Bagikan:

JAKARTA – Sukses Jonatan Christie menjuarai All England diwarnai rentetan rekor. Di sisi lain, Indonesia masih menanti atlet bulu tangkis putri kembali bersinar di kancah dunia.

Minggu (17/3/2024) Jonatan Christie mengibarkan bendera Merah Putih di Utilita Arena, Birmingham seusai mengalahkan rekan senegaranya, Anthony Sinisuka Ginting dua set langsung 21-15 dan 21-14.

Kemenangan atlet yang akrab disapa Jojo ini sekaligus menorehkan sejumlah catatan manis. Jonathan menjadi pebulu tangkis tunggal pertama Indonesia yang sukses juara All England setelah Hariyanto Arbi melakukannya pada 1994 atau 30 tahun lalu. Partai Jonatan vs Ginting juga menjadi duel sesama Indonesia di final kejuaraan bulu tangkis tertua di dunia sejak Hariyanto Arbi melawan Ardy B Wiranata tiga dekade silam.

Bagi Jonatan pribadi, ini adalah pertama kali dalam kariernya merebut gelar Super 1000 dengan memenangi All England.

Nama Indonesia di tanah Inggris kian harum karena mengawinkan gelar tunggal putra All England dengan ganda putra setelah pasangan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto. Pasangan yang berada di peringkat tujuh dunia ini mempertahankan gelar mereka dengan membekuk wakil Malaysia Aaron Chia/Soh Wooi Yik straight set 21-16 dan 21-16.

“Saya ikut bangga karena setelah sekian lama akhirnya ada tunggal putra juara All England. Kemarin di akhir tahun sempat turun karena enggak ada yang juara,” kata Adriyanti Firdasari.

“Tiba-tiba kita masuk final All England dan menjadi juara. Harapannya semoga ini menambah motivasi mereka dan pemain lain menuju Olimpiade Paris,” ujar Firdasari menambahkan.

Dominasi Sektor Putra

Kemenangan pasangan yang dikenal dengan sebutan Fajri ini sekaligus mengukuhkan dominasi tunggal putra di turnamen tahunan ini. Ganda putra Indonesia telah tiga kali berturut-turut juara All England.

Jika ditotal, ganda putra Indonesia sudah 24 kali juara sementara tunggal putra 16 kali di ajang All England. Catatan ini seolah berbanding terbalik dengan sektor putri, di mana tunggal baru empat kali juara, dengan terakhir kali dimenangkan Susy Susanti pada 1994. Ganda putri dua kali naik podium tertinggi dan terakhir kali dimenangi pasangan Verawaty Fadjrin dengan Imelda Wiguna.

Prestasi putra dan putri yang jomplang menjadi perhatian tersendiri. Indonesia sepertinya kesulitan mencetak Susy Susanti lain yang bisa mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.

Ganda putra Indonesia Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto merayakan kemenangan di babak semifinal All England Open 2024 di Birmingham, Inggris, Sabtu (16/3/2024). (Antara/HO-PP PBSI/aa)

Adriyanti Firdasari, mantan pebulutangkis nasional Tanah Air, mengatakan ada sejumlah faktor yang menyebabkan prestasi putri mentok setelah era Susy Susanti.

Dituturkan Firdasari, di sektor putra regenerasi atlet terus berlanjut, nyaris tidak pernah putus. Misalnya, ketika pasangan Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya secara konsisten menempati peringkat satu dunia, di bawah mereka kemudian muncul Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan yang membuntuti, lalu duet Fajri yang tampil konsisten.

Sekarang ini nama Muhammad Fikri/Bagas Maulana dan Leo Carnando/Daniel Marthin juga wara-wiri menjadi andalan dan posisinya di bawah dua pasangan yang disebutkan di awal. Demikian pula dengan tunggal putra, meski tidak semasif ganda putra. Setelah era Taufik Hidayat, Indonesia masih punya Anthony Sinisuka Ginting dan Jonathan Christie yang menjadi andalan. Alwi Farhan, yang kini berusia 19, bisa menjadi penerus Ginting dan Jojo.

“Di sektor putra regenerasi itu berlanjut terus, hampir tidak pernah putus. Mereka yang berprestasi ini pasti menjadi role model, menjadi panutan bagi yang junior,” kata Firdasari saat berbincang dengan VOI.

“Sementara di putri, setelah era Susy Susanti sebenarnya ada Mia Audina tapi ketika ia memutuskan pindah warga negara praktis tidak ada lagi yang jadi role model,” imbuh Firdasari.

Kehilangan Role Model

Mia Audia pernah menjadi idola seluruh masyarakat Indonesia. Di usia yang baru 14 tahun ia sudah memperkuat tim Indonesia di Piala Uber. Ia sekaligus jadi pemain termuda sepanjang sejarah ajang tersebut.

Wanita kelahiran 1979 itu kemudian mendapat julukan Si Anak Ajaib karena menjadi penentu kemenangan Indonesia saat menjuarai Piala Uber 1994 dan 1996. Namun pada 1999 Mia Audia memutuskan pindah menjadi warga negara Belanda setelah menikah dengan Tylio Arlo Lobman.

Saat itu usianya baru 17 dan karier Mia sedang bagus-bagusnya. Andai dia masih berseragam Merah Putih bukan tidak mungkin namanya bisa menyamai atau bahkan melebihi Susy Susanti karena dari hitung-hitungan usia, perjalanan kariernya masih sangat panjang.

Susy Susanti menjadi pemain tunggal putri Indonesia yang terakhir kali menjuara All England, terjadi pada 1994. (Instagram/@susysusantiofficial)

“Setelah Mia pergi, seolah putus regenerasi sektor putri dan tidak ada sosok yang dijadikan contoh atau role model sama juniornya,” kata Firdasari lagi.

Meski demikian, bukan berarti Indonesia harus putus harapan. Nama Gregoria Mariska Tunjung menurut Firdasari diharapkan bisa menjadi motivasi untuk junior di bawahnya.

“Sampai sekarang memang di sektor tunggal putri gak ada yang kelihatan menonjol banget. Tapi ada Grego yang mulai stabil di 10 besar dan mudah-mudahan ini bisa menjadi motivasi untuk adik-adik di bawahnya,” pungkas Firdasari, yang sekarang melatih sektor tunggal putri kelompok U-15 di PB Jaya Raya.

Sementara bagi Susy sendiri dalam sebuah wawancara beberapa tahun lalu mengatakan, vakumnya pemain putri kelas dunia dari Indonesia tak lepas dari kelengahan melakukan regenerasi setelah ia pensiun di akhir 1990-an.

"Ada satu masa di mana kita kehilangan satu generasi. Nah ini untuk mengembalikannya perlu proses. Sekarang kita menemukan satu dua pemain, itu pun belum bisa menunjukkan prestasi maksimal, [prestasi] yang tertinggi," kata Susy.