Bagikan:

JAKARTA – Film bergenre horor dengan judul Vina: Sebelum 7 Hari sedang ramai di perbincangkan di media sosial. Film tersebut dianggap tidak berempati karena membuka lagi trauma keluarga korban, namun di sisi lain gara-gara film ini juga, kasus pembunuhan Vina yang mangkrak selama delapan tahun kembali mendapat atensi.

Film yang dibintangi sejumlah bintang, di antaranya Nayla Denny Purnama, Gisellma Firmansyah, dan Lydia Kandou pertama kali tayang di bioskop Indonesia pada 8 Mei 2024. 

Tapi penayangan film bergenre horor menuai kontroversi, karena menampilkan adegan kekerasan seksual.

“Bikin film investigasi atau dokumenter kalau memang mau membantu almarhumah Vina, kalian rengguk keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeksploitasi almarhumah Vina. Sakit Jiwa!!!” tulis akun @proquestfilm di platform X, yang dulu bernama Twitter.

Sebuah adegan di awal film, tokoh Vina secara jelas digambarkan mengalami kekerasan secara sadis oleh anggota geng motor. Adegan tersebut dinilai terlalu vulgar dan tidak menghormati mendiang Vina.

Film Vina: Sebelum 7 Hari kemudian mengundang kritik keras. Masyarakat secara umum, hingga aktivis perempuan menganggap adegan-adegan tersebut tak sepatutnya ditayangkan. Peran Lembaga Sensor Film (LSF) pun dipertanyakan, karena seharusnya adegan-adegan film itu tidak divisualisasikan sebegitu gamblangnya sehingga membuat tak nyaman mayoritas penonton.

Proporsional untuk Penonton Dewasa

Tapi menurut LSF, adegan itu masih masuk dalam kategori wajar. Apalagi, filmnya pun memiliki label untuk penonton usia 17 tahun ke atas.

Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan, Vina: Sebelum 7 Hari merupakan film drama thriller dan crime. Di film bergenre tersebut, adegan kekerasan, penganiayaan, perkosaan, dan pembunuhan umum terjadi.

Rommy juga menilai, adegan kekerasan fisik yang ditampilkan di film Vina: Sebelum 7 Hari proporsional, serta tidak tampak unsur kesadisan.

Para pemeran film "Vina: Sebelum 7 Hari" menghadiri acara pemutaran perdana film di Jakarta pada Senin (6/7/2024). (Dee Company)

Ia juga merujuk pedoman sensor yang tertera dalam Permendikbud Nomor 14 tahun 2019 Pasal 8 yang menyebut penyensoran pada film dapat meliput kekerasan, perjudian, narkotika, pornografi, SARA, hukum, harkat dan martabat manusia serta usia penonton.

Dalam pasal 12 khususnya, terdapat sejumlah unsur yang tergolong pornografi, di antaranya visual telanjang setengah tubuh perempuan maupun seluruh tubuh perempuan maupun laki-laki, visual perkosaan, dialog atau monolog cabul.

 “Adegan kekerasan yang sudah diluluskan itu dinilai LSF masih proporsional dan bisa diterima orang 17 tahun ke atas,” kata Rommy, mengutip Kompas.

Berharap Keadilan

Marliana, 33, kakak perempuan almarhumah Vina, mengaku tidak mudah bagi keluarga untuk memberikan restu kepada Dee Company, rumah produksi yang mengangkat kisah adiknya ke layar lebar. 

Marliana menuturkan, pihak rumah produksi sampai tiga kali mendatangi keluarga. Meski sempat ragu, karena membuka luka lama dan mengingat lagi kejadian mengerikan delapan tahun. Namun keluarga akhirnya setuju agar kisah Vina dijadikan film.

27 Agustus 2016 menjadi hari yang mengerikan bagi Vina dan kekasihnya, Rizky atau Eky. Vina yang saat itu berusia 16 tahun disiksa dan diperkosa oleh para pelaku, demikian pula dengan Eky yang mengalami kekerasan hingga meninggal di lokasi.

Pelaku sempat berusaha merekayasa seakan korban meninggal karena kecelakaan tunggal. Namun polisi akhirnya berhasil mengungkap kasus ini dan menangkap pelaku pada 31 September 2016. Dari 11 pelaku, polisi baru berhasil menangkap delapan di antaranya. Tujuh dijatuhi hukuman seumur hidup sementara satu yang masih di bawah umur dipenjara delapan tahun. Tiga pelaku lainnya belum ditangkap.

Selama delapan tahun ini pula, keluarga Vina merasa tidak mendapatkan keadilan. Marliana berharap dengan adanya film ini, kasus pembunuhan Vina kembali terangkat dan mendapat perhatian polisi sehingga kematian adiknya diusut tuntas.

Marliana, kakak Vina, berharap film Vina: Sebelum 7 Hari bisa menjadi perhatian sehingga kasus pembunuhan adiknya diusut tuntas. (Dee Company)

“Saya pikir keadilan itu hanya untuk orang-orang yang punya jabatan kekuasaan. Kalau untuk saya pribadi, keluarga yang tidak punya [kuasa] sangat sulit untuk menemukan keadilan, sulit sekali,” ujar Marliana.

Apa yang didoakan Marliana dan keluarganya menemukan secercah harapan. Kasus kematian Vina yang belum tuntas kembali menyedot atensi publik.

Masyarakat merasa keheranan, mengapa polisi kesulitan sekali menangkap tiga pelaku, padahal delapan pelaku lainnya sudah dijebloskan ke jeruji besi.

Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Jules Abraham Abast mengatakan polisi kesulitan menangkap tiga pelaku karena terkendala identitas aslinya.

Sejak 2016, saksi yang diperiksa polisi tidak mengetahui identitas asli tiga buron ini.

"Terkait identitas, baik itu berdasarkan pemeriksaan saksi maupun fakta di persidangan, kami baru menemukan yang namanya inisial yaitu Dani, Andi, dan Pegi alias Perong. Apakah itu nama asli atau nama samaran, ini masih kami telusuri," kata Jules.

Timbulkan Tanda Tanya Besar

Pernyataan pihak polisi yang mengaku kesulitan menangkap tiga pelaku lainnya menimbulkan tanda tanya besar.

Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan kasus ini kembali menjadi perhatian karena kepolisian dianggap tidak serius menanganinya setelah kejadian.

Ia berharap kasus ini menjadi reminder bagi kepolisian agar berbenah dalam hal penyidikan atas kasus-kasus yang ditangani.

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, Polda Jabar memiliki tugas penting yang belum dituntaskan, terkait masih berkeliarannya tiga pelaku pembunuh Vina.

“Hal ini menjadi semakin penting karena terlanjur memunculkan anggapan publik tentang inequity dan subkultur curtain code dalam penegakan hukum oleh kepolisian,” kata Reza.

"Sangat baik kiranya apabila Kompolnas dan Mabes Polri memberikan penguatan bagi Polda Jabar agar kasus ini terungkap lebih maksimal lagi,” imbuhnya.

Psikolog forensik lainnya, Reni Kusumowardhani mengatakan seharusnya pihak kepolisian lebih teliti dalam melakukan investigasi, terlebih delapan dari 11 pelaku sudah ditangkap.

“Kalau sudah ada delapan orang, secara logika perilaku, seharusnya ada kemudahan untuk mendapatkan informasi mengenai sisa tiga orang lain,” kata Reni.

“Jika ingin menuntaskan kasus ini, yang harus dilakukan polisi pertama tentu bertanya kepada delapan orang itu kembali. Geng motor itu kelompok anak-anak yang tergabung dalam satu kumpulan, sehingga mau tidak mau saling kenal dan saling tahu. Dari sana bisa menelusur mundur untuk melihat siapa yang dimaksud dengan tiga orang ini,” pungkasnya.