JAKARTA - Kadang, membingungkan, memang, melihat yang terjadi antara Israel-Palestina. Apakah ini peperangan? Adakah ini persoalan agama? Bukan. Ini penjajahan, saudaraku. Sejarah dan literasi mengamini ungkapan bijak, "kita tak perlu jadi Muslim untuk mendoakan Palestina." Atau dalam versi yang lebih universal, kita bahkan tak harus punya agama untuk berdiri di sisi Palestina. Iya, kita hanya perlu jadi manusia.
Lalu, apa masalahnya kalau bukan agama?
"Ini adalah konflik tentang wilayah. Sesederhana itu," ungkap seorang pakar keamanan internasional dari University of Sydney, Dr Gil Merom, dalam wawancara bersama SBS News.
Sebelum memasuki bahasan soal akar sejarah konflik Israel-Palestina, kita lihat demografi dua negara. Agama apa yang ada di sana? Data situs jewishvirtuallibrary.org merinci, pada 2017, demografi Israel diisi oleh 141.2 orang Druze (1.6%), 171.9 Kristen (2.0%), 1,561.70 Islam (17.8%), serta 6,554.50 Yahudi (74.5%).
Sementara, di Palestina, data CIA yang dikutip Intisari pada 2017 menyebut ada 8 persen Kristen dan 17 persen Yahudi di wilayah Tepi Barat. Mayoritas, 75 persen Islam --didominasi Sunni-- menempati wilayah itu. Sementara, di Jalur Gaza, dominasi Islam lebih tinggi dengan 80,3 persen. Sisanya adalah Kristen, 0,7 persen.
Akar persoalan Israel dan Palestina dimulai sejak zaman alkitab. Namun, dalam perspektif sejarah modern, semua konflik yang terjadi hari ini berpusat pada apa yang terjadi di medio 1882 hingga 1984. Pada masa itu terjadi satu peristiwa yang disebut 'aliyah' atau gelombang besar pergerakan kaum Yahudi memasuki suatu daerah.
Daerah itu adalah wilayah yang sejak 1917 dikenal secara resmi sebagai Palestina. Di tahun 1917, Inggris menerbitkan Deklarasi Balfour. Deklarasi yang terbit tak jauh sebelum Inggris jadi kekuatan kolonial di Palestina itu mengumumkan dukungan Inggris terkait pembentukan sebuah "kediaman nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina."
Deklarasi Balfour termaktub dalam sepucuk surat tertanggal 2 November 1917. Surat itu tertanda atas nama Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour dan ditujukan kepada Lord Rotschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris. Deklarasi Balfour kemudian disiarkan lewat media massa pada 9 November.
Tujuannya untuk memberitahukan kondisi tersebut kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Rakyat Palestina menolak Deklarasi Balfour. Palestina adalah salah satu daerah di dalam wilayah negara Kesultanan Utsmaniyah pada saat itu. Dan warga Yahudi di Palestina adalah minoritas.
Peristiwa Holocaust yang menewaskan sekitar enam juta orang Yahudi memperkuat dorongan untuk mendirikan negara bagi mereka. Di tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membagi wilayah sengketa menjadi tiga bagian. Sebagian untuk Yahudi, orang Arab, dan bagian lain diperuntukkan bagi rezim perwalian internasional di Yerusalem.
[MEMORI: Alasan di Balik Adolf Hitler Melakukan Holocaust]
Orang-orang Arab menolak sikap PBB. Bagi mereka PBB tak berhak menentukan pembagian wilayah di tanah itu. Perang pun pecah menyusul deklarasi kemerdekaan negara Israel pada 14 Mei 1948. Tahun itu, 700 ribuan orang Arab di Palestina terpaksa meninggalkan rumah sendiri. Eksodus itu dikenal dengan istilah 'nakba', artinya 'malapetaka' dalam bahasa Arab.
Versi Palestina mengatakan para Zionis memaksa orang-orang Arab keluar dari rumah mereka sendiri. Sementara, Israel menyatakan kepergian orang-orang itu dipicu dorongan pemimpin Arab. Sebagian lagi, menurut Israel pergi dengan sukarela. Perang ini jadi peristiwa penting melihat konflik wilayah Israel dan Palestina hari ini.
Israel dengan cepat menguasai wilayah-wilayah Palestina, kecuali Tepi Barat di bagian timur Yerusalem yang dikuasai Yordania dan Jalur Gaza yang penguasaannya di bawah Mesir. Pada 1967, peperangan lain terjadi. Dalam enam hari Israel mengalahkan pasukan Yordania, Mesir, dan Suriah. Yerusalem Timur pun direbut dari Yordania.
Apa hubungan perang 1967 dengan konflik beberapa hari ini?
Konflik yang kita lihat beberapa hari ini bermula dari sengketa tanah di Sheikh Jarrah. Sengketa beritik pusat di rumah empat keluarga Palestina yang diklaim oleh para pemukim Yahudi. Pada awal tahun 2021, pengadilan distrik Yerusalem memutuskan rumah-rumah itu legalitasnya berada di bawah kepemilikan para keluarga Yahudi.
Para pemukim Yahudi yang menggugat mengatakan keluarga mereka kehilangan tanah itu pada saat perang 1948. Dalam perang itu, orang Israel, maupun Palestina banyak kehilangan rumah. Versi warga Palestina, mereka punya bukti rumah-rumah itu didapat dari otoritas Yordania yang menguasai Yerusalem Timur pada medio 1948 sampai 1967.
[MEMORI: Perang 6 Hari yang Ubah Geopolitik Timur Tengah]
Semenjak kemenangan Israel dalam perang 1967, situasi tak lagi menyenangkan bagi pemukim Palestina di Sheikh Jarrah. Dua asosiasi pemukiman Israel, Sephardic Committee and the Knesset Committee of Israel bahkan meminta pengadilan untuk mengusir empat keluarga dari rumah mereka dengan tuduhan perampasan tanah.
Israel juga membentuk payung hukum yang mendukung orang-orang Yahudi yang kehilangan harta benda akibat perang 1948 untuk kembali mengklaim milik mereka. Sebaliknya, UU itu melawan warga Palestina dan upaya mengklaim kembali kepemilikan mereka yang hilang di Israel dalam perang itu.
Sejak itu, warga Palestina di Sheikh Jarrah diperlakukan sebagai penyewa. Mereka menghadapi tuntutan dari pihak Israel untuk mengambil alih rumah mereka. Sengketa tanah berlanjut hingga memasuki tahun 2000-an. Asosiasi pemukiman Israel yang merasa menang meminta pengadilan mempercepat eksekusi penggusuran rumah warga Palestina.
Pada November 2008, keluarga Al-Kurd terusir dari rumah mereka, diikuti dengan penggusuran keluarga Hanoun dan Al-Ghawi pada Agustus 2009. Total, sejauh ini sudah 12 keluarga Palestina di Sheikh Jarrah yang telah menerima perintah penggusuran. Baru-baru ini, empat keluarga Palestina mengajukan petisi ke Mahkamah Agung.
Mereka menentang keputusan pengusiran. Seorang warga Palestina, Abdel Fattah Sqaffe menyatakan mereka tak akan berhenti memperjuangkan tanah mereka. Polisi Israel merespons dengan kekerasan. Mereka bahkan menyerang Masjid Agung Al Aqsa. Serangan berlanjut dan meluas, melibatkan militer dan senjata berat. Korban makin berjatuhan.
Bagaimana perkembangan terbaru peristiwa ini?
Serangan polisi Israel di Yerusalem Timur dibalas perlawanan warga Palestina. Kelompok militan, Hamas juga melancarkan serangan ke wilayah Israel, termasuk Tel Aviv.
Di dalam wilayahnya, di Kota Lod, Israel juga menghadapi pemberontakan dari kelompok masyarakat Arab. Israel kemudian mencanangkan keadaan darurat di pusat kota itu.
Israel juga melancarkan serangan udara besar-besaran ke Jalur Gaza, wilayah yang dikuasai Hamas. Sebuah apartemen 13 lantai tempat tinggal penduduk sipil jadi sasaran pengeboman Israel.
Apartemen itu runtuh beberapa jam setelah penghuni dan warga di sekitarnya diultimatum untuk mengungsi. Ini adalah pertikaian terburuk yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Korban jiwa terus berjatuhan.
Dikutip BBC, hingga Rabu siang, 12 Mei, setidaknya sudah 40 orang tewas akibat pertikaian ini. Korban terdiri dari 35 warga Palestina dan lima orang Israel. Dari sisi Palestina, bom Israel turut membunuh 12 anak-anak dan seorang perempuan.
Komunitas internasional mendesak kedua pihak mengakhiri pertikaian. Utusan khusus PBB untuk perdamaian Timur Tengah, Tor Wennesland menyerukan, "Hentikan segera penembakan. Kita sedang mengarah ke perang berskala penuh," ia berkicau di Twitter.
"Pimpinan kedua pihak harus mengambil tanggungjawab untuk meredakan kekerasan ... Dampak perang di Gaza sangat menghancurkan dan tengah dibayar mahal oleh warga-warga biasa," lanjut Wennesland.
Sementara, Dewan Keamanan PBB berencana menggelar pertemuan tertutup untuk membahas konflik Israel-Palestina. Pertemuan rencananya digelar hari ini pada detail waktu yang tak dirinci. Hingga artikel ditulis, belum ada perkembangan soal pertemuan itu.
*Baca Informasi lain soal ISRAEL-PALESTINA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada juga Yudhistira Mahabharata.