Sialnya Jadi Kurir Pengiriman Paket: Tanggung Jawab Besar tapi Perlindungan Hukum Minim
Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Kisah kurir paket COD alias bayar di tempat yang dicerca pelanggan karena paketnya diduga berbeda dengan pesanannya kembali terjadi. Sialnya, peristiwa seperti ini terjadi di tengah kondisi kurir yang tidak punya hubungan kerja yang jelas baik dengan pihak marketplace, penjual, bahkan perusahaan ekspedisinya sendiri. Mereka minim perlindungan hukum. 

Peristiwa tersebut terungkap lewat rekaman video yang viral di media sosial. Kali ini pelanggannya sosok ibu-ibu yang terlihat begitu emosi ketika memarahi kurir. 

Sambil mengumpat, dia mengaku merasa ditipu akibat paket yang isinya tak sesuai pesanan. Dalam video terlihat kurir yang merekam kejadian berusaha menjelaskan prosedur belanja online dengan sistem COD. 

Dia menegaskan, paket yang sudah dibuka tak bisa dikembalikan. Namun si ibu berkeras membukanya sambil mengemas kembali sebab ia ingin sang kurir mengembalikan paketnya kepada si penjual. 

"Ini barangnya enggak sesuai. Untung saya buka dulu barangnya ini, go*lok," ujar sang ibu. 

"Masalah barang enggak sesuai bukan urusan kita kak. Kalau misalnya saya kena komplain ibu mau tanggung jawab?" Balas sang kurir. 

Setelah kembali mengemas paket yang sudah dibuka, sang ibu kemudian melempar paketnya kepada sang kurir agar dikembalikan kepada penjual. "Oh begitu ya perlakuannya," pasrah sang kurir. 

Sudah jatuh tertimpa tangga

Kurir tersebut sebetulnya sudah menjelaskan, paket COD yang baru diterima tidak boleh langsung dibuka sebelum dibayar oleh pembeli. Peraturan itu juga jelas tertera di laman salah satu platfrom marketplace yang menyediakan metode pembayaran COD. "Pembeli harus melakukan pembayaran ke kurir sebelum menerima/membuka paket," tertulis.

Kami bertanya kepada Maya --bukan nama sebenarnya-- salah seorang karyawan ekspedisi di Jakarta, bagaimana bila ada paket COD tidak dibayar pelanggan dan siapa yang bertanggung jawab. Kebetulan dia bekerja sebagai HRD dan menangani langsung urusan kerja sama dengan kurir. 

Kata Maya, apabila pelanggan tidak membayar biaya ongkos kirim COD maupun barang yang dikirim, maka yang paling dirugikan adalah kurir. Sebab di beberapa perusahaan, ada kebijakan yang apabila barang COD tidak dibayar setelah dikirim ke pembeli, maka kurir yang harus membayar paket tersebut. 

"Pada saat kurir balik ke gudang dan barangnya rusak atau belum dibayar, itu si driver (kurir) yang bayarin duluan. Supaya closing. Karena kalau enggak dibayar, besoknya dia enggak bisa kerja," kata Maya waktu dihubungi VOI.

Hubungan kerja merugikan

Itu baru satu dari banyak kemalangan yang menimpa para kurir ekspedisi. Bahkan untuk hal mendasar seperti jaminan kesehatan, banyak di antara mereka yang tidak mendapatkannya. 

Menurut Maya, umumnya, para kurir dengan status kemitraan hanya memperoleh gaji saja. Mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan seperti karyawan pada umumnya. 

"Enggak ada jaminan apa-apa. Sehatu aku mitra itu dia masuk, dapat gaji," kata Maya. "Beberapa perusahaan akan menerapkan mitra kalau enggak mau rugi. Karena kan enggak perlu bayar BPJS dan THR."

Status kemitraan pada kurir ekspedisi menurut Farizal Pranata Bahri, seorang pengacara di Advokat Anak Bangsa, bukan tak dilindungi hukum. Sebab masih ada hubungannya dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Meskipun beleid itu tak mengatur secara spesifik mengenai kondisi paket. 

"Hanya sebatas tentang 'pengantaran' dan 'penerimaan.'Jadi apabila terjadi sesuatu terhadap 'isi' dari paket bukan bagian tanggung jawab ekspedisi atau marketplace," kata Farizal, dihubungi VOI

Ada pun sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan, perusahaan bertanggung jawab memenuhi keperluan kesehatan, asuransi perjalanan, dan gaji untuk kurir. "Yang di atur dalam UU tersebut terbatas  di antaranya mengenai kesehatan dan keselamatan pekerja  tidak untuk penerapan layanan cod tersebut," kata Farizal.

Sementara itu Farizal mengkritik keras kepada perusahaan yang mengelak dari kewajiban memenuhi asuransi kesehatan pekerjanya, tak terkecuali kurir. Sebab hal itu sudah diatur secara jelas dalam UUD 1945 Pasal 28H. 

"Dalam UUD tersebut seharusnya jelas. Makna dari 'setiap orang' ditujukan kepada setiap orang walau dengan profesi kurir harus dijamin atas kesehatannya," ujar Farizal.

Kekosongan hukum

Masih menurut Farizal, ada sebuah dalil yang sering digaungkan oleh perusahaan ekspedisi untuk menghindari kewajiban menanggung asuransi kesehatan. Salah satunya yakni menyebut bahwa praktik bisnis mereka hanya memindahkan obyek barang atau benda. 

"Dalam proses tersebut tidak perlu digunakan pekerja yang memiliki kontrak kerja tertentu. Sehingga kewajiban untuk menanggung asuransi kesehatannya dapat dihindarkan," ujarnya.

Sementara untuk perusahaan daring, mereka punya cara sendiri untuk meloloskan diri dari kewajiban memberi asuransi jiwa. Salah satunya yakni dengan menolak bahwa perusahaan mereka bergerak di sektor transportasi. 

"Mereka mendalilkan bahwa perusahaannya berbasis teknologi dan menolak dikatakan perusahaan transportasi. Sehingga tidak ada kewajiban untuk memberikan asuransi kesehatan," kata Farizal.

Dan hal ini bisa terjadi, kata Farizal tak lain adalah akibat dari kekosongan hukum yang mengatur tentang hubungan "kemitraan." "Hal ini terjadi akibat dari kekosongan hukum yang mengatur tentang hubungan 'kemitraan' yang tidak terdapat dalam UU Ketenagakerjaan," pungkasnya.

BERNAS Lainnya