Bagikan:

JAKARTA - Sebuah laporan terbaru tentang tragedi penembakan di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood di Christchurch, Selandia Baru dirilis. Sebuah kelompok wanita Islam yang melakukan penyelidikan independen menyebut polisi dan dinas keamanan telah diperingatkan.

Dewan Wanita Islam Selandia Baru bahkan mengatakan potensi ancaman dari supremasi kulit putih itu telah berkali-kali disampaikan ke tingkat pemerintahan tertinggi selama 2015 hingga 2019.

Dilaporkan Reuters, Selasa, 7 Juli, peringatan yang dimaksud termasuk soal pesan Facebook berisi ancaman pembakaran Alquran di luar masjid di Hamilton yang diterima Dewan Wanita Islam Selandia Baru. Ancaman itu tertuju pada tanggal 15 Maret 2019, hari yang sama ketika penyerangan Masjid Al Noor, Christchurch terjadi.

Sayang, segala peringatan itu justru diabaikan. Petugas-petugas polisi yang menerima laporan dianggap tak serius. Terlihat dengan bagaimana petugas polisi kerap menghentikan komunikasi dengan pihak-pihak yang melaporkan ancaman. Bahkan, beberapa petugas diketahui tak menyimpan catatan pertemuan yang dapat jadi bahan menindaklanjuti laporan.

Dewan Wanita Islam Selandia Baru menyadari sulit mengaitkan langsung penembakan Christchurch dengan ancaman-ancaman yang mereka temukan. Namun, jelas bagi mereka, jika ancaman itu ditindaklanjuti sedikit lebih baik, langkah-langkah ekstra dapat dilakukan. Memperketat penjagaan di masjid-masjid, misalnya.

Segala temuan ini disampaikan lewat laporan pengajuan penyelidikan yang diumumkan kepada publik. "Polisi memiliki cukup intelijen untuk menjamin strategi nasional yang terkoordinasi," kata kelompok itu, dalam laporan berisi 130 halaman.

“Jika ada strategi seperti itu, maka pesan itu akan memperingatkan setiap masjid di negara itu akan ancaman terhadap satu masjid pada hari Jumat, 15 Maret 2019, dan bagi semua masjid untuk mengambil tindakan keamanan tambahan. Apakah ancaman itu terhubung dengan pembunuh Christchurch itu tidak relevan,” kata laporan tersebut.

Berondongan senjata semi-otomatis

Berbekal senjata semi-otomatis, Brenton Tarrant yang merupakan warga Australia dan diduga supremasi kulit putih menyerang dua masjid --Al Noor dan Linwood-- di Christchurch pada 15 Maret 2019.

Ia menyiarkan penembakan massal terburuk di Selandia Baru itu secara langsung lewat Facebook. Tarrant mengaku bersalah atas pembunuhan terhadap 51 orang itu. Pengadilan memutuskan ia akan memulai hukumannya pada 24 Agustus. 

Poin lain yang disoroti Dewan Wanita Islam Selandia Baru adalah diskriminasi. Mereka mengkritisi bagaimana polisi, dinas keamanan, dan perwakilan pemerintah yang hanya berfokus pada pemberantasan terorisme yang dilakukan para ekstremis Muslim. Hal itu dinilai memberi ruang bagi kelompok gerakan sayap kanan alternatif meningkatkan ancaman mereka.

“Bukti menunjukkan bahwa petugas sektor publik tertidur di tempat bekerja. Dan paling buruk, tidur dengan sengaja. Mereka mengabaikan permohonan kami dan secara aktif mengganggu pekerjaan kami," kata Aliya Danzeisen, salah satu pemimpin Dewan Wanita Islam Selandia Baru.

Polisi menyebut tak ada komentar yang akan dikeluarkan untuk sementara waktu. Namun, terkait ancaman khusus dalam laporan itu, orang tersebut akan segera diidentifikasi dan secara resmi diberikan peringatan.

Sementara itu, juru bicara pemerintah mengatakan akan menunggu laporan sebelum membuat komentar. Selain itu, penyelidikan mengenai ancaman penembakan dijadwalkan akan dilaporkan pada akhir Juli.

Ancaman terhadap komunitas Muslim terus berlanjut sejak serangan pada 2019. Ancaman tersebut dilontarkan melalui unggahan media sosial yang muncul pada awal 2020. 

Tidak seperti Amerika Serikat atau Inggris, Selandia Baru tidak pernah mencatat pelanggaran kejahatan rasial yang spesifik. Namun akhir-akhir ini publik mempertanyakan apakah ada suatu hal yang dilewatkan oleh badan keamanan sehingga terdapat ancaman yang tertuju pada suatu kelompok.