Bagikan:

JAKARTA - Menjadi mahasiswa kritis zaman sekarang banyak apesnya. Mengkritik baik-baik tak digubris. Unjuk rasa direpresif penegak hukum. Membuat kampanye media sosial dipanggil rektor. Mahasiswa UI merasakan keapesan itu. 

Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai presiden, harapan konsolidasi demokrasi pasca Reformasi begitu tinggi. Besarnya dukungan yang diberikan membuatnya menang dari Prabowo Subianto, seorang Jenderal Orde Baru yang dianggap yang bertanggungjawab terhadap penculikan aktivis.

Tapi apa yang terjadi setelah lima tahun pertama pemerintahan Jokowi? Seperti dicatat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam Catatan Akhir Tahun 2019, kepemimpinan Jokowi dosoroti karena "yang dikatakan tidak seperti yang dilakukan."

Menurut LBH Jakarta, janji kampanye Jokowi dengan mudah dilupakan. "Demokrasi dibawa mundur jauh ke belakang, kembalinya rezim otoritarian menjadi ancaman nyata."

Tanda-tandanya jelas. LBH Jakarta menyatakan ruang-raung kebebasan sipil sedikit demi sedikit mulai ditutup. Kemerdekaan berekspresi, berpikir, berpendapat, dan berorganisasi terancam. 

Misalnya saja ketika aksi mahasiswa dan pelajar direpresi aparat kepolisian. "Penangkapan sewang-wenang, penyiksaan, dan diburu seperti kriminal."

Ilustrasi/Demo di Jakarta (Diah Ayu/VOI)

Salah satu aksi represif aparat paling brutal bisa kita lihat pada aksi menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Dalam aksi itu setidaknya lebih dari 230 orang menjadi korban dari aksi yang digelar oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil tersebut.

Aksi itu terjadi di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, sumatera selatan hingga Sulawesi Selatan. Aksi represif aparat itu bukan terjadi sekali. Kejadian serupa juga terjadi ketika mahasiswa dan masyarakat mendamo UU Cipta Kerja.

Belum lama pada saat memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, sejumlah peserta unjuk rasa termasuk mahasiswa yang menyampaikan aspirasi terkait kenaikan upah buruh, tunjangan hari raya (THR), dan pencabutan UU Cipta Kerja/Omnibus Law direpresi aparat. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan Kepolisian yang bertugas di aksi massa tersebut melakukan kebijakan aneh. 

Mereka mempertanyakan mengapa orang-orang yang diperbolehkan ikut aksi hanya para buruh. "Mahasiswa & warga yg bersolidaritas mengalami represi & diangkut dari titik aksi," tulis KontraS dari akun twitternya.

Kritik tak terbendung 

Namun sikap represif aparat penegak hukum tak bisa menghentikan gerakan mahasiswa untuk mengawal jalannya pemerintahan. Di tutup di jalanan, mereka beralih ke dunia maya.

Kemarin, postingan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang mendaulat Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai 'The King of Lip Service' viral. Kritik BEM UI jadi perbincangan berbagai pihak. 

Unggahan BEM UI di akun Twitternya itu bukan tanpa alasan. Menurut mereka pernyataan yang disampaikan Jokowi selalu berbeda dengan kenyataan di lapangan.

"Jokowi kerap mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya," tulis akun @BEMUI_Official.

Unggahan tersebut di-retweet lebih dari 23 ribu kali dan diganjar likes lebih dari 45 ribu. Keramaian ini juga mengundang ragam komentar dari banyak pihak. Mulai dari aktivis, tokoh politik, dan akademisi.

Akibat unggahan tersebut, beberapa anggota BEM UI dipanggil rektor. Mereka diwajibkan menghadap sang pemimpin universitas hari Minggu ketika kampus sedang libur. Hal ini sontak membuat polemik kian membesar.

Sial dua kali

Kesialan para mahasiswa kritis ini ternyata tak berhenti sampai di situ. Unggahan BEM UI mendapat komentar pedas dari Dosen senior UI, Ade Armando. 

Ade bilang kalau jadi lembaga yang mewakili mahasiswa UI jangan sampai terlihat pandir alias bodoh alias bebal. Dan ungkapan yang menjadi kontroversial adalah ketika ia mengatakan "dulu masuk UI, nyogok ya?"

Ucapan Ade soal sogok menyogok ini sontak mengundang komentar. Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, misalnya.

Ia mengatakan tak ada yang bisa dibanggakan dari dosen senior UI yang mengatakan "dulu masuk UI nyogok", "dangkal" dan melanggar aturan hanya karena BEM UI mengkritik Jokowi adalah rajanya lip service. "Pernyataan itu menciptrat ke dirinya sendiri," tulis Damar lewat akun Twitternya. 

Sikap Ade Armando juga disebut tak mencerminkan peran ideal sebagai akademisi. Sebagai pengajar perguruan tinggi, Ade Armando seharusnya memahami peran mahasiswa dalam sistem politik. Kritik dari mahasiswa harusnya dipupuk sebagai suplemen demokrasi.

"Kritik mahasiswa itu harus dianggap sebagai ingredient yang normal dalam sistem politik kita sekarang. Suplemen lah dari kehidupan politik reformasi sekarang," ungkap anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Robertus Robet kepada VOI, Senin, 28 Juni.

Kami mewawancarai salah seorang alumni FISIP UI 2006 yang pernah diajar Ade Armando. Sebut saja namanya Mawar. Senada dengan Damar, Mawar merasa pernyataan Ade soal "masuk UI nyogok" itu malah merendahkan nama kampus kuning itu sendiri.

"Menurut gue bodoh sih, munkgin dia cuma berniat nyerang BEM UI, tapi malah ngerendahin sekampus, tempat dia ngajar dan tumbuh besar," kata Mawar kepada VOI

Kata Mawar, twit Ade yang kebanyakan menyerang personal anggota BEM UI menunjukkan ketidakberdayaannya. "Kelihatan banget tak berdaya dengan data-data yang ditampilin sama pihak BEM UI. Bukannya membalas argumen mengenai konten yang disajikan, dua-duanya malah fokus nyerang ke arah personal." 

Mawar merasa heran dengan pernyataan Ade yang penuh kontroversial tersebut. Sebab dahulu Ade merupakan salah satu dosen yang punya cara mengajar yang menyenangkan. "Bukan tipe dosen 'kolot' gitu. Tapi ya enggak spesial juga menurut gue, enggak memorable."

Selain itu, Ade Armando juga dahulu sosok dikenal enak diajak diskusi dan tidak kaku. "Mungkin karena waktu dulu umur dia masih muda juga kali ya," kata Mawar. 

Peran mahasiswa 

Ilustrasi foto (Sumber: Commons Wikimedia)

Polemik pemanggilan mahasiswa oleh rektor UI menurut Robertus Robet bukan pertanda baik. Bahkan menurutnya di masa Orde Baru yang terkenal otoriter, "rektor saya cukup menjaga jarak untuk enggak menjatuhkan sanksi dan segala macam kepada mahasiswa yang melakukan kritik kepada pemerintah," kata dia. 

Robertus bilang, karena rektor merupakan bagian dari civitas akademika, maka ia diikat oleh satu etika dan budaya akademik. "Jadi pendekatannya bukan kekuasaan. Jadi sebisa mungkin pendekatannya akademik."

Menurut Robertus yang namanya mahasiswa itu tak mungkin dilepaskan dari sikap politis karena mereka adalah subjek politik. Bila melihat sejarah, "karakter mahasiswa ini terbentuk sebagai bagian dari sejarah politik, di Indonesia dan banyak tempat lain."

Misalnya saja sejak 1965, ketika munculnya Orde Baru hal itu sudah membawa mahasiswa sebagai satu subjek politik. "Mahasiswa itu enggak mungkin dilepaskan dari sikap politis karena sedari awal mereka adalah subjek politik. Misalnya dari 65, kemunculan negara Orba itu membawa mahasiswa sebagai satu subjek politik. 74, 78, 98

*Baca informasi lain tentang BEM UI atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

 

BERNAS Lainnya