Politik Balas Budi Pemilihan Komisaris BUMN: Tetap Abadi Meski Banyak Perusahaan Rugi
Ilustrasi BUMN (Sumber: bumn.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Pengangkatan pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai komisaris perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai polemik. Pasalnya, praktik ini disebut sebagai upaya balas budi politik semata. Kebanyakan penunjukan komisaris BUMN dinilai tidak proporsional. Hal yang bahkan masih terus terjadi meski banyak perusahaan pelat merah sedang banyak yang rugi. 

Polemik ini kembali mencuat pasca pengangkatan eks gitaris Slank, Abdi Negara Nurdin atau Abdee sebagai Komisaris PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk oleh Menteri BUMN Erick Thohir tiga hari lalu. Abdee yang lebih dikenal sebagai musisi, dianggap tidak kompeten untuk berkecimpung di perusahaan telekomunikasi. 

Kendati begitu, Senior Vice President Corporate Communication & Investor Relations Telkom Indonesia Ahmad Reza seperti dikutip Kompas, menjelaskan setiap pengangkatan komisaris sudah mempertimbangkan kompetensi dari masing-masing individu. Kata dia, penunjukan Komisaris Telkom telah melalui beberapa tahap seleksi. 

Reza bilang, Abdee yang berlatar belakang seniman, juga banyak berkecimpung dalam dunia digital serta dianggap kontributif terhadap masalah hak kekayaan intelektual. Selain itu Abdee juga merupakan Co-Founder Importmusik.com, perusahaan digital distribusi musik.

Di dunia politik, Abdee dikenal sebagai pendukung setia Jokowi. Rekam jejaknya sebagai pendukung Jokowi tampak tatkala dirinya ikut menginisiasi "Konser Akbar Salam 2 Jari" di Gelora Bung Karno Jakarta pada 5 Juli 2014. 

Abdee Negara, (Foto: Dok. Antara)

Dukungannya berlanjut ketika Jokowi kembali mencalonkan diri sebagai presiden untuk periode kedua. Pada 2019, ia kembali turun gunung untuk memenangkan pasangan jokowi-Ma'ruf Amin. Ini kedua kalinya Abdee mendukung Jokowi secara lugas. Hal itu terlihat tatkala ia meramaikan gelaran "Konser Putih Bersatu Menuju Kemenangan Indonesia Maju Bersama Gerakan #BarengJokowi" pada 13 April 2019. 

Abdee bukan satu-satunya yang diangkat sebagai komisaris baru Telkomsel. Ada sejumlah nama lain yang tak asing dalam jajaran komisaris emiten pelat merah ini, salah satunya Bambang Soemantri Brodjonegoro, mantan Menteri Riset dan Teknologi. 

Bambang menjabat sebagai Komisaris Utama menggantikan Rhenald Kasali. Selain Bambang, ada pula Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga. Kemudian ada orang yang pernah disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai "orang terkaya di RI", yakni Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata.

Kontroversi

Pengamat Politik Igor Dirgantara mengkritik pengangkatan Abdee sebagai komisaris Telkom. Menurut dia boleh jadi Abdee bukanlah orang yang tepat dalam mengisi posisi tersebut, tapi sebagai musisi, rekam jejaknya memang salah satu pendukung setia Jokowi dua periode berturut-turut.  

"Abdee kompeten memainkan gitar dan menciptakan lagu dalam sebuah band, tetapi tidak punya kompetensi sama sekali sebagai komisaris di BUMN, baik secara manajerial ataupun fungsional (problem solver). Namun sebagai musikus, rekam jejak abdee memang salah satu pendukung dan relawan die hard dari Jokowi," kata Igor dihubungi VOI.

Padahal bila mengacu pada Peraturan Menteri BUMN/2/2015 disebutkan kompetensi yang mumpuni dalam penunjukan anggota dewan komisaris menjadi salah satu syarat. "Anggota dewan komisaris harus memahami masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, serta memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usahanya," tertulis. 

Karena itulah, menurut Igor, pemerintah dalam hal ini kementerian BUMN seyogyanya berterus terang kepada publik bahwa penunjukan Abdee sebagai komisaris Telkom adalah bagian dari balas budi politik. Hal ini menurut Igor dapat meminimalisir ketidakpercayaan masyarakat atas jabatan yang seharusnya dipilih dengan melibatkan partsipasi publik. 

"Jika pemerintah menjelaskan, setidaknya publik bisa memaklumi kenapa Abdee Slank, bukan Inul Daratista, Iwan Fals atau Ahmad Albar yang lebih senior dan juga dukung Jokowi, misalnya. Ini bisa meminimalisir ketidakpercayaan masyarakat atas jabatan yang seharusnya melibatkan partisipasi publik. Toh Masyarakat juga sudah tahu bahwa Abdee Slank juga tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk kemajuan Telkom karena bukan the right man on the right place," ujar Igor. 

BUMN yang rugi

Penunjukan komisaris oleh orang yang dinilai kurang kompeten masih terus terjadi di tengah kondisi banyaknya perusahaan BUMN yang tercatat merugi. Kabar meruginya perusahaan pelat merah memang sedang santer terdengar. Yang masih hangat adalah kabar maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia yang tengah terlilit utang sebesar Rp70 triliun di tahun ini.

Menurut Komisaris Independen Garuda Indonesia Yenny Zannuba Wahid, pihak Garuda sedang berjuang keras agar perusahaan berkode saham GIAA itu tidak dipailitkan. Di tengah kondisi yang amat buruk itu, dia menilai bahwa GIAA harus diselamatkan. Alasan utamanya karena Garuda Indonesia merupakan maskapai yang menjadi wajah Indonesia.

"Namun, Garuda adalah national flag carrier kita. Harus diselamatkan. Mohon support & doanya," tulis Yenny pada akun Twitternya.

Selain PT Garuda Indonesia, perusahaan pelat merah lain yang terbelit mega utang adalah Waskita Karya. Pengamat Kebijakan Publik, Sarwani dalam tulisannya di Neraca menyebut "BUMN karya itu sebenarnya sudah harus masuk ICU untuk segera diselamatkan. Kalau tidak nasibnya akan berujung tragis."

Menurut laporan keuangan Waskita Karya per 31 Desember 2020 sebagaimana dikutip Sarwani, mencatat total utang yang ditanggungnya hampir Rp90 triliun. "Dengan jumlah utang sebesar itu, Waskita Karya harus merogoh kocek Rp4,74 triliun hanya untuk membayar bunga saja... Utang yang melonjak diakibatkan bertambahnya jumlah proyek ruas tol yang dibangun perusahaan. Beban utang yang besar membuat perusahaan rugi Rp7 triliun."

Sementara itu, sejumlah BUMN di sektor industri perbankan juga terpuruk. Tahun lalu, laba dari tiga bank pelat merah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) merosot dibanding tahun sebelumnya. Ketiga bank tersebut antara lain PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dan PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri). 

Seperti dikutip Kontan, contoh bank yang rugi adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Tahun lalu laba bersihnya terperosok cukup dalam menjadi Rp3,28 triliun, turun 78,7 persen dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp15,38 triliun. Begitu pula dengan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang pendapatannya terkikis hampir separuhnya yakni 45,8 persen dari Rp34,41 triliun pada 2019, menjadi Rp18,66 triliun pada 2020. 

Sedangkan PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri) labanya berkurang 37,71 persen. Pada 2019, laba bank berlogo pita emas ini tercatat Rp27,48 triliun, sementara tahun lalu cuan yang berhasil diperoleh hanya Rp17,71 triliun saja. 

Banyaknya perusahaan BUMN yang rugi divalidasi Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI), Toto Pranoto. Setidaknya Toto menyebut ada tujuh perusahaan negara yang kabarnya hendak dibubarkan oleh Kementerian BUMN. Penyebabnya, ketujuh perusahaan tersebut tercatat sudah merugikan negara. 

"Karena statusnya sudah tidak beroperasi. Lalu dipertahankan sebagai BUMN tentu akan menimbulkan problem karena mereka masih tercatat misalnya sebagai aset BUMN tetapi sebetulnya sudah tidak produktif," ujar Toto dalam program Newscreen Morning IDX Channel pada awal Mei yang dikutip Sindonews.

Politik kompensasi

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menyebut fenomena penempatan relawan Jokowi sebagai komisaris BUMN ini sebagai kompensasi politik. Padahal semestinya kata Ujang, posisi komisaris diberikan pada ahlinya. 

"Itu bagian dari kompensasi politik... Yang kita sayangkan memang, posisi komisaris mestinya diberikan pada ahlinya, atau relawan yang paham tentang perusahaan pelat merah," kata Ujang kepada VOI.

Menurut Ujang, kendati banyak perusahaan BUMN tercatat tengah merugi, menyetop praktik balas budi politik adalah sebuah keniscayaan. Sebab, lanjut Ujang, iklim politik kita sudah tidak sehat. 

"Karena politik kita sudah tidak sehat. Dan BUMN pun ikutan tidak sehat. Karena diisi relawan yang tak ahli," tegasnya. Lalu bagaimana idealnya untuk menunjuk komisaris BUMN?

Masih menurut Ujang, sulit untuk mencari yang ideal dalam mengisi komisaris BUMN. Sebab praktik kompensasi politik pun menurutnya sudah mengakar. "Mereka tahu tak bagus, tapi tetap dilakukan," pungkasnya. 

BERNAS Lainnya