Kampanye Earth Hour, Padamkan Lampu 60 Menit untuk Bumi Lebih Baik
Kampanye Earth Hour pertama kali dilakukan pada 2007 di Sydney, Australia. (WWF Indonesia)

Bagikan:

JAKARTA – Komunitas Earth Hour mengajak masyarakat mematikan lampu selama 60 menit atau satu jam pada Sabtu (23/3/2024) malam. Kegiatan Switch Off atau mematikan lampu selama satu jam adalah langkah simbolis kepedulian kita terhadap perubahan iklim di planet bumi.

Kita tak bisa memungkiri, listrik merupakan kebutuhan manusia yang tak bisa terhindari. Di era sekarang ini, hampir semua kebutuhan memerlukannya. Namun, penggunaan listrik secara berlebihan juga dapat menimbulkan masalah pada lingkungan.

Salah satu dampak yang penggunaan listrik berlebihan adalah kontribusi terhadap efek rumah kaca.

Efek rumah kaca adalah fenomena alami di mana atmosfer bumi dalam mempertahankan sesuai dengan kehidupan. Produksi listrik dari bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi dapat menghasilkan karbon dioksida (CO2) yang merupakan rumah kaca paling utama.

Selain CO2, gas lainnya seperti metana (CH4) dan uap air (H2O) juga bertindak seperti “kaca” pada rumah kaca, yaitu membiarkan cahaya matahari masuk ke atmosfer dan menghangatkan permukaan bumi. Namun di satu sisi, gas-gas ini juga membatasi jumlah panas yang keluar dari atmosfer.

Aktivitas manusia dalam menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam rupanya menyebabkan peningkatan drastis dalam konsentrasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer. Akibatnya, efek rumah kaca jadi lebih kuat dan menyebabkan pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim.

Berawal dari Keprihatinan Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim dapat memicu sejumlah masalah, mulai dari suhu yang lebih panas, terjadi curah hujan yang tinggi hingga menyebabkan banjir dan tanah longsor, meningkatnya kekeringan, menurunnya kualitas dan kuantitas air, dan sebagainya.

Mengutip Active Sustainability, edisi pertama Earth Hour diadakan di Sydney pada 2007, meski ide sebenarnya sudah lahir tiga tahun sebelumnya ketika kelompok konservasi alam World Wide Fund (WWF) ingin melibatkan masyarakat Australia dalam masalah perubahan iklim. Mereka kemudian menggandeng Leo Burnett untuk mencetuskan kampanye Earth Hour.

Lalu pada 31 Maret 2007, kota terpadat di Australia itu menjadi gelap selama satu jam setelah mendapat dukungan pemerintah setempat.

Aksi ini berdampak visual yang sangat besar sehingga pada edisi berikutnya, sekitar 20 bangunan dan monumen di seluruh dunia ikut terlibat dalam gerakan Earth Hour, seperti Emipire State, Golden Gate, Coliseum Romawi, Balai Kota London, Menara Petronas, dan lainnya.

Gerakan memadamkan lampu dan alat elektronik tak terpakai selama 60 menit adalah bukti kepedulian terhadap lingkungan. (WWF Indonesia)

Sederhananya, Earth Hour adalah gerakan global yang mengajak individu, komunitas, praktisi, bisnis, serta pemerintah di berbagai belahan dunia untuk mematikan lampu dan peralatan listrik yang tidak penting selama satu jam sebagai syarat simbolis untuk meningkatkan kesadaran mengenai perubahan iklim.

Earth Hour biasanya diadakan pada Sabtu terakhir bulan Maret setiap tahunnya, mulai pukul 20.30 sampai 21.30 waktu setempat.

Earth Hour mengingatkan kita untuk mengembalikan sebagian dari apa yang kita nikmati dari alam kea lam, cara termudah adalah dengan mematikan lampu dan perangkat elektronik yang tidak terpakai secara simbolis karena lampu melambangkan bagaimana manusia harus memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan,” beber Aditya Bayunan, CEO Yayasan WWF Indonesia.

Kampanye di Indonesia Sejak 2009

Di Indonesia sendiri, gerakan Earth Hour dimulai sejak 2009. Jakarta termasuk salah satu kota yang konsisten mendukung kampanye padam lampu selama satu jam ini. PJ Gubernur DKI Jakarta Heru Budi mengajak masyarakat untuk kembali mengikuti aksi memadamkan lampu selama satu jam akhir pekan ini.

“Saya mengapresiasi peran komunitas Eart Hour Jakarta dalam menunjukkan kepeduliannya dalam pencegahan perubahan iklim serta masyarakat lingkungan lainnya melalui kegiatan tahunan Switch Off Earth Hour Jakarta 2024,” kata Heru Budi.

“Saya mengajak seluruh masyarakat Jakarta untuk berpartisipasi dalam kegiatan Switch Off Earth Hour Jakarta 2024 sebagai bentuk komitmen dan aksi nyata kita dalam bersinergi untuk mendukung perubahan jangka panjang alam dan lingkungan hidup di Indonesia,” imbuhnya.

Suasana Monas yang penerangannya dipadamkan saat berlangsung Earth Hour di Jakarta, Sabtu (30/3/2019). Sejumlah monumen di Ibu Kota penerangannya dipadamkan pada pukul 20.30-21.30 WIB guna memperingati Earth Hour 2019. (Antara/Sigid Kurniawan)

Menurut data dari WWF Indonesia, setiap 10 persen warga Jakarta yang mematikan kampu ketika Earth Hour, energinya dapat dimanfaatkan memenuhi kebutuhan listri bagi 900 desa. Selain itu, energi yang dihemat dapat menyumbang oksigen untuk 524 orang.

Dalam waktu satu jam saja, hal tersebut juga dapat mengurangi 267 ton emisi karbon dioksida. Pada Earth Hour 2022, Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta menyebut aksi tersebut menghemat energi hingga setara Rp171 juta.

Di Jakarta, lokasi pemadaman lampu umumnya dilakukan di seluruh bangunan atau gedung kantor Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kecuali rumah sakit, puskesmas, dan klinik. Jalan protokol dan jalan arteri di lima wilayah juga dipadamkan.

Selain itu lampu di tujuh simbol kota Jakarta juga dipadamkan yakni, Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Monas berikut air mancur, Patung Arjuna Wijaya, Bundaran Hotel lndonesia, Patung Pemuda beserta air mancur, Patung Pahlawan, dan Patung Jenderal Sudirman.

Beberapa gedung milik swasta, gedung komersial, pusat perbelanjaan, restoran, hotel, dan apartemen juga diinformasikan agar ikut melakukan pemadaman.

Mematikan lampu selama 60 menit dianggap tidak berdampak apa-apa terhadap perubahan iklim. Padahal, mematikan lampu satu jam merupakan wujud nyata bahwa kita berpartisipasi untuk perubahan bumi yang lebih baik.