Ditawari Pensiun Dini, Serikat Pekerja Garuda Indonesia: Kami Terus Memantau, yang Penting Tanpa Paksaan
Ilustrasi foto (Instagram/@garudaindonesia)

Bagikan:

JAKARTA - Tawaran pensiun dini dari manajemen Garuda Indonesia kepada karyawannya mendapat tanggapan dari serikat pekerja. Terbaru, Serikat Karyawan Garuda (Sekarga), Asosiasi Pilot Garuda (APG), Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKGI) buka suara terkait masa depan mereka.

Dalam sebuah keterangan resmi pada Jumat, 28 Mei, Ketua Harian Sekarga Tomy Tampatty mengatakan ada tiga poin penting yang menjadi sikap dari pekerja. Pertama, ikatan karyawan di tubuh perseroan mengerti bahwa proses restrukturisasi di Garuda Indonesia adalah hal yang tidak bisa dihindari.

“Kami terus memantau tawaran pensiun dini sesuai dengan aturan perundang-undangan dan tanpa paksaan,” ujarnya.

Dua, segenap karyawan Garuda Indonesia tetap menjunjung tinggi keberlangsungan usaha demi memberikan pelayanan optimal bagi pelanggan dengan tetap mengedepankan aspek keselamatan yang menjadi prioritas.

Ketiga, mendukung penuh upaya penyelamatan Garuda Indonesia sebagai maskapai nasional yang menjadi bagian dari sejarah bangsa. Untuk itu, serikat pekerja mendorong langkah penyelamatan dari Presiden RI, DPR, Menteri BUMN, Menteri Perhubungan, Menteri  Keuangan, serta komisi terkait di parlemen.

“Seluruh komponen yang ada di Garuda Indonesia untuk solid menjaga keberlangsungan perusahaan,” tuturnya.

Untuk diketahui, airlines pelat merah itu menawarkan program pensiun dini kepada karyawannya terhitung mulai efektif pada 1 Juli 2021 mendatang. Namun, sejak 19 Mei lalu, manajemen Garuda telah membuka pendaftaran bagi karyawannya yang bersedia untuk ikut dalam program itu lebih awal.

Adapun, Garuda Indonesia diberitakan sebelumnya tengah dilanda beban keuangan hingga Rp70 triliun.

Dikutip dari Bloomberg, Senin 24 Mei, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, perusahaan penerbangan pelat merah ini sedang dalam kondisi berat secara finansial. Menurutnya, Garuda Indonesia memiliki utang sebesar 4,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp70 triliun.

Jumlah utang tersebut bertambah lebih dari Rp1 triliun per bulannya seiring dengan penundaan pembayaran yang dilakukan perusahaan kepada pada pemasok.

"Saat ini arus kas GIAA berada di zona merah dan memiliki ekuitas minus Rp41 triliun," ujar Irfan.