah membutuhkan waktu untuk memutuskan sikap lanjutan terhadap vonis putusan PN Jakarta Pusat. Diharapkan nantinya mereka dapat mengambil langkah terbaik.
"Semoga waktu yang tersedia ini, bisa dimanfaatkan untuk memilih opsi terbaik. Ini jalur hukum, tentu argumen-argumen hukum perlu dipersiapkan, kita bersama tentunya berharap untuk menempuh opsi terbaik," ujar dia.
Polusi di Jakarta, Indonesia
Pada 2018, WHO menyampaikan bahwa 9 dari 10 orang di dunia menghirup udara yang mengandung polutan tingkat tinggi. Data tersebut juga mengungkapkan angka kematian yang mengkhawatirkan dari 7 juta orang setiap tahun yang disebabkan oleh polusi udara dan rumah tangga.
“Polusi udara mengancam kita semua, tetapi orang-orang termiskin dan paling terpinggirkan menanggung beban terberatnya,” kata Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus.
"Tidak dapat diterima bahwa lebih dari 3 miliar orang – kebanyakan dari mereka wanita dan anak-anak – masih menghirup asap mematikan setiap hari dari penggunaan kompor dan bahan bakar yang berpolusi di rumah mereka. Jika kita tidak mengambil tindakan segera terhadap polusi udara, kita tidak akan pernah mendekati pencapaian pembangunan berkelanjutan,” tambahnya.
Paparan partikel halus di udara tercemar dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan sistem kardiovaskular, menyebabkan penyakit termasuk stroke, penyakit jantung, kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik dan infeksi pernapasan, termasuk pneumonia.
Lebih dari 90 persen kematian terkait polusi udara terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, terutama di Asia dan Afrika, diikuti oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di kawasan Mediterania Timur, Eropa, dan Amerika.
Indonesia masuk dalam 10 besar negara yang memiliki kualitas udara terburuk di dunia, menurut IQ Air Selama Oktober 2015, hampir 5.000 kebakaran terjadi secara serentak di seluruh hutan dan lahan gambut di Indonesia, yang mana hal tersebut menyumbang kualitas buruk udara di Indonesia. Hanya dalam satu hari, sekitar 80 juta metrik ton karbon dioksida diproduksi. Faktor lain yang menambah polusi di Indonesia adalah transportasi dan produksi energi.
Sementara kualitas udara yang sangat buruk di Jakarta disebabkan oleh pembangkit listrik serta emisi transportasi, emisi rumah tangga, industri konstruksi, dan debu jalan. Semua ini terjadi setiap hari. Pada 2020, Anies mengatakan bahwa 5,5 juta kasus penyakit di Jakarta disebabkan oleh pencemaran udara.
"Pakar mengatakan 5,5 juta kasus penyakit disebabkan oleh pencemaran udara per tahunnya di Jakarta. Itu hampir 11 kasus setiap menitnya dan biaya kesehatan akibat ini (pencemaran udara) sekitar Rp 6,8 triliun," kata Anies dalam webinar yang diselenggarakan pada Rabu 23 September 2020, mengutip Kompas.
Pemprov DKI Jakara bekerja sama dengan organisasi Bloomberg Philanthropies dan Vital Strategies untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Anies menjelaskan pengendalian polusi udara di Jakarta akan dilakukan dalam tiga aspek yaitu sains, penerapan kebijakan, dan komunikasi.
"Kemitraan Jakarta dan Bloomberg Philanthropies akan fokus dalam peningkatan kualitas udara di Jakarta dalam dua tahun ke depan," ujar Anies.
Anies juga menjelaskan kerja sama tersebut berfokus pada peningkatan kualitas udara di Jakarta selama 2 tahun ke depan. Telah ditandatangani pula dokumen 'Menuju Udara Bersih Jakarta' yang menyoroti upaya-upaya untuk mengurangi polusi udara dan serangkaian rekomendasi kebijakan.
"Dokumen ini merupakan perjanjian formal yang akan mengingatkan kita pada pilar-pilar utama dalam rangka pengendalian polusi udara dalam 3 aspek, yaitu ilmu pengetahuan, kebijakan, dan komunikasi," kata Anies.
Studi dari jurnal Transboundary Air Pollution in the Jakarta, Banten, and West Java Provinces melakukan pemantauan kualitas udara dengan alat milik Kedutaan Besar AS di Jakarta. Pemantauan menunjukkan, Jakarta hanya memiliki 40 hari dengan kualitas udara baik pada 2017 sebagian besar pada Januari, November dan Desember.
Sementara pada 2018, Jakarta hanya memiliki 25 hari dengan kualitas udara yang baik dengan memiliki 101 hari yang memiliki kualitas udara buruk. Pada 2019, jumlah hari tidak sehat meningkat menjadi 172 hari, lebih bayak dari tahun sebelumnya.
Pada musim kemarau tepatnya Mei hingga Oktober, paling sering memiliki hari-hari dengan kualitas udara tidak sehat. Hujan musim November hingga Maret memberikan sedikit jeda tetapi kualitas udara secara keseluruhan pada 2018 dan 2019 menunjukkan bahwa sebagian besar waktu pada tahun-tahun tersebut, jumlah PM2,5 berada pada tingkat yang tidak sehat untuk kelompok sensitif.
Kualitas udara di Jakarta sedikit membaik ketika pemberlakuan Pembantasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal 2020. Studi yang dilampirkan dalam jurnal The relationship between air pollutantsand COVID-19 casesand large-scale social restriction’s impacton the air quality in Jakarta, Indonesia oleh Muhammad Rendanaa dan Leily Nurul Komariah menunjukkan, PSBB yang digelar mulai April hingga Juni 2020 menghasilkan penurunan tajam jumlah Nitrogen Dioksida (NO2) sebesar 18,34 persen.
Penurunan NO2 dapat dikaitkan dengan penurunan kepadatan lalu lintas kota di Jakarta selama pandemi COVID-19. Selain itu, indeks polusi udara PM10 dan PM2.5 telah berkurang masing-masing sebesar 15,74 persen dan 9,48 persen. Sekadar informasi, PM10 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron sementara PM2,5 adalah partikel halus di udara yang ukurannya 2,5 mikron atau lebih kecil dari itu. Keduanya adalah jenis polutan utama yang menurunkan kualitas udara.
*Baca Informasi lain soal LINGKUNGAN atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.