Bu Mega Lebih Kuat dari yang Bu Mega Kira, Dan Ini Kontribusi yang Bisa Ibu Lakukan untuk Lawan Korupsi
Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri (Sumber: Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengutarakan perasaan soal banyaknya kader Partai Banteng yang terlibat korupsi. Megawati bilang, kabar-kabar itu membuatnya "tak kuat." Tidak. Megawati harus kuat jika ingin partainya bersih. Lebih dari itu, Megawati punya kesempatan kok jika benar-benar ingin negara ini bersih dari korupsi. Kami beritahu caranya. Semoga bisa menguatkan Bu Mega.

Pernyataan Megawati disampaikan dalam acara halalbihalal virtual bersama para kader PDIP. Halalbihalal dilakukan secara dialogis. Megawati berkali-kali mengundang pengurus daerahnya untuk berbicara. Tak terlihat kesulitan bagi Megawati mengenali pengurus partai hingga tingkat kabupaten/kota. Dialog dibangun bersama mereka.

Acara ini intim dan hangat. Megawati bahkan mengajak para kader bernostalgia, mengingat kiprah PDIP di awal kepemimpinannya. Salah satunya soal serangan di kantor partai pada masa Orde Baru. Megawati juga menyinggung bagaimana ia berkeliling Indonesia untuk melantik pengurus partai di kecamatan.

Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri (Sumber: Antara)

Megawati merindukan PDIP yang lama. Ia kemudian juga menyinggung kasus-kasus korupsi yang belakangan banyak menjerat kader PDIP. Perilaku-perilaku korup itu, kata Megawati merusak nama partai. Tak cuma secara sejarah tapi juga dalam kontestasi perpolitikan nasional. Megawati turut mengingatkan target partai memenangi Pemilu 2024.

"Saya tak kuat mendengar jika ada yang ditangkap karena korupsi. Mencoreng nama partai. Harus ingat pepatah, nila setitik rusak susu sebelanga. Karena itulah jangan korupsi,” tutur Megawati, dikutip Rabu, 19 Mei.

"PDI Perjuangan harus tetap ada dan terus berkibar selama bangsa ini ada ... Jangan lengah. Terus turun ke bawah. Solid dan semangat bekerja untuk rakyat. Terus perkuat persatuan karena ini pertarungan bagaimana ideologi Pancasila terus menjadi daya gerak perjuangan kita," tambah Megawati.

Tanda gawat darurat

PDIP memang wajib membunyikan tanda gawat darurat. Pada Sabtu dinihari, 28 Februari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap basah Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif Nurdin Abdullah dalam operasi tangkap tangan (OTT). Nurdin kala itu jadi kader PDIP keempat yang tertangkap korupsi dalam kurun waktu enam bulan.

Dalam kasus ini Nurdin diduga menerima suap. Perkembangan terbaru, Pengadilan Negeri Tipikor Makassar mendakwa kontraktor, Agung Sucipto atas dugaan memberi suap 150 ribu dolar Singapura dan uang senilai Rp2 miliar. Pemberian suap dilakukan di tempat berbeda, yang salah satunya dilakukan di rumah jabatan gubernur.

"Jadi 150 ribu dolar Singapura itu pemberian suap pertama di Rujab Gubernur, kemudian yang kedua Rp2 miliar itu yang operasi tangkap tangan dilakukan oleh KPK," kata jaksa penuntut umum KPK Muhammad Asri Irwan, dalam dakwaannya, dikutip Selasa, 18 Mei.

Nurdin Abdullah (Instagram/@nurdin_abdullah)

Dalam dakwaan, jaksa juga mengungkap sejumlah barang bukti, seperti beberapa berkas proposal dan berbagai surat keputusan gubernur terkait proyek-proyek infrastruktur. Semuanya ditandatangani Agung Sucipto. Selain itu ada juga bukti aliran dana Rp70 juta ke Nurdin yang dikirim lewat rekening istri Nurdin, Lestiaty Facruddin.

Sebelum Nurdin, kita ingat salah satu kasus korupsi paling miris dalam sejarah bangsa, yang melibatkan eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara. Sang menteri menilap uang pengadaan paket bantuan sosial (bansos) COVID-19. Pada April lalu, KPK mendakwa Juliari telah menerima suap Rp32,2 miliar dari korupsi bansos COVID-19.

Angka itu dua kali lipat dari dugaan awal, yakni Rp17 miliar. Jaksa KPK merinci sumber uang itu, di antaranya berasal dari pengusaha, Harry Van Sidabukke, yang nilainya Rp1,28 miliar, Ardian Iskandar Maddanatja (Rp1,9 miliar), dan uang senilai Rp29,2 miliar dari sejumlah perusahaan penyedia sembako paket bansos COVID-19.

Juliari Batubara (Sumber: Antara)

Pihak-pihak itu memberikan uang agar ditunjuk menjadi penyedia sembako bansos COVID-19. Seluruh uang diberikan kepada Juliari melalui dua pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial: Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Juliari diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Dua nama sebelum Juliari --melengkapi daftar empat kader PDIP yang terjerat kasus korupsi dalam enam bulan belakangan-- adalah Wenny Bukamo. Ia adalah mantan Bupati Banggai Laut. Wenny ditangkap KPK atas suap proyek di Kabupaten Banggai Laut. Lainnya, Andreu Misanta Pribadi, eks caleg PDIP.

Andreu adalah bekas Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Andreu menyerahkan diri ke KPK setelah dinyatakan terlibat dalam praktik suap ekspor benih lobster alias benur.

Megawati bisa apa?

Banyak. Ada berbagai macam hal yang bisa dilakukan Megawati. Ingat, Megawati adalah Ketua PDIP, partai penguasa. Dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) adalah kader partainya. Jika hari ini Megawati merasa tak kuat, ia salah. Megawati memiliki kekuatan besar jika benar-benar ingin berkontribusi dalam perlawanan terhadap korupsi.

Di bagian pembenahan internal PDIP, misalnya. Megawati harus mampu mendorong optimalisasi fungsi perangkat antikorupsi di dalam partai, seperti penandatanganan pakta integritas atau pengumpulan LHKPN bagi kader yang menduduki jabatan strategis. Megawati juga bisa mendorong pencegahan sejak dini, terutama dalam hal mahar politik.

"Membuka akses informasi penerimaan dan penggunaan anggaran parpol bagi PDIP bisa menjadi salah satu cara dan contoh bagi partai lain, bahwa partai penguasa harus mempunyai standar yang tinggi dalam pencegahan korupsi melalui transparansi dan akuntabilitas dana parpolnya," tutur Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko kepada VOI, Kamis, 20 Mei.

Apa yang dikatakan Wawan beralasan. Pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiarti menyebut ada masalah sistemik dalam sistem politik Indonesia, termasuk bagaimana sebuah partai politik dikelola. Dan yang paling krusial dalam konteks korupsi dalam dimensi politik adalah pendanaan partai.

Kita tahu mahalnya biaya politik. Dan yang terjadi di Indonesia, partai politik tak memiliki pendapatan independen. Badan usaha, misalnya. Tak ada partai yang mampu membangun sistem pendanaan semacam itu dengan baik. Partai akhirnya mencari dana lewat kader dan anggota-anggota mereka yang menang pemilu.

"Ini akhirnya menjadikan partai dalam posisi politik. Biaya politik tinggi tapi enggak ada pemasukan. Makanya kemudian rentan melakukan tindakan korupsi. Salah satu aspek institusional," Puput, ketika dihubungi VOI, Kamis, 20 Mei.

Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri (Sumber: Antara)

Itu perkara internal. Untuk konteks yang lebih luas, Megawati sebagai pemimpin partai berkuasa juga bisa memanfaatkan posisi itu untuk membangun sistem politik nasional yang lebih aman dari potensi korupsi dan hal-hal transaksional lain. Misalnya, memperbaiki sistem pemilu lewat revisi Undang-Undang Partai Politik yang menurut Puput krusial.

"PDIP kan menjadi juara. Partai yang punya kursi besar di DPR. Dan pengaruh presiden yang berasal dari PDIP. Harusnya PDIP bisa jadi partai yang mendorong melakukan revisi menyeluruh UU Parpol dengan tujuan memperbaiki sistem pemilu, sistem politik untuk mencegah parpol koruspi lebih parah. Bukan sebaliknya," tambah Puput.

LIPI memberi sejumlah rekomendasi yang dapat dilakukan dalam konteks evaluasi sistem politik lewat revisi UU. Pertama adalah meningkatkan dana dari pemerintah untuk partai politik. Tapi dengan catatan. Penambahan dana harus diiringi dengan penguatan sistem audit publik.

Selain itu, UU yang juga wajib direvisi adalah UU Pemilu. LIPI merekomendasikan perubahan sistem pemilu serentak. Sistem pemilu serentak harus ada jeda waktu antara penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal alias daerah. Hal itu penting untuk memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mengevaluasi para peserta pemilu.

"LIPI mengusulkan dibuat serentak lokal dan nasional, dengan jeda antara pemilu lokal dan pemilu nasional. Jadi ada jeda dua sampai tiga tahun. Tujuannya agar publik bisa evaluasi terhadap parpol. Misalnya ketahuan partai dan orang-orang korup di tingkat lokal, nanti ada waktu untuk mereka melakukan mengganti pilihan di pemilu tingkat nasional," tutur Puput.

*Baca Informasi lain soal KORUPSI atau baca tulisan menarik lain dari Wardhany Tsa Tsia juga Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya