JAKARTA - Menjelang pendaftaran calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dinamika politik di Indonesia semakin menjadi sorotan.
Belakangan, pendeklarasian salah satu organisasi relawan pendukung Presiden Joko Widodo atau yang disebut Projo terhadap Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 dinilai kontroversial.
Deklarasi dukungan Projo disampaikan di kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, pada Sabtu (14/10/2023). Ini dilakukan tak lama setelah Projo mendengar arahan Jokowi pada Rakernas keenam Projo di Indonesia Arena GBK, di hari yang sama.
Padahal dalam rakernas yang juga dihadiri Gibran Rakabuming Raka, Jokowi tidak secara gamblang menyatakan dukungan pada Prabowo. Dalam sambutanya, Jokowi hanya berpesan agar para pendukungnya “jangan tergesa-gesa” menentukan pilihan.
Tapi usai rakernas, para pendukungnya menyabangi kediaman Prabowo dan menyimpulkan bahwa Jokowi mendukung Prabowo pada Pilpres.
“Beliau (Jokowi) sudah menyampaikan beberapa hal termasuk calon yang melanjuti beliau. Kami dari Projo menyimpulkan calon yang dimaksud adalah Prabowo Subianto,” kata Ketua Projo Budi Arie Setiadi.
Tanda Restu Jokowi
Deklarasi dukungan Projo kepada Prabowo Subianto dinilai kontroversial. Itu karena suka tidak suka, Jokowi adalah pemenang Pilpres dua edisi terakhiri dengan PDIP sebagai kendaraan politiknya. Di sisi lain partai berlambang banteng tersebut mengusung Ganjar Pranowo, yang jelas-jelas akan bersaing dengan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan pada Pemilu 2024.
Tapi pengamat politik dari Universitas Al Azhar Andriadi Achmad tidak melihat keanehan tersebut. Menurutnya, deklarasi Projo terhadap Prabowo justru ‘melegitimasi’ dukungan Jokowi terhadap pria yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan tersebut.
“Sudah sejak lama sebenarnya terlihat gelagat Projo mendukung Prabowo. Dengan deklarasi kemarin ini, justru menjadi pertanda bahwa mereka direstui oleh Jokowi,” kata Andriadi kepada VOI.
“Selama ini yang paling getol mengagung-agungkan Jokowi adalah Prabowo. Ini sudah menjadi tanda-tanda Projo akan menyeberang ke Prabowo,” Andriadi mengimbuhkan.
BACA JUGA:
Anggapan bahwa Jokowi bermain di dua kaki pada Pilpres 2024 ini sudah muncul sejak beberapa bulan lalu, karena sang presiden seolah belum menentukan sikapnya dalam kontestasi Pilpres tahun depan.
Sebagai presiden yang diusung PDIP, mau tidak mau Jokowi mendukung Ganjar Pranowo dari partainya. Tapi hubungannya dengan Prabowo yang terlihat harmonis dalam beberapa tahun ke belakang mengisyaratkan bahwa Jokowi siap berada di belakang mantan rivalnya di Pilpres 2014 dan 2019 tersebut.
Apalagi, Jokowi dinilai perlu ‘menunjukkan kekuatannya' di kancah politik. Caranya adalah dengan mendukung Ketua Umum Partai Gerindra itu, meski tak secara gamblang ditunjukannya. Jokowi juga dikatakan ingin lepas dari bayang-bayang PDIP, yang menyebutnya sebagai petugas partai.
Jokowi Cari Aman
Politik dua kaki Jokowi makin tampak lewat gerak-gerik dua putranya. Gibran dinilai lebih dekat dengan Prabowo, dan itu terlihat dari beberapa pertemuan intim Wali Kota Solo tersebut dengan Prabowo di sebuah angkringan di Solo pada Mei silam.
Sementara si bungsu Kaesang Pangarep juga membuat geger publik dengan memilih berlabuh di PSI. Ia bahkan didapuk sebagai ketua umum partai milenial tersebut. Kedekatan PSI dengan Prabowo semakin memperjelas dugaan bahwa Jokowi 'menitipkan' dukungan untuk Ketum Gerindra itu melalui Kaesang.
“Jokowi ini bermain di dua kaki. Sebagai kader PDIP ia mendukung Ganjar, tapi ia juga terus memberikan kode dukung Prabowo,” tutur Andriadi.
Mengapa Jokowi harus bermain di dua kaki? Salah satu alasannya karena mantan Wali Kota Solo itu tidak memiliki posisi yang kuat di PDIP. Seperti diketahui, sulit untuk menggeser sosok Megawati Soekarnoputri sebagai orang yang paling berkuasa di PDIP. Sementara Jokowi hanya berstatus ‘kader biasa’ setelah purna tugas sebagai presiden.
Menurut pakar politik Ujang Komaruddin, Jokowi ingin menjadi king maker dan hal tersebut sulit didapatkan di internal PDIP.
"Jokowi merasa tidak nyaman, tidak punya pengaruh, tidak punya kekuatan, posisinya lemah, sehingga dia ingin menjadi king maker, menjadi penentu," kata Ujang.
"Ketika dia sudah tidak jadi presiden lagi, maka Jokowi tidak punya back up politik. Lalu akan bersandar ke mana? Karena pasti dia akan dikerjai oleh lawan politiknya ketika tidak jadi presiden lagi,” ujar Ujang menjelaskan.