JAKARTA - Kepolisian mengkaji penghapusan jalur sepeda permanen di Sudirman. Terdengar seperti kemunduran. Polisi melihat minimnya efektivitas jalur sepeda karena banyak pelanggaran. Mulai tak masuk akal. Alasan lain, kecelakaan yang menyebabkan sebuah mobil terguling setelah menabrak pelindung jalur sepeda. Baiklah, ini konyol.
Jalur sepeda permanen dan terproteksi di Jalan Jenderal Sudirman dipasang Februari 2021. Pembatas permanen berupa planter box yang terbuat dari beton itu membuat para pesepeda bisa gowes dengan lebih aman dan nyaman. Wacana penghapusan jalur sepeda terproteksi sendiri dinyatakan oleh Polda Metro Jaya.
Kasubdit Gakkum Ditlantas AKBP Fahri Siregar mengatakan wacana penghapusan muncul lewat sejumlah pertimbangan, termasuk efektivitas keberadaan jalur sepeda. Jalur sepeda sering dilintasi motor. Di sisi lain, para pesepeda juga banyak yang tak melintas di jalur permanen yang disediakan. Hal-hal itu yang membuat jalur sepeda tak efektif di matanya.
Cara berpikir ini keliru. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah berpendapat di sanalah justru tugas polisi, untuk menegakkan kedisiplinan. Logikanya mudah saja. Bayangkan soal lampu merah. Apakah kita harus mencopot setiap lampu merah di persimpangan ketika banyak orang menerobosnya?
"Sekarang justru adanya itu (jalur sepeda terproteksi) dalam rangka ketertiban lalu lintas. Kalau semua pelanggaran harusnya tanggung jawab polisi untuk memberi perlindungan kepada sepeda. Sesat pikir. Menurut saya ini kebijakan kontraproduktif," kata Trubus, dihubungi VOI, Senin, 10 Mei.
Komunitas Bike2Work Indonesia, dalam pernyataannya menyikapi wacana ini dengan kritis. Wacana penghapusan jalur sepeda adalah kemunduran dalam upaya mendorong transportasi massal ramah lingkungan sebagai norma baru di Ibu Kota. Bike2Work juga mengkritisi dukungan anggota Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni pada wacana ini.
Sahroni merefleksikan minimnya pemahaman masyarakat soal gaya hidup bersepeda. Sahroni hanya melihat isu ini dari sudut pandang sepeda olahraga yang memang tidak membutuhkan jalur khusus. Padahal, kehidupan bersepeda jauh lebih luas. Kaum commuter, misalnya, yang sehari-hari menggunakan sepeda untuk beraktivitas.
"B2W Indonesia percaya keberadaan jalur sepeda permanen diperlukan untuk mendukung upaya pemerintah DKI mewujudkan sistem transportasi yang mengutamakan perpindahan manusia, bukan kendaraan bermotor pribadi," tertulis dalam rilis.
Keberpihakan pada kelompok tertentu
Jika bukan cacat logika yang terlalu sulit dipahami, maka munculnya wacana penghapusan jalur sepeda ini adalah bukti keberpihakan otoritas pada kelompok tertentu. Ada yang menarik dari pernyataan Kasubdit Gakkum Ditlantas AKBP Fahri Siregar, ketika ia menyinggung kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sebuah mobil.
"Kita kaji lagi, kayak kemarin ada kecelakaan lalu lintas, walaupun penyebab utamanya bukan jalur sepedanya permanen, tapi fatalitas itu, begitu tabrak jalur sepeda permanen itu fatalitasnya ada. Jadi kendaraan itu terbentur lebih keras karena dia (pembatas) terbuat dari beton seberat 300 kilogram," ungkap Fahri, ditulis Detik.
Kecelakaan yang dimaksud Fahri terjadi bulan lalu. Kala itu sebuah mobil terguling setelah menabrak pembatas jalur sepeda permanen di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Pernyataan Fahri jadi pertanyaan di kepala Ketua Bike2Work Poetoet Soedarjanto, soal bagaimana Fahri mengelola perspektifnya.
Bukankah kejadian itu menunjukkan pentingnya jalur sepeda terproteksi permanen? Bukankah itu fungsi jalur sepeda terproteksi permanen? Agar pesepeda terlindungi dari kendaraan-kendaraan bermotor yang nyasar? "Justru itu, mas," ucap Poetoet merespons pertanyaan kami dengan singkat.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah melihat pernyataan Fahri sebagai tanda keberpihakan otoritas pada kelompok tertentu. Kelompok tertentu yang dimaksud Trubus bisa bermacam-macam, mulai dari pengendara kendaraan bermotor, industri otomotif, bahkan perusahaan-perusahaan penyedia bahan bakar.
"Saya lihat sih ada. Jadi ini kan seperti keberpihakan pada para pengendara mobil, termasuk industri mobil, perusahaan BBM juga. Jadi kurang berpihak pada masyarakat pengguna sepeda," tutur Trubus.
Peradaban mundur
Wacana ini disayangkan oleh Bike2Work. Ketika kota-kota dunia mulai menyadari konsep transportasi modern yang mengedepankan perpindahan manusia --bukan perpindahan kendaraan bermotor seperti disinggung sebelumnya, Polda Metro Jaya malah mengajak kita mundur.
Sebagaimana kota-kota lain yang menganut tata ruang modern, prioritas kini seharusnya lebih banyak diberikan pada pejalan kaki dan pengguna sepeda. Jakarta baru merintis ini, menjadikannya sebagai norma baru lewat Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan.
Polda Metro Jaya sebagai otoritas seharusnya mendukung kebijakan ini, bukan mengganjalnya. "Selain terkesan cuci tangan, polisi juga bisa dipandang menentang upaya mewujudkan kota yang lebih baik, lebih layak huni, lebih mengutamakan manusia yang menghuninya," tertulis dalam rilis pers.
Karenanya, Bike2Work mendorong sejumlah hal terkait isu ini. Pertama, mendorong semua pihak meningkatkan komitmen memajukan jalur sepeda. Bukan apa-apa, ini adalah mandat dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua, "mendorong aparat kepolisian lebih kuat dan aktif mengawal kebijakan jalur sepeda."
Terakhir, Bike2Work juga meminta pejabat, termasuk anggota DPR untuk mengubah pola pikir dalam isu pembangunan kota dan sistem transportasinya.
*Baca Informasi lain soal JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani juga Yudhistira Mahabharata.