Bagikan:

JAKARTA - Isu tenggelamnya Jakarta sudah berhembus sejak lama. Namun perlahan tapi pasti bencana besar itu seperti mendekat. Yang terbaru, Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden ikut-ikutan memprediksi Jakarta terancam tenggelam 10 tahun lagi. Lantas bagaimana cara mencegahnya?

Dalam pidatonya Biden menyebut salah satu dampak dari perubahan iklim adalah kenaikan permukaan air laut. Ia memproyeksikan jika permukaan air laut naik 2,5 kaki atau 7,6 cm saja, makan bakal ada jutaan orang di dunia yang harus mengungsi dari tempat tinggalnya. 

Bila proyeksi itu benar, maka Indonesia harus membayar mahal dengan segera memindahkan Ibu Kota Jakarta. Sebab, Jakarta menjadi ibu kota yang paling berisiko tenggelam dalam 20 tahun mendatang. 

"Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air? Itu penting. Ini adalah pertanyaan strategis sekaligus pertanyaan lingkungan," kata Biden dalam pidatonya di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, 27 Juli lalu. 

Presiden AS Joe Biden (Sumber: Antara)

Pidato Joe Biden pun memancing reaksi dari berbagai pihak. Salah satunya rekasi dari Wakil Gubernur DKI Jakarta, Riza Patria. Riza memilih tak sepaham dari Joe Biden. Menurutnya, pemerintah DKI Jakarta telah melakukan segala upaya demi mengantisipasi penurunan tanah. Langkah itu dipercaya dapat mencegah Jakarta tenggelam. Kalaupun akan tenggelam, maka tidak seperti prediksi yang direka oleh Joe Biden yakni tenggelam dalam 10 tahun mendatang.

"Memang di Jakarta datarannya rendah, jadi di Jakarta ada penurunan muka tanah setiap tahun. Namun, tidak berarti 10 tahun Jakarta tenggelam. Pemprov DKI Jakarta tetap mengupayakan agar Jakarta tidak tenggelam, di antaranya penyedotan air tanah, pipanisasi PAM Jaya ditingkatkan agar kebutuhan air bersih semua dari PAM," ujar Riza Patria.

Namun, Pakar Geologi dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Dicky Muslim menyebut pernyataan Joe Biden sudah tepat dan tak boleh dianggap enteng. Apalagi, analisis yang disampaikan oleh Joe Biden sudah tentu telah melalui sebuah kajian. Artinya, Joe Biden tak asal-asalan menyampaikan pernyataan itu.

Senada dengan itu, Dicky memafarkan fakta bahwa sejumlah wilayah pesisir di pantai utara memang telah mengalami penurunan tanah yang lebih cepat berdasarkan kajian geoglogis. Salah satunya akibat ekstraksi air tanah.

"Tentu Presiden Amerika akan bertanya dulu dalam menyiapkan pidatonya. Dia kan tidak menyoroti Jakarta saja kan dalam pidatonya, tetapi masalah global, pemanasan global. Jakarta menjadi contoh karena ada informasi kepada Beliau tentang Jakarta." tutur Dicky dikutip Okezone.

"Kalau istilah saya di kelas itu bunuh diri pelan-pelan. Airnya diambil pelan-pelan dan masyarakat serta pemerintah seakan tak peduli (dengan kondisi penurunan tanah)," tegas Dicky meyakinkan.

Penanaman Mangrove (Sumber: Lembaga Olah Hidup)

Ancaman nyata

Jika dianalisis, kondisi penurunan tanah tak hanya salah satu penyebab dari proyeksi Jakarta tenggelam. Sebab-sebab lain, terutama pengaruh variabel perubahan iklim jadi alasan yang mendasar kenapa proyeksi biden tepat. Hal itu diamini oleh Pengamat Lingkungan Hidup yang juga Direktur Lembaga Olah Hidup (LOH), Yani Sagaroa.

Lewat kacamatanya, Yani menjelaskan secara garis besar mengapa proyeksi Joe Biden mutlak dan pasti terjadi. Adapun proyeksi Jakarta tenggelam seharusnya dilihat dari semua variabel. Tertuma karena Indonesia sendiri masuk dalam negara penghasil emisi terbesar di dunia. 

Kondisi itu semakin diperparah dengan variabel laju kerusakan hutan di Indonesia yang berlansung bak tiada jeda. Hutan yang senantiasa memberikan banyak penghidupan kepada manusia digantikan oleh rimba-rimba beton seperti yang terjadi di Jakarta. Sedang kondisi di Jakarta sendiri makin parah dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang yang tak memenuhi standart—jika tak mau dibilang sedikit.

Imbasnya, suhu udara mengalami kenaikan tiap. Bahkan, pada dua tahun yang ke belakang, suhu udara sempat mencapai di atas 42 derajat pada hari-hari tertentu di berbagai wilayah di Indonesia. Pun akan meninggi ketika masuk musim kemarau yang sesuai catatan dapat mencapi 46 derajat.

Panasnya suhu udara ini yang menjadi faktu utama paras (permukaan) air laut meningkat karena mencairnya es di Kutup Utara dan Selatan. Karena itu, segenap pulau-pulau kecil atau kota-kota di pesisir menjadi terancam tenggelam.

“Ancamannya –jika dalam konteks dampak perubahan iklim—tak hanya Jakarta. Dalam beberapa hasil studi Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) untuk lingkungan hidup Indonesia, rata-rata Indonesia kehilangan pulau-pulau kecil dari 10 tahun terakhir sebanyak tiga pulau kecil pertahun. Bahkan ke depan kecenderungan Indonesia kehilangan pulau kecil akan meningkat. Itu dari paras air laut sudah meningkat, belum lagi di tambah variabel perubahan iklim lainnya, seperti air topan, angin kencang, dan badai,” ungkap Yani Sagaroa dihubungi VOI, 2 Agustus.

“Karena sekarang situasinya kita melihat bencana iklim ini situasinya daruratnya, jadi proses-proses penanganannya pun mesti ada upaya yang juga darurat, yang hampir setara dengan kasus pandemi COVID-19 yang ada sekarang sebenarnya. Sehingga pola penanganannya mitigasi dan adaptasi harus juga menjadi prioritas saat ini. Karena itu bagian dari bencana, karena diregulasi-regulasi yang ada sekarang ini. Bencana dibagi menjadi dua sektor," beber Yani. 

Penanaman Mangrove (Sumber: Lembaga Olah Hidup)

Tanaman penyelamat

Tenggelamnya pulau-pulau kecil dan pesisir erat kaitan dengan hilang atau sedikitnya hutan mangrove. Padahal, salah satu fungsi ekologi dari hutan mangrove tak lain untuk menjaga stabilitas daerah pantai. Lebih lagi, mangrove menjadu semacam green belt atau sabuk hidup yang mengamankan dua ekosisitem: ekosisitem darat dan ekosistem pesisir.

“Sebenarnya dari hukum alam kita musti pahami salah satu upaya untuk menyematkan ekosistem pesisir itu mutlak harus dibangun kembali hutan mangrove itu. Karena memang ada skema-skema seperti reklamasi yang dikembangkan oleh para pihak yang lain, yang tak efektif,” ujar Yani. 

Yani menjelaskan mangrove begitu efektif mencegah tenggelamnya sebuah pulau. “Karenanya, mangrove ini benar-benar efektif. Ambil contoh setiap dearah pesisir bila terjadi bencana kalau ada mangrovenya, maka daerah tersebut tidak akan terdampak kerusakan skala besar."

Upaya membangun kembali hutan mangrove sebenarnya bukan barang baru. Contohnya, beberapa program dari Sudicindo, Bappenas, ICCTF, dan atas daya dukung Bank Pembangunan Asia (ADB) beberapa tahun terakhir. Lembaga tersebut telah mengembangkan pelestarian hutan mangrove di kawasan Teluk Saleh dan Gili Balu, Sumbawa Besar, NTB. 

Hutan mangrove memang bukan solusi tunggal, tapi efektivitasnya memang teruji. Ketika wilayah lain sudah memulai gerakan membangun hutan mangrove, Yani Sagaroa meyakini Jakarta yang seharusnya menjadi representasi Indonesia, dapat mengupayakan hal yang sama. Dengan catatan, pembangunan hutan mangrove dilakukan lebih masif, serius, dan menggelorakan pembangunan berwawasan lingkungan hidup. Setelahnya, warga Ibu Kota Jakarta dapat merasakan manfaat jasa mangrove untuk mencegah erosi dan intrusi air laut. Bahkan, mencegah Jakarta tenggelam.

*Baca Informasi lain soal PERUBAHAN IKLIM atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

BERNAS Lainnya