JAKARTA – Usai polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), terbitlah Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera. Entah kenapa, belakangan ini kebijakan pemerintah seolah-olah selalu menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Ya, kebijakan Tapera menciptakan polemik baru di ranah publik. Meski bertajuk tabungan, faktanya pemerintah justru mewajibkan semua kalangan pekerja di Indonesia mulai ASN, TNI, Polri, pekerja formal hingga informal untuk menjadi peserta Tapera.
Para peserta Tapera itu harus membayar iuran sebesar tiga persen dari gaji mereka. Bagi pekerja formal, perusahaan wajib membayar 0,5 persen sedangkan sisa 2,5 persen ditanggung karyawan. Sementara pekerja informal harus menanggung iuran sebesar tiga persen tersebut.
Bagi sebagian kalangan, Tapera dianggap hanya sebagai upaya fundraising atau pengumpulan dana publik oleh pemerintah. Pasalnya, besaran tabungan yang dikumpulkan dianggap tidak memungkinkan untuk menyuplai kebutuhan rumah jutaan pekerja di tanah air.
Ekonom senior, Didik J Rachbini menilai Tapera sebagai kesalahan fatal baik dari sisi legislasi, prinsip keuangan maupun manajemen. Menurutnya, sebagai ide Tapera memang bagus, tapi dalam eksekusinya tidak bisa diperlakukan sama seperti halnya asuransi.
“Isunya kan pengadaan rumah, tapi orang yang menabung belum tentu bisa punya rumah karena ini jangka panjang,” ujarnya, Minggu 2 Juni 2024.
Dia menyatakan, kalau Tapera ini memang tabungan, mestinya pemerintah bisa mencontoh tabungan dana haji, dimana yang menabung sudah tentu orang yang berniat naik haji. Tapera, lanjut Didik, sebenarnya ini bisa diberlakukan kepada ASN karena masih satu lingkup pemerintahan untuk saling membantu.
“Tapi belum tentu bisa diterapkan kepada swasta. Jadi ini seperti prinsip asuransi diterapkan di tabungan. ini kesalahan prinsip dasar. Belum lagi kita bicara tingkat kepercayaan publik. Sebab, Tapera ini merupakan salah satu bentuk pengumpulan dana yang sangat berbahaya. Apalagi masyarakat tentu belum lupa kasus penyelewengan pengumpulan danaserupa di Asabri dan Jiwasraya,” beber Didik.
Dia menegaskan, seharusnya pemerintah mengambil pengalaman dana yang sudah dikumpulkan Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan PNS (Bapertarum PNS) dulu. Pasanya, dana tersebut hampir tidak ada gunanya karena tidak bisa menyuplai kebutuhan rumah.
“Kalau ini diperluas hingga ke semua kalangan pekerja, sama saja menghimpun dana, tapi tetap tidak bisa untuk menyediakan rumah. Coba cek saja berapa rumah yang sudah disediakan Bapertarum PNS bila dibandingkan dengan pengembang swasta,” tambah Didik.