Bagikan:

JAKARTA - Sikap Indonesia yang tak sepakat Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Responsibility to Protect (R2P) dijadikan agenda tetap menjadi perbincangan. Banyak orang yang menyayangkan sikap tersebut keluar ketika konflik Israel-Palestina berkecamuk. Meski kemudian pemerintah mengklarifikasi bahwa yang ditolak bukan substansinya melainkan prosedur pembahasannya. Dari kejadian ini terlihat banyak orang yang berharap lewat R2P, komunitas internasional termasuk Indonesia bisa menekan aksi Israel. Mungkinkah hal itu bisa terjadi?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami apa yang dimaksud Responsibility to Protect (R2P) atau kewajiban untuk melindungi manusia dari genosida, pembersihan etnis, kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Selain itu penting juga mengetahui latar belakang lahirnya konsep tersebut. 

Menurut mantan Menteri Luar Negeri Australia, Gareth Evans, yang ikut terlibat dalam mengembangkan konsep R2P menjelaskan, ide utama R2P muncul setelah tindakan genosida kerap terjadi di banyak tempat. Salah satu yang paling berbekas adalah konflik di Rwanda pada 1990-an. 

Waktu itu komunitas internasional tak mampu mencegah 800.000 orang tewas dalam waktu singkat. "Mereka tewas tanpa adanya intervensi dari komunitas internasional," kata Evans dalam wawancara dengan Australian National University.

Evan terlibat dalam pengembangan konsep R2P setelah Sekretaris Jenderal PBB pada waktu itu, Kofi Annan, menantang para peserta Sidang Umum PBB untuk mencari jalan keluar atas sebuah masalah kemanusiaan di suatu negara. "Kalau ide soal intervensi humanitarian merupakan serangan mengerikan terhadap kedaulatan negara sehingga kami tidak dapat berkontemplasi, bagaimana kami menanggapi sebagai komunitas internasional terhadap kekejaman mengerikan yang telah kami lihat di Rwanda, Bosnia, Kosovo," ujar Evans menirukan Annan. 

Kemudian The International Committee on Intervention and State Sovereignty atau Komite Internasional untuk Intervensi dan Kedaulatan Negara mengembangkan konsep R2P selama 2001. R2P diadopsi dengan suara bulat pada 2005 di KTT Dunia PBB dan Indonesa termasuk menjadi salah satu negara yang mendukungnya. 

Prinsip etis R2P ini bisa dibilang perkembangan norma internasional yang mendasari intervensi kemanusiaan terhadap suatu negara. Menurut Kofi Annan kedaulatan negara bermakna tanggung jawab melindungi negaranya dari kejahatan kemanusiaan. 

Apabila pemerintah suatu negara gagal menjalankan kewajiban ini, maka kata Annan dunia internasional akan mengambil alih kewajiban itu, yang artinya melakukan intervensi. "Kedaulatan harus dipahami sebagai sesuatu hal yang bersyarat (tidak mutlak) sejauh pemerintah menghormati hak asasi warga negaranya," tulis Annan dalam Intervention: A Life in War and Peace (2012).

Intervensi kemanusiaan baik dilakukan negara individual maupun multilateral bertujuan membela nilai-nilai luhur yang disepakati bersama yaitu hak asasi manusia. Organ internasional dalam hal ini Dewan Keamanan (DK) PBB berperan seperti penegak hukum yang menjaga aturan dan norma internasional itu tetap dipatuhi. Pelanggaran terhadap norma internasional tadi sama artinya mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Oleh karena itu menghukum si pelanggar merupakan hal yang sah. Pemberian sanksi dijustifikasi demi terwujudnya kebaikan bersama.

Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB masa jabatan 1997-2006

Contoh R2P

Salah satu contoh R2P yakni ketika Libya dirundung konflik pada 2011. Saat itu koalisi Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat melakukan intervensi kemanusiaan di Libya pada bulan Maret 2011. Mereka berdalih hal ini dilakukan untuk melindungi hak asasi manusia warga sipil Libya dari rezim Moammar Khadafi. 

Tetapi dalam ranah politik, kategori tindakan baik atau buruk tentulah sangat subyektif. Faktanya, pihak yang paling kuatlah yang berperan besar menciptakan kategorisasi baik buruk ini. 

Intervensi itu bukan tanpa perdebatan. Sebab ada yang bilang, para tindakan para koalisi tersebut berupaya mengganti rezim Khadafi yang dianggap tidak ramah terhadap negara-negara barat. AS menemukan momentum itu ketika Libya dilanda revolusi politik yang berlarut-larut oleh kaum pemberontak yang didukung barat. 

Demokratisasi ternyata tidak berjalan mulus seperti yang terjadi di Tunisia dan Mesir dimana demonstran anti pemerintah berhasil menggulingkan rezim Ben Ali dan Mubarak. Alih-alih mundur, Khadafi justru memberangus kelompok anti pemerintah dengan kekerasan.

Situasi ini membuat DK PBB terpaksa mengambil langkah tegas. Tiga anggota tetap (Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat) minus Rusia dan Cina yang mengambil keputusan abstain mengeluarkan resolusi untuk menggelar operasi militer terhadap Libya. Misinya satu: menyelamatkan warga sipil yang menjadi korban penindasan rezim Khadafi. 

Mohamad Rosyidin, dosen Universitas Diponegoro dalam tulisannya di Jurnal Global Strategies (2016) menyebut intervensi kemanusiaan di Libya merupakan sebuah paradoks. Serangan koalisi ke negara tersebut justru mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan sipil. 

Misalnya saja pada 20 maret 2011, serangan NATO membunuh 48 warga sipil Libya. "Serangan militer itu membuktikan bahwa motivasi pasukan koalisi tidak lagi bersifat kemanusiaan, tetapi politis. Setelah NATO mengambil alih serangan, korban sipil terus berjatuhan," tulis Rosyidin. 

Tentara Libia yang diserang angkatan udara Prancis pada 19 Maret 2011 (Sumber: Wikimedia Commons)

Bukti lainnya jika serangan Libya tak bermotif kemanusiaan adalah NATO menolak tawaran negosiasi dari pemimpin Libya Moammar Khadafi. NATO meragukan kredibilitas tawaran damai tersebut. 

"Penolakan barat tersebut bisa dikategorikan sebagai pengabaian terhadap upaya damai. Bagi negara-negara barat, upaya damai tidak ada gunanya jika Khadafi belum berhasil digulingkan dan menggantinya dengan rezim demokratis," kata Rosyidin. 

Secara konsep R2P dianggap bagus dan memang perlu ada karna bisa memberi basis bagi intervensi pencegahan genosida. Namun dalam praktiknya, R2P dianggap tebang pilih. Lalu apakah mungkin konsep ini digunakan untuk mengintervensi R2P? Untuk menjawab pertanyaan itu VOI menghubungi Dosen Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, Broto Wardoyo.  

Bisakah menekan Israel?

Dalam konteks hubungan internasional menurut Broto hal yang penting untuk dipertanyakan dari konflik Israel-Palestina, adalah apakah Dewan Keamanan (DK) PBB bisa atau mau mengeluarkan resolusi untuk menekan Israel. "Apakah DK misalnya akan menerjunkan pasukan atau internasional ovserver? Kalau di DK itu kan tergantung sama lima anggota tetap saja (Inggris, Prancis, AS, China, Rusia). Dan udah keliatan AS enggak akan mau mengeluarkan resolusi yang menekan Israel."

"Jadi realitas politiknya agak susah. Karena kita bicara mandat," ujar Broto. 

Selain itu, menurut Broto bila menggunakan argumen R2P akan timbul masalah karena dilihat sebagai adanya intervensi. "Itu yang akan susah. Karena R2P itu terkait dengan masalah domestik. Ada kekerasan di dalam negara."

Sebetulnya dorongan-dorongan komunitas internasional terhadap Israel bukannya tidak ada. Hanya saja kalau dilihat dari yang sudah-sudah, menurut Broto "Israel punya kecenderungan mengabaikan saja. Dulu kan pernah ada Perdana Menteri Israel dituntut untuk dibawa ke Pengadilan Internasional juga mereka santai saja."

Mengapa konflik ini sulit dicari titik temunya menurut Broto adalah karena Israel juga merasa punya hak untuk membela diri. "Sehingga apa yang mereka lakukan itu dianggap sebagai membela diri."

Lantas menurut Broto konflik ini hanya bisa diselesaikan melalui negosiasi. "Tapi kan negosiasi sudah dilakukan beberapa puluh tahun tapi gitu-gitu saja. Sebab Palestinya juga tidak punya bergain yang setara dengan Israel. Artinya harus ada terobosan di situ," ujar Broto.

BERNAS Lainnya