JAKARTA - Hujan deras, hujan es, dan angin kencang melanda Depok. Baliho roboh. Pohon tumbang. Lalu lintas kereta api terhenti. Di dalam gerbong, para penumpang duduk lesehan sembari mengutuk cuaca ekstrem lewat Instagram Story mereka. Cuaca sedang demam, begitu gambaran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ketika kami hubungi. Banyak hal dijelaskan, termasuk bahwa ini hal normal namun tetap perlu diwaspadai.
"Akhirnya turun kereta," tulis Puspita Indah mengonfirmasi kekacauan yang terjadi di gerbong commuter line Jakarta-Bogor yang ia naiki. Ketika dihubungi VOI lewat pesan singkat, Selasa, sekitar pukul 20.00 WIB, Pita tengah berada di Stasiun Pasar Minggu. Tak berapa lama kemudian, PT KCI menulis di akun Twitter resminya.
Sejumlah perjalanan commuter line ke arah Bogor terpaksa dibatalkan. PT KCI melaporkan adanya pohon tumbang di jalur 1 Stasiun Depok sebagai dampak hujan lebat dan angin kencang. Pohon tumbang itu mengakibatkan sejumlah masalah, termasuk "adanya perbaikan Listrik Aliran Atas dampak proses evakuasi pohon tumbang Stasiun Depok.
Selain menumbangkan sejumlah pohon --termasuk yang berakibat pada pemberhentian perjalanan commuter line, hujan lebat dan angin kencang juga mengakibatkan kerusakan sejumlah bangunan, robohnya baliho, hingga terbangnya papan nama Rumah Sakit Hermina. Laporan lain menyebut kantor KPUD Depok rusak. Plafon SMAN 3 Depok juga amblas.
Hujan lebat dan angin kencang juga mendampaki 622 gardu PLN. Akibatnya sejumlah wilayah di Kota Depok mengalami pemadaman listrik. Sejumlah spekulasi berkembang menyusul kehebohan cuaca ekstrem di Depok. "Badai," tulis banyak orang di media sosialnya. Lainnya jauh mengaitkan ini dengan konteks perubahan iklim. Sebenarnya apa yang terjadi?
Apa yang terjadi di Depok?
"Yang jelas itu bukan badai ya, mas. Indonesia tidak pernah ada badai karena kita berada di titik ekuator. Di Indonesia itu biasa terjadi angin kencang, puting beliung atau hujan es. Kalau yang kemarin itu angin kencang. Puting beliung mirip angin kencang tapi dia berbentunya seperti belalai gajah," tutur Kasubag Humas BMKG Dwi Rini Endra Sari kepada VOI, Rabu, 22 September.
Jadi, hujan lebat, hujan es, dan angin kencang di Depok kemarin adalah bentuk dari cuaca ekstrem. Ketiga unsur cuaca ekstrem itu, khususnya hujan es umumnya diproduksi oleh awan cumulonimbus (CB). Seperti awan lain, awan CB terbentuk melalui penguapan. Namun ketika awan CB terbentuk, artinya intensitas penguapan yang terjadi lebih tinggi: konvektifitas.
"Tapi yang paling ekstrem adalah hujan es. Kalau angin kencang dan hujan lebat tidak selalu CB. Tapi itu bisa terjadi di masa pancaroba, dengan dinamika atmosfer yang terjadi," kata Ririn --sapaan populer Dwi Rini.
Dalam masa pancaroba, cuaca mengalami apa yang disebut dinamika atmosfer. Dinamika atmosfer dibagi dalam skala lokal, regional, dan global. Yang terjadi di Depok kemarin adalah perpaduan dinamika atmosfer skala lokal dan regional yang tidak stabil pada tingkat penguapan tinggi atau konvektifitas yang berkontribusi pada pembentukan awan hujan atau CB.
"Jadi siang hari itu panas terik sehingga membentuk awan konvektif (CB) yang timbul dari penguapan itu. Karena di siangnya sangat terik maka awan konvektif ini membentuk hingga menjelang sore. Nah inilah yang mengakibatkan adanya cuaca ekstrem."
"Awan CB adalah awan yang menjulang tinggi, yang suhunya kadang minus. Jadi awan CB ini kalau sudah mengalami suhu minus, itu biasanya terjadi cuaca ekstrem sebagaimana terjadi di Depok dan Bogor sekitarnya kemarin," Ririn.
Terkait dinamika atmosfer pada masa pancaroba, Ririn menganalogikan itu dengan demam pada tubuh manusia.
"Jadi kayak tubuh saja menyesuaikan. Kita misalkan nih badannya panas, suhu badan panas, misalkan lagi masuk angin atau flu, terus kita kena air dingin, pasti tubuh kita menyesuaikan kan, ada rasa meriang, demam, greges ... Begitu juga kondisi cuaca. Jadi penyesuaian. Jadi dinamika atmosfer ini sangat kompleks."
Hal lain yang perlu diketahui soal cuaca ekstrem?
Depok, kemarin dan beberapa hari ke depan masih berada di periode pancaroba. Seperti Jakarta, Depok akan mencapai musim penghujan pada Oktober. Maka, potensi cuaca ekstrem masih sangat tinggi. Artinya, kewaspadaan dibutuhkan, meski tak perlu juga panik.
"Periode pancaroba ini memiliki ciri, pola kejadian cuaca yang khas, di mana pola konvektifitas lokal yang menunjukkan adanya potensi pertumbuhan awan hujan dan didukung faktor lainnya, faktor parameter cuaca. Itu yang memicu terjadinya cuaca ekstrem."
"Dan biasanya di masa peralihan atau pancaroba itu biasanya timbul awan cumulonimbus. Awan tinggi berbentuk bunga kol. Itu bisa mengakibatkan adanya kayak kemarin, seperti angin kencang, hujan es, atau puting beliung. Nah potensi awan CB ini sangat besar karena adanya energi pemanasan di siang hari," Ririn, Kasubag Humas BMKG.
Ada beberapa ciri yang perlu kita kenali untuk memprediksi potensi cuaca ekstrem di sekitar kita. Pertama, ketika siang hari terasa begitu terik lalu menjelang sore langit tiba-tiba gelap dan ada awan menjulang tinggi seperti bunga kol (awan CB), artinya kita harus waspada. Ketika ciri itu disusul hujan atau sapuan angin, sebisa mungkin menghindari perlindungan di bawah pohon.
Atau jika sedang berkendara, sebaiknya kita memarkirkan kendaraan terlebih dahulu di tempat yang aman, termasuk menjauhi konstruksi rentan yang menjulang tinggi, misalnya. Tenang saja, hujan lebat beserta angin kencang atau bahkan hujan es biasanya tidak terjadi dalam waktu lama. "Jadi itu ciri-cirinya. Tapi waktunya tidak lama. Kayak kemarin saja tidak lama kan?"
Lebih lanjut Ririn menjelaskan musim hujan akan datang lebih awal, katanya. 14,6 persen wilayah Indonesia sudah mengalami musim hujan pada September 2021. Itu setara dengan 342 zona musim di Indonesia. Pada Oktober, diperkirakan 39,1 persen wilayah lain menyusul. "Termasuk wilayah Sumatra bagian selatan, sebagian besar kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali."
*Baca Informasi lain soal NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.