Bagikan:

JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batasan usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) menjadi pusat atensi warga Indonesia sepanjang pekan kemarin.

MK mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa) Almas Traqibbirru Re A. Dalam gugatannya, Almas meminta MK menambahkan frasa ‘berpengalaman sebagai kepala daerah’.

MK pun mengabulkan gugatan tersebut pada Senin, 16 Oktober lalu. Dengan demikian, MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu tersebut menjadi berbunyi:

Ratusan warga Kota Solo yang mengatasnamakan Komunitas Pelestari Budaya Nusantara melakukan aksi tapa bisu di rumah dinas Wali Kota Solo, Loji Gandrung, Solo, Senin (16/10/2023). (Istimewa)

“Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.”

Putusan MK tersebut kemudian dianggap untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka, 36 tahun, untuk maju sebagai bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Putra bungsu Presiden Joko Widodo itu saat ini sedang menjalani perannya sebagai Wali Kota Surakarta, jabatan yang diembannya dalam dua tahun terakhir.

Pemantik Tagar #KamiMuak

Pasca pembacaan putuan tersebut, MK menjadi sasaran kritik di media sosial. Singkatan MK diplesetkan jadi Mahkamah Keluarga, karena dianggap ikut melanggengkan tudingan politik dinasti.

Selain itu, tanda pagar #KamiMuak juga menggema di jagat media sosial X, dulunya Twitter. Netray mengamati gaungan dan impresi warganet terkait tagar yang disinyalir sebagai bentuk protes selama periode 13-17 Oktober 2023 dengan kata kunci kamimuak

Dari 14,5 ribu cuitan warganet dengan menggunakan tagar ini, tujuh ribu di antaranya ditemukan bersentimen negatif. Perbandingan jumlah yang signifikan tersebut menunjukkan bahwa putusan MK dominan mendapat tanggapan negatif dari warganet. Adapun impresi dari penggunaan tagar ini mencapai 7,9 juta dengan berpotensi menjangkau 20,9 juta akun pengguna media sosial X.

Statistik perbincangan tagar #kamimuak di Twitter. (Netray)

Tagar #KamiMuak pertama kali disuarakan akun @DennySiregar pada 14 Oktober 2023 atau dua hari sebelum pututsan MK. Tagar ini merespons perbincangan soal potensi pencalonan Gibran untuk mendampingi Prabowo adalah sesuatu yang tidak masuk logika oleh kader PAN tersebut. Ini karena Gibran merupakan kader PDIP yang bukan merupakan koalisi dari Partai Gerindra.

Penggunaan tagar naik signifikan pada 16 Oktober atau pada hari penentuan putusan MK atas batas usia capres-cawapres sebanyak 6,2 ribu tweet. Puncaknya, terjadi pada 17 Oktober sebanyak 8,1 ribu tweet.

Dinasti Politik Menjadi Isu Kritis 

Putusan MK tersebut ramai-ramai dikritik para pengamat, termasuk Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research&Consulting. Pangi mengatakan MK telah mengeluarkan keputusan yang mengubah dan mengguncangkan dinamika politik Indonesia.

“Dinasti politik, yang merujuk pada praktik mewariskan kekuasaan politik kepada anggota keluarga atau keturunan pejabat yang telah menduduki jabatan politik sebelumnya, menjadi isu kritis yang berpengaruh terhadap masa depan demokrasi Indonesia,” ujar Pangi dalam keterangannya.

Praktek politik dinasti sudah menjadi kebiasaan buruk para politisi yang menjadi ancaman serius terhadap penurunan kualitas demokrasi itu sendiri. Hal ini senada dengan persepsi publik yang tergambar dalam survei Voxpol center di mana mayoritas responden (69,3%) tidak setuju adanya praktik politik dinasti sementara mayoritas lainnya (67,9%) percaya bahwa praktik semacam ini dapat merusak kualitas demokrasi. Bahkan, sebanyak 74,8% responden mendukung adanya regulasi yang membatasi praktik politik dinasti.

Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sasaran kritik warganet setelah dituding melanggengkan dinasti politik setelah mengabulkan gugatan terkait batas usia capres dan cawapres. (Antara)

Menurut Pangi, putusan MK seolah mengabaikan nuansa kebatinan publik dan lebih mementingkan hasrat kekuasaan yang akan menyeret MK dalam pusaran politik destruktif secara internal maupun demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.

“Salah satu aspek yang paling mencolok dalam putusan MK adalah ketidaksetaraan dalam demokrasi. Ketika anak seorang presiden maju dalam pemilihan umum, terdapat potensi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power,” Pangi menjelaskan.

“Terutama karena presiden masih berkuasa dan memegang kendali penuh hingga hari H pencoblosan. Hal ini mengancam prinsip dasar demokrasi yang harus dijunjung, yaitu kesetaraan dalam demokrasi,” pungkasnya.