JAKARTA - Siswi SMA di Bengkulu, MS dikeluarkan (drop out/DO) dari sekolah karena konten TikTok berisi penghinaan pada Palestina. Bagi MS, kasus ini sebenarnya bisa lebih gawat karena polisi sempat terlibat. Tapi dalam perspektif lebih luas kita sejatinya sedang menyaksikan bukti sistem pendidikan Indonesia tak digelar untuk mendidik manusia.
"Saya minta maaf atas perbuatan saya, baik kepada warga Palestina maupun seluruh warga Indonesia," kata MS, dikutip Antara, Selasa, 18 Mei.
Kapolres Bengkulu Tengah AKBP Ary Baroto mengatakan sejatinya ada proses hukum terhadap MS. Tapi proses hukum kemudian dihentikan menyusul pertemuan yang digelar sebagai mediasi antara pihak-pihak.
Pertemuan itu dihadiri MS beserta orang tuanya, perwakilan kepolisian, Ketua Komite, FKUB, Badan Kesbangpol Benteng, Kemenag Benteng, Komisi I DPRD Benteng serta Cabang Dinas Pendidikan wilayah VIII Benteng, dan pihak sekolah MS.
“Penyelesaian kasus ini kita lakukan dengan restorative justice, yang mana setiap penyelesaian permasalahan tidak selalu diselesaikan dengan pidana," kata Ary Broto.
Di pertemuan itulah MS mengucap maaf dan pengakuan menyesali perbuatannya. Permintaan itu disampaikan MS kepada seluruh warga Palestina dan masyarakat Indonesia. Iya, masyarakat Indonesia.
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah Adang Parlindungan menyebut tindakan MS melanggar tata tertib yang ada. "Keputusan ini kita ambil karena memang pihak sekolah sudah melakukan pendataan terhadap tata tertib poin pelanggaran MS," kata Adang.
"Dari data poin tata tertib tersebut diketahui kalau MS, poin tata tertib MS sudah melampaui dari ketentuan yang ada," tambah Adang, yang bahkan tak menyinggung tanggung jawab sekolah atau tanggung jawabnya sendiri di dalam kasus ini.
Jadi siapa yang harusnya tanggung jawab?
Sekolah, tentu saja. Jika ditarik ke bawah, guru. Jika melihat konteks ini lebih luas, Dinas Pendidikan, termasuk Adang juga harus bertanggung jawab. Ya, begitu jika sistem pendidikan kita berjalan dengan semestinya. Tapi yang terjadi terhadap MS tak begitu.
Dihubungi VOI, Rabu, 19 Mei, pakar pendidikan Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto mengatakan tanggung jawab guru dalam konteks kasus MS adalah memberi pemahaman mengenai situasi masyarakat di dalam dan luar negeri.
Di era global, guru harus membekali diri dengan pengetahuan terkait isu internasional "sehingga dapat memberi panduan ke anak didiknya mengenai isu-isu besar seperti Palestina ini. Kalau gurunya berpengetahuan luas, maka anak didiknya bisa lebih paham."
Dengan pemahaman yang tercukupi, tindakan-tindakan sebagaimana ditunjukkan MS tak akan terjadi. Jadi, sekolah harusnya tidak cuci tangan dengan mengeluarkan MS dari sekolah.
"Langkah itu tidak mendidik meskipun bisa memberikan efek jera atau takut ke anak didik lainnya. Sekolah seharusnya melakukan pembinaan yang lebih baik kepada anak didik tersebut," tutur Totok Soefijanto.
Dalam konteks lebih luas, otoritas pendidikan yang menaungi sekolah, dari dinas hingga Sang Menteri Nadiem Makarim harusnya berkaca. Bagaimana kita bisa percaya sistem pendidikan ini dibentuk dan diselenggarakan untuk mendidik, ketika orang-orang yang kurang terdidik justru diputus akses pendidikannya.
"Jangan mengeluarkannya. Masa depan anak didik itu harus tetap dijaga. Terapkan restorative justice yang lebih edukatif," kata Totok.
"Ya tujuan pendidikan hanya memenuhi prosedur formal saja. Pendidikan itu luas jauh melebihi kurikulum atau rapor kelakuan baik. Tantangan guru itu justru saat menghadapi anak-anak didik yang sulit," tambahnya.
*Baca Informasi lain soal PENDIDIKAN atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.