JAKARTA – Pemberlakuan iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera diyakini hanya menguntungkan pemerintah. Sedangkan bagi masyarakat, daya beli bisa menurun dan angka pengangguran berpotensi meningkat, menurut simulasi yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (Celios).
Sejak Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera, gelombang penolakan terjadi di mana-mana.
Mulai dari pekerja, sampai pemberi kerja kompak menolak program untuk pembiayaan perumahan tersebut. Buntutnya, ribuan buruh menggelar demonstrasi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/6/2024) untuk menolak kebijakan Tapera.
Penolakan para buruh dan pengusaha bukan tanpa alasan. Sampai saat ini, para pekerja sudah dikenakan berbagai potongan wajib seperti Pajak Penghasilan, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan Jaminan Hari Tua (JHT). Bertambahnya kewajiban iuran melalui program Tapera di mana buruh harus membayar 2,5 persen dari gaji dan pemberi kerja membayar 0,5 persen dari gaji, diyakini akan makin menggerus daya beli masyarakat.
Tak hanya itu, kekhawatiran akan lahirnya lahan korupsi baru juga mencuat. Pasalnya, sudah cukup sering pengelolaan dana jaminan sosial oleh perusahaan milik pemerintah yang merugi sampai belasan triliun.
Ancam Tingkatkan Pengangguran
Di tengah pelemahan ekonomi dan daya beli masyarakat, tentu potongan tersebut sangat memberatkan. Wajar terdapat penolakan dari dunia usaha hingga asosiasi driver ojek online.
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menyampaikan, berdasarkan hasil simulasi ekonomi, kebijakan Tapera menyebabkan penurunan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp1,21 triliun, yang menunjukkan dampak negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional.
“Perhitungan menggunakan model Input-Output juga menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terdampak, dengan kontraksi sebesar Rp200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan berbagai jenis sektor usaha.” kata Huda dalam keterangan yang diterima VOI.
BACA JUGA:
Sedangkan Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, efek paling signifikan dari implementasi program Tapera adalah pengurangan tenaga kerja. Menurut Bhima, ketika Tapera dijalankan dapat memicu hilangnya 466,83 ribu pekerjaan. Hal ini terjadi karena adanya pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan jika iuran wajib Tapera dijalankan. Memang akan ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara, namun tidak sebanding dengan kerugiannya.
“Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang terjadi di sektor-sektor lain.” imbuh Bhima.
Kapok Kasus Pemerintah
Penolakan program Tapera tidak semata-mata karena pekerja dan pemberi pekerja keberatan dengan penambahan kewajiban ini. Publik sudah terlanjur tidak percaya dengan skema pengelolaan dana jaminan sosial oleh pemerintah.
Masyarakat kita masih ingat betul kasus Jiwasraya dan Asabri yang nilai kerugian investasinya mencapai hingga belasan triliun.
Pada 2019, Jiwasraya mengalami gagal bayar polis ke nasabahnya karena menginvestasikan dana peserta ke instrumen keuangan yang berisiko. Hitungan Kejaksaan Agung kala itu menyebut nilai kerugian negara mencapai Rp13,7 triliun.
Setahun kemudian, Kejaksaan Agung mengungkap persoalan yang hampir sama terjadi pada Asabri. Perusahaan BUMN ini mengalami kerugian sampai Rp10 triliun karena pengelolaan investasi berupa saham yang mengalami penurunan nilai.
Terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyelidiki dugaan korupsi investasi fiktif di Taspen. KPK menyebut, PT Taspen menginvestasikan dana hingga sebesar Rp1 triliun, dan sebagian dari itu diduga fiktif.
Deretan kasus tersebut membuat publik menyangsikan gagasan pembiayaan rumah bagi karyawan dengan skema Tapera. Pengamat jaminan sosial, Timboel Siregar menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan mengapa perusahaan pelat merah tidak becus mengelola dana masyarakat.
Pertama, karena tidak ada aturan ketat terkait investasi. Perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas seperti Jiwasraya, Asabri, dan Taspen memiliki orientasi pada profit atau mengejar untung sebesar-besarnya.
Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan tersebut diperbolehkan menginvestasikan dana nasabah ke sejumlah instrument keuangan, mulai dari surat utang negara, deposito, reksadana, atau saham. Yang jadi masalah, tidak ada aturan ketat soal produk investasi seperti apa yang diperbolehkan.
"Kalau saham misalnya harus yang kategori LQ45 atau memiliki likuiditas tinggi, itu tidak ada," ujar Timboel.
"Jadi mau beli saham apa saja boleh. Beda dengan BPJS Ketenagakerjaan yang dilarang membeli saham gorengan,” imbuhnya.
Praktik seperti ini terbukti dari kasus Jiwasraya yang menempatkan aset finansial sebesar 22,4 persen ke saham yang mayoritas berkinerja buruk. Demikian pula dengan Asabri. Setidaknya adalah 13 saham yang dibeli tapi memberi return negatif.
Persoalan lainnya adalah lemahnya pengawasan lembaga independen seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selama ini OJK hanya fokus pada industri keuangan non-bank. Padahal seharusnya mereka juga mengawasi investasi saham yang dilakukan perusahan pelat merah.
Jangan malah seperti yang terjadi pada Taspen, di mana OJK baru bertindak ketika sudah kejadian. Bagi Timboel tindakan seperti ini bukan bentuk pengawasan.
"Kalau pengawasan harusnya proaktif mencari sehingga bisa mencegah. Ini kan mereka seperti bekerja di hilir. Kejadian dulu baru bertindak,” tegasnya
"OJK harusnya mengintai sebelum dana itu diinvestasikan. Misalnya Taspen mau beli saham A, didatangi OJK, dan dicecar kajiannya. Jadi uang masyarakat aman,” kata Timboel menyudahi.