Hancur-hancuran Garuda Indonesia di Tengah Utang Rp70 Triliun yang Melanda, Bagaimana Menyelamatkannya?
Pesawat Garuda Indonesia. (Foto: Dok. Garuda Indonesia)

Bagikan:

JAKARTA - Maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sedang dilanda masalah utang yang sangat besar. Manajemen sedang berjuang keras agar perusahaan berkode saham GIAA itu tidak dipailitkan. Garuda Indonesia (GIAA) memang memiliki rapor merah dalam aspek keuangan, di antaranya nilai utang pada 2021 yang mencapai Rp70 triliun.

Bagaimana menyelamatkan Garuda?

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra angkat bicara mengenai hal ini. Irfan mengatakan salah satu cara menyelamatkan Garuda melalui program terbaru yang ditawarkan yakni pensiun dini.

"Tentu semua hal yang dimungkinkan untuk dibenahi. Tapi kami fokus ke pensiun dulu," katanya kepada VOI, Senin, 31 Mei.

Seperti diketahui, Garuda Indonesia dikabarkan menawarkan program pensiun dini yang efektif mulai 1 Juli 2021. Penawaran ini terutang di dalam surat elektronik yang diterima oleh para pegawai. Irfan mengatakan program ini dilakukan sebagai salah satu upaya pemulihan kinerja usaha di era kenormalan baru.

"Manajemen tengah dalam tahap awal penawaran program pensiun yang dipercepat bagi karyawan  Garuda Indonesia yang memenuhi kriteria dan persyaratan keikutsertaan program tersebut," tuturnya dalam pesan singkat yang diterima VOI, Jumat, 21 Mei.

Lebih lanjut, Irfan mengatakan situasi pandemi yang masih terus berlangsung hingga saat ini, mengharuskan perusahaan melakukan langkah penyesuaian aspek supply dan demand di tengah penurunan kinerja operasi imbas penurunan trafik penerbangan yang terjadi secara signifikan.

"Perlu kiranya kami sampaikan bahwa program pensiun dipercepat ini ditawarkan secara sukarela terhadap karyawan yang  telah memenuhi kriteria. Kebijakan ini menjadi penawaran terbaik yang dapat kami upayakan terhadap karyawan ditengah situasi pandemi saat ini, yang tentunya senantiasa mengedepankan kepentingan bersama seluruh pihak, dalam hal ini karyawan maupun Perusahaan," katanya.

Garuda Indonesia, kata Irfan, memastikan bahwa seluruh hak pegawai yang akan mengambil program tersebut akan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku serta kebijakan perjanjian kerja yang disepakati antara karyawan dan Perusahaan.

"Melalui program pensiun yang dipercepat tersebut kami berupaya untuk memberikan kesempatan kepada karyawan yang ingin merencanakan masa pensiun sebaik mungkin. Khususnya bagi mereka yang memiliki prioritas lain di luar pekerjaan, maupun peluang karir lainnya di luar perusahaan," ucapnya.

Irfan tak menampik, program pensiun dini ini merupakan langkah berat yang harus diambil oleh perseroan. Meski begitu, ia mengatakan langkah ini harus dilakukan.

"Namun opsi ini harus ambil untuk bertahan di tengah ketidakpastian situasi pemulihan kinerja industri penerbangan yang belum menunjukan titik terangnya di masa pandemi COVID-19 ini," jelasnya.

Empat opsi Kementerian BUMN menyelesaikan masalah Garuda

Kementerian Badan Usaha Milik Negara BUMN menyiapkan empat opsi dalam upaya menyelesaikan masalah yang membelit maskapai Garuda Indonesia.

Adapun empat opsi tersebut yaitu:

Pertama, pemerintah akan terus mendukung Garuda melalui pemberian pinjaman atau suntikan ekuitas. Opsi ini berpotensi meninggalkan Garuda dengan utang warisan yang besar yang akan membuat situasi yang menantang pada masa depan. Opsi ini dilakukan oleh Singapore Airlines maupun Cathay Pacific.

Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan dalam restrukturisasi Garuda Indonesia. Dengan pilihan ini, Garuda akan menggunakan legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban seperti utang, sewa dan kontrak kerja.

Ketiga, restrukturisasi Garuda dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Opsi ini, Garuda dibiarkan melakukan restrukturisasi. Pada saat bersamaan, mulai mendirikan perusahaan maskapai penerbangan domestik baru yang akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda dan menjadi national carrier di pasar domestik.

Jika opsi ini yang menjadi pilihan, eksplorasi lebih lanjut atas opsi adalah Indonesia tetap memiliki national flag carrier namun opsi ini membutuhkan modal 1,2 miliar dolar AS.

Terakhir, Garuda dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan mengisi kekosongan. Pemerintah mendorong sektor swasta untuk meningkatkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah. Jika opsi ini dipakai, Indonesia tidak lagi memiliki national flag carrier.

Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan, pemerintah bisa mengambil kombinasi opsi 3 dan 4 sebagai pilihan. Opsi mendukung Garuda dengan memberikan pinjaman sulit dilakukan saat sekarang.

"Dengan kondisi sekarang, dikasih duit triliunan pun permasalahan Garuda tidak akan selesai," katanya, dikutip dari Kontan, Senin, 31 Mei.

Lebih lanjut, Budi mengatakan Garuda juga sulit melakukan restrukturisasi internal. Jika karyawan dan serikat pekerja menolak opsi yang ada, mereka bisa melakukan demo setiap hari. Kondisi ini akan tambah menyulitkan Garuda. Menurut dia, kombinasi opsi 3 dan 4 bisa dilakukan Garuda. Garuda masih bisa melakukan restrukturisasi utang.

"Saat ini lessor banyak yang sudah mencadangkan write off atas masalah yang dihadapi maskapai," tuturnya.

Seiring upaya restrukturisasi, menurut Budi, Garuda bisa mendirikan entitas baru.

"Nanti bisa beli pesawat lagi dengan harga murah. Kalau perlu, minta swasta dulu yang membeli sebagai fire sale price," ujarnya.

Kata Budi, opsi ketiga diam-diam juga sudah dipakai Lion Air yang mendirikan Super Air Jet. Sebagai perusahaan baru, Garuda bisa menggunakan nama lain.

"Swasta bisa menjalankan perusahaan baru secara efisien," ujarnya.

Lebih lanjut, Budi mengatakan bisnis penerbangan masih menjanjikan peluang, jika pandemi COVID-19 selesai. 

"Ada opportunity kalo covid selesai karena ada bisnis umrah, naik haji dan banyak lagi. New company semisal, bisa dikasih monopoli konsesi lima tahun dan bisa pula di kontrakan ke airlines lain sehingga perusahaan baru ini bisa mendapat margin commission," tuturnya.

Kata Budi, pada dasarnya, investor tidak peduli siapa pemegang sahamnya, yang penting brand-nya jangan dijual.