Bagikan:

JAKARTA - Setiap 19 Agustus, masyarakat Internasional memperingati Hari Kemanusiaan Sedunia. Hari Kemanusiaan Sedunia pertama kali diresmikan pada 2009. Dipilihnya 19 Agustus mengacu pada peristiwa serangan bom pada 19 Agustus 2003 di Hotel Canal di Baghdad, Irak, yang menewaskan 22 orang, termasuk pejabat senior PBB di Irak, Sergio Vieira de Mello. 

Menurut CNN, Sergio Vieira de Mello terjebak di reruntuhan selama beberapa jam sebelum akhirnya meninggal dunia dan sedikitnya 100 orang terluka. Seorang pejabat PBB di New York mengatakan sejumlah jasad sulit dievakuasi dan terjebak reruntuhan. Banyaknya jasad yang terbakar membuat identitasnya sulit dikenal dan perlu dilakukan tes DNA untuk mengidentifikasi korban meninggal. 

Melihat pemilihan lokasi bom, jelas bahwa Vieira de Mello saat itu menjadi target serangan. Pengeboman tersebut melanjutkan pola serangan yang kerap dilakukan saat itu di Irak terhadap sasaran nonmiliter yang lebih mudah ditarget di Irak.

Biografi singkat tentang Sergio Vieira de Mello, ia lahir di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1948, Sergio Vieira de Mello bergabung dengan PBB pada 1969 saat belajar filsafat dan humaniora di Universitas Paris. Vieira de Mello memulai kariernya di Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNCHR) yang berbasis di Jenewa.

Dia juga bertugas dalam operasi kemanusiaan dan penjaga perdamaian di Bangladesh, Sudan, Siprus, Mozambik dan Peru. Vieira de Mello menjabat posisi profil tinggi pertamanya pada 1981, ketika ditunjuk sebagai Penasihat Politik Senior untuk pasukan PBB di Lebanon. Ia kemudian menduduki beberapa jabatan tinggi di UNHCR. Sergio Vieira de Mello benar-benar mendedikasikan seumur hidupnya di PBB. 

Kematian Vieira de Mello meninggalkan duka yang mendalam karena ia memiliki peran besar dalam melayani beberapa situasi kemanusiaan paling menantang di dunia. Ia menjangkau para korban konflik bersenjata yang tidak mendapat sorotan, meringankan penderitaan para korban dan menarik perhatian para petinggi untuk menyeriusi konflik tersebut. 

Para korban konflik bersenjata yang pernah ia selamatkan mengaku kehilangan seorang pemimpin kemanusiaan yang memiliki keberanian, dorongan, dan empati yang tidak tertandingi. Peristiwa tragis itu juga membuat komunitas kemanusiaan kehilangan seorang pemimpin kemanusiaan dan intelektual yang luar biasa yang pemikiran, filosofi, dinamisme dan keberaniannya mengilhami semua orang dan tetap menjadi warisan abadi untuk ditiru oleh generasi mendatang. Berbagai tindakan Vieira de Mello inilah yang menginspirasi PBB untuk menjadikan hari kematiannya sebagai peringatan Hari Kemanusiaan Sedunia. 

Ilustrasi (Jacek Dylag/Unsplash)

Tema Hari Kemanusiaan Sedunia

Kemanusiaan bukan hanya tentang menghadapi konflik senjata atau perang, namun juga menghadapi bencana yang mengancam kehidupan umat manusia. Hari Kemanusiaan Sedunia 2021 dikhususkan untuk mengingatkan bahayanya krisis iklim, ancaman kesehatan terbesar yang dihadapi umat manusia. Hari ini merupakan tonggak penting menjelang KTT COP26 yang akan digelar pada November ketika para pemimpin dari 196 negara akan bertemu untuk menyepakati tindakan untuk mengendalikan perubahan iklim.

Dunia kini menyaksikan gelombang panas yang memecahkan rekor, badai dahsyat, dan pola cuaca yang berubah. Perubahan iklim adalah keadaan darurat kesehatan, berdampak pada sistem pangan, penyebaran penyakit, sistem kesehatan, dan masyarakat pada umumnya. Permasalahan iklim semakin mengerikan ketika dunia juga menghadapi COVID-19. 

Indonesia juga menjadi sorotan yang mana akan mengalami dampak perubahan iklim yang mengerikan. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, menyampaikan pidato tentang ancaman tenggelamnya Jakarta, ibu kota Indonesia. Biden mengatakan bahwa salah satu dampak dari perubahan iklim adalah kenaikan permukaan air laut. Ia memproyeksikan jika permukaan air laut naik 7,6 cm saja, makan akan ada jutaan orang di dunia yang harus mengungsi dari tempat tinggalnya. 

Bila proyeksi itu benar, maka Indonesia harus membayar mahal dengan segera memindahkan Ibu Kota Indonesia yaitu Jakarta. Sebab, Jakarta menjadi ibu kota yang paling berisiko tenggelam dalam 20 tahun mendatang. 

"Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air? Itu penting. Ini adalah pertanyaan strategis sekaligus pertanyaan lingkungan," kata Biden dalam pidatonya pada 27 Juli 2021. 

Ilustrasi (Chris Gallagher/Unsplash)

Seperti yang pernah diwartakan VOI dalam artikel Joe Biden Prediksi Jakarta Tenggelam 10 Tahun Lagi, Bisakah Dicegah dengan Mangrove?, pengamat lingkungan hidup yang juga Direktur Lembaga Olah Hidup (LOH), Yani Sagaroa menjelaskan mengapa secara garis besar proyeksi Joe Biden mutlak terjadi. 

Laju kerusakan hutan di Indonesia yang berlangsung bak tanpa jeda menjadi faktor perubahan iklim. Hutan yang senantiasa memberikan banyak penghidupan kepada manusia digantikan oleh rimba-rimba beton seperti yang terjadi di Jakarta. Sedang kondisi di Jakarta sendiri makin parah dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tidak memenuhi standar. 

Imbasnya, suhu udara mengalami kenaikan tiap. Bahkan, pada dua tahun yang ke belakang, suhu udara sempat mencapai di atas 42 derajat pada hari-hari tertentu di berbagai wilayah di Indonesia. Pun akan meninggi ketika masuk musim kemarau yang sesuai catatan dapat mencapi 46 derajat.

“Ancamannya –jika dalam konteks dampak perubahan iklim—tak hanya Jakarta. Dalam beberapa hasil studi Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) untuk lingkungan hidup Indonesia, rata-rata Indonesia kehilangan pulau-pulau kecil dari 10 tahun terakhir sebanyak tiga pulau kecil pertahun. Bahkan ke depan kecenderungan Indonesia kehilangan pulau kecil akan meningkat. Itu dari paras air laut sudah meningkat, belum lagi di tambah variabel perubahan iklim lainnya, seperti air topan, angin kencang, dan badai,” kata Yani.

Ilustrasi (Mike Erskine/Unsplash)

Peneliti dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan, menemukan bahwa rata-rata selama 20 tahun ke depan, suhu global diperkirakan akan mencapai atau melebihi 1,5 derajat Celsius pemanasan. Penilaian ini didasarkan pada kumpulan data pengamatan yang ditingkatkan untuk menilai sejarah pemanasan, serta kemajuan dalam pemahaman ilmiah tentang respons sistem iklim terhadap emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia.

“Laporan ini adalah pemeriksaan realitas,” kata Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC Valérie Masson-Delmotte. “Kami sekarang memiliki gambaran yang lebih jelas tentang iklim masa lalu, sekarang dan masa depan, untuk memahami ke mana arah kami, apa yang bisa dilakukan, dan bagaimana kami bisa bersiap.”

*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

SEJARAH HARI INI Lainnya