JAKARTA - Solidaritas untuk korban pembunuhan polisi Minneapolis, Amerika Serikat (AS), George Floyd meluas. Senin, 1 Juni, ribuan warga Selandia Baru turun ke jalan. Mereka yang terlibat dalam aksi melakukan long march sembari menyerukan pesan “Black Lives Matter".
Melansir The Guardian, demonstran berjalan dari Aotea Square di Auckland menuju Kantor Kedutaan Besar AS. Selain meneriakkan "Black Lives Matter", demonstran juga mengangkat sejumlah pesan bertulis, seperti, "Jadilah baik", "Diam adalah Pengkhianatan" atau "Lakukan Lebih Baik, Lebih Baik." Semuanya merujuk pada tuntutan mereformasi institusi kepolisian.
Auckland, New Zealand, #Blacklivesmatter protest on 1 June.
📷 @Samrdyson pic.twitter.com/IvDXoaQwnR
— Ryan Mearns (@ryanmearns) June 1, 2020
Sebelum berjalan menuju Kedubes AS, demonstran terlebih dahulu menuntut Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengecam AS atas kekerasan yang dilakukan polisi AS terhadap kulit hitam, termasuk Floyd yang meregang nyawa karena lehernya dihimpit lutut polisi, Derek Chauvin.
Demonstran menuntut aktualisasi Ardern dalam kasus ini, mengingat Ardern dikenal sebagai sosok yang kerap bersuara lantang melawan rasisme. Dalam kasus penembakan di Masjid Christchurch tahun lalu, misalnya.
"Jacinda Ardern, Anda harus mengecam pembunuhan warga kulit hitam di Amerika sebagai kejahatan rasial," kata seorang pengunjuk rasa.
Berangkat dari itu, unjuk rasa tersebut lalu menggema di jagat media sosial, Twitter. Buktinya, tagar #armsdownNZ telah menjadi tren di Selandia Baru, imbas dari kicauan warga yang menyerukan usut tuntas tindak kekerasan kepada Floyd.
Dukungan parlemen
Solidaritas untuk Floyd tak hanya digelorakan warga yang turun ke jalan. Mereka yang menjabat sebagai anggota Parlemen Selandia Baru turut satu suara menguntuk aksi kekerasan terhadap warga kulit hitam. Bahkan, mereka juga mendorong agar hal serupa tak terjadi di Selandia Baru.
Seorang mantan pengungsi Iran yang juga anggota Parlemen Selandia Baru, Golriz Ghahraman, menyebut diskriminasi terhadap orang kulit berwarna belakangan sudah dianggap biasa, apalagi di Selandia Baru. Untuk itu, empunya kebijakan dan warga harus bekerja sama dalam melawan rasisme.
“Penyakit diskriminasi berbasis negara tidak terbatas pada Amerika. Kita harus mengakui bahwa di sini, di Selandia Baru juga terdapat hal yang sama,” kata Ghahraman.
“Kematian George Floyd membawa duka di seluruh dunia. Kejadian tersebut telah merangkum ketidakadilan yang berasal dari penindasan selama berabad-abad. Kita harus belajar dari kematiannya dan memprioritaskan pekerjaan untuk menghilangkan rasisme dari polisi dan sistem peradilan kita. Ini adalah langkah penting untuk menjaga komunitas kita lebih aman,” tambahnya.
Senada dengan Ghahraman, anggota parlemen lainnya, Marama Davidson mengatakan, kematian seperti Floyd sebagai bukti bahwa rasisme masih mewabah di dunia. “Kematian Floyd adalah produk dari ketidakadilan sosial selama berabad-abad. Lantas, hari ini dan setiap harinya kami berdiri dalam solidaritas dengan keluarga, teman, dan komunitas George Floyd.”