Bagikan:

JAKARTA – Kisah Como 1907 berhasil promosi ke Serie A Italia menjadi buah bibir, terutama di kalangan pecinta sepak bola di Indonesia. Bagaimana tidak, ada aroma Nusantara dalam sukses Como mengakhiri penantian 21 tahun.

Belum lama ini beredar video di media sosial bagaimana Cesc Fabregas bersama para pemain Como dan jajaran staf pelatih terlihat harap-harap cemas menantikan hasil akhir pertandingan Serie B lainnya antara Venezia dan Spezia. Como sendiri baru saja bermain imbang 1-1 melawan Cosenza, Jumat (10/5/2024) waktu setempat.

Kekalahan 1-2 Venezia, klub yang dibela pemain naturalisasi Indonesia Jay Idzes, dari Spezia disambut sukacita segenap penggawa Como karena ini sekaligus memastikan mereka mentas di kasta tertinggi sepak bola Italia setelah menanti dua dekade lebih.

Pecinta sepak bola Tanah Air ikut berbahagia dengan kembalinya Como ke Serie A. Bagaimana tidak, klub tersebut dimiliki konglomerat Indonesia Hartono bersaudara dari Grup Djarum.

Terapkan Model Bisnis Pragmatis

Status Grup Djarum sebagai pemilik saham mayoritas Como memperpanjang daftar triliuner Indonesia yang merambah industri sepak bola dunia. Nama Como memang tidak sebesar AC Milan, Juventus, atau Inter Milan yang bisa disebut sebagai tiga klub raksasa Italia. Prestasinya pun tidak terlalu mentereng. Paling tinggi menjuarai Serie A di musim 1948/1949, 1979/1980, dan terakhir pada 2001/2002.

Tapi perjalanan mereka dari Serie D hingga akhirnya berhasil promosi lagi setelah dua dekade lebih menarik perhatian. Apalagi, di sana ada nama-nama besar seperti Thierry Henry sebagai pemilik saham minoritas dan Cesc Fabregas, sebagai asisten pelatih asal Wales Osian Roberts.

Dan, jangan lupa ada nuansa Indonesia di klub yang pertama kali berdiri pada 1907 itu. Adalah Hartono bersaudara, Bambang Hartono dan Budi Hartono, penguasaha Indonesia pemilik Djarum yang membuat Como akan bersaing dengan Inter, Milan, dan Juventus musim depan.

Hartono bersaudara melalui Grup Djarum membeli Como 1907 pada 2019, dan ketika itu mereka masih bermain di Serie D. Mengutip the Athletic, Grup Djarum merogoh kocek 850 ribu euro (Rp 14 miliar) dan melunasi seluruh utang sebesar 150 ribu euro (Rp 2,6 miliar) untuk mengambil alih Como.

Kondisi keuangan klub yang tidak sehat membuat harga jualnya tidak terlalu tinggi. SENT Entertainment LTD, perusahaan berbasis di London yang disokong penuh Grup Djarum, mengakuisisi mayoritas saham Como.

Mirwan Suwarso, perwakilan Como 1907, klub yang dimiliki Grup Djarum. (Instagram/@msuwarso)

 “Kita beli enggak sampai Rp 5 miliar. Istilahnya nebus di pegadaian,” kata Mirwan Suwarso, perwakilan Mola TV, salah satu usaha milik Grup Djarum, kepada media pada Oktober 2019.

Mirwan mengatakan, awalnya investasi Grup Djarum di Como bertujuan menampung para pemain Garuda Select. Tapi niat tersebut terbentur regulasi pembatasan pemain non-Uni Eropa dalam satu klub di Italia.

"Setelah itu, mau tidak mau kami menggarap Como sebagai usaha untuk memberi nilai komersial yang maksimal," ungkap pria kelahiran 29 Desember 1985 ini.

Sebagai pemilik klub, Grup Djarum menjalankan operasional dengan model bisnis pragmatis, di antaranya tidak jor-joran membeli pemain demi menjaga nerasa keuangan klub. Mirwan menegaskan, klubnya memiliki kebijakan agar rasio gaji maksimal 65 persen dari total pemasukan.

Langkah Ekonomi Jangka Panjang

Sejak nama Como berkibar seusai sukses meraih tiket promosi ke Serie A, muncul pertanyaan apa yang membuat Grup Djarum membeli klub yang bisa dikatakan kurang terkenal di Indonesia.

Meski kalah populer dibanding klub banjir prestasi, namun langkah yang dilakukan Grup Djarum merupakan langkah ekonomi jangka panjang menurut pengamat pasar modal Teguh Hidayat.

“Jadi kalau dari sisi nilai ekonominya, apakah dapat keuntungan dari langkah membeli saham atau akuisisi klub ini keuntungannya ada, tapi tidak secara langsung,” ungkap Teguh.

Ia pun menjelaskan pendapatan klub sepak bola biasanya berasal dari beberapa sektor, yaitu tiket pertandingan, hak siar, dan sponsor.

“Sebenarnya ada satu lagi yaitu dari merchandise. Jadi jualan baju, kaos, atau merchandise sejenis yang official. Tapi biasanya pendapatan terbesar, kalau dia bukan klub yang terkenal dari tiket saja,” ungkapnya.

Teguh melanjutkan, meski Como berhasil lolos ke Serie A, namun namanya yang tidak terlalu besar membuat I Lariani kecil kemungkinan mendapatkan pemasukan dari hak siar atau sponsor.

Kendati demikian, Grup Djarum pasti sudah mempertimbangkan dengan matang sebelum menyuntikkan dana ke Como. Bukan keuntungan instan yang diincar, melainkan dengan mengangkat nama Djarum itu sendiri di pentas internasional.

“Ini sebenarnya hal yang lazim dan sudah banyak dilakukan oleh konglomerasi tidak hanya dari Indonesia tapi di seluruh dunia. Contohnya di Inggris ada klub Manchester United atau MU, itu kan punya keluarga Glazer dari Amerika Serikat. Bukan dari Inggrisnya justru dari Amerika, nah itu kan jadi orang di dunia tau keluarga Glazer itu siapa,” tutur pendiri Avere Mitra Investama itu.

Dengan mentas di Serie A, Como bisa menjadi ‘kendaraan’ bagi Grup Djarum keberadaannya dikenal dunia.

“Itu yang sebenarnya dicari, jadi bukan keuntungan langsung dari operasional klubnya karena sebenarnya kalau dari operasional sebenarnya rugi,” ucap Teguh.

“Memang yang mereka cari prestise, misal grup Djarum ini kan siapa yang gak tau di Indonesia. Mereka kalau bisa naik kelas menjadi brand global, dan cara yang paling bisa dilakukan adalah sepak bola. Karena sepak bola ini universal, banyak yang nonton,” tambahnya. 

Jejak Triliuner Indonesia di Klub Luar Negeri

Hartono bersaudara bersama Grup Djarum bukan satu-satunya konglomerat Indonesia yang berbisnis dengan membeli klub sepak bola luar negeri.

Selain Como, Tranmere Rovers juga diakuisisi pengusaha Indonesia pada 2019. Klub kasta ketiga Liga Inggris tersebut sahamnya dibeli Santini Group, yang didirikan pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi pada 1994.

Klub yang pernah dibela Egy Maulana Vikri, Lechia Gdanks dari Polandia, 10 persen sahamnya dimiliki oleh PT Veritra Sentosa Internasional (Paytren), yang merupakan perusahaan milik Yusuf Mansur.

Ustaz kondang itu membeli saham Lechia pada 2018. Kabarnya, ia menggeontorkan fulus 2,5 juta euro atau sekitar Rp 41,2 miliar untuk memiliki 10 persen saham Lechia.

Leicester City, yang menjuara Liga Inggris musim 2015-16 sahamnya pernah dimiliki orang Indonesia Imam Arif sebesar 20 persen. Ia membeli saham Leicester pada 2011, tapi setahun kemudian melepas seluruh sahamnya ke perusahaan pemilih saham mayoritas Leicester, King Power.

Erick Thohir bersama mantan Presiden Inter Milan Massimo Moratti. (Instagram/@erickthohir)

Erick Thohir juga pernah mengakuisisi DC United, klub yang bermain di Major League Soccer, pada 2012. Ia bersama rekannya, Jason Lavien membeli 78 persen saham DC United. Pada Agustus 2018, Thohir melepas sahamnya di DC United.

Namun pembelian saham klub paling fenomenal dilakukan Erick Thohir saat menguasai saham Inter Milan. Ia mengakuisisi 70 persen saham La Beneamata yang sebelumnya dimiliki Massimo Moratti.

Tapi ia hanya bertahan tiga tahun memegang saham mayoritas, sebelum menjual sahamnya ke Suning Group sebesar 39 persen. Pengaruh pria yang kini menjabat sebagai Menteri BUMN itu sepenuhnya hilang setelah menjual sisa sahamnya di Inter kepada perusahaan asal Hong Kong, Lion Rock pada 2019.

Sementara itu, Bakrie Group juga sempat membeli saham tim Belgia CS Vise dan tim Australia Brisbane Roar.