JAKARTA – Bayang-bayang politik dinasti dan nepotisme sepertinya belum akan hilang dari pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam waktu dekat.
Isu cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) menguat setelah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengabulkan gugatan batas usia Capres-Cawapres yang sebelumnya menghalangi Gibran untuk maju dalam kontestasi Pilpres 2024.
Sebelumnya, Kaesang Pangarep sudah lebih dulu membuat kejutan dengan diangkat menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Rentetan peristiwa politik itu terjadi di tengah persiapan pesta demokrasi 2024. Maka, tak mengherankan jika isu politik dinasti Jokowi makin ramai dibahas.
Mengingat tingginya atensi publik terhadap isu politik dinasti, Netray melakukan pemantauan terhadap topik ini selama periode pendaftaran Capres dan Cawapres yang dibuka pada 19 Oktober 2023 sampai 25 Oktober 2023. Pantauan dilakukan di platform X (sebelumnya Twitter) karena isu ini cukup masif diperbincangkan di media sosial ini.
Sentimen Negatif Mendominasi
Berdasarkan pantauan, ditemukan sebanyak 11 ribu unggahan menghasilkan 6,1 juta impresi, baik berupa like, reply, maupun retweet. Topik ini juga diperbincangkan oleh 5,2 ribu akun lebih yang memiliki potensi jangkauan hingga 104,5 juta akun.
Mayoritas warganet berkomentar negatif terhadap isu politik dinasti. Itu terbukti dari 63 persen warganet yang memberikan sentiment negatif, sementara yang netral 20,1 persen dan sentimen positif hanya sebesar 16,3 persen.
Selama satu hari, topik ini muncul paling sedikit dalam 372 unggahan dan paling banyak 2.951 unggahan. Perbincangan mengenai politik dinasti mengalami peningkatan pesat dalam satu hari sejak 21 Oktober. Ini dipicu oleh pengumuman Golkar mengusung Gibran sebagai Cawapres Prabowo di Rapimnas.
Sehari kemudian, Koalisi Indonesia Maju (KIM) mendeklarasikan Gibran sebagai bakal Cawapres, mendampingi Prabowo. Keduanya kemudian mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 25 Oktober 2023.
Berdasarkan intensitas unggahan, isu politik dinasti paling banyak berisi kekecewaan terhadap Jokowi yang dinilai sudah mengkhianati PDIP. Bahkan, sebagian besar media sepakat memberitakan adanya nepotisme dan upaya membangun dinasti politik yang dapat merusak proses demokrasi saat ini.
Di tengah derasnya kekecewaan publik terhadap Jokowi dan keluarganya, isu ini dimanfaatkan oleh loyalis Ganjar Pranowo, yang tentu saja menjadi bagian dari loyalis partai berlogo banteng moncong putih.
Simpatisan Ganjar-Mahfud memaksimalkan kondisi ini untuk ‘menaikkan’ pasangan idola mereka. Narasi yang dibangun adalah menyelamatkan bangsa dari dinasti politik atau melawan dinasti politik dengan memilih pasangan Ganjar.
Dimanfaatkan Kelompok Rival
Isu politik dinasti juga diamati melalui jejak tanda pagar (tagar) yang dimainkan oleh setidaknya empat kelompok. Keempat kelompok yang berpartisipasi memiliki kecenderungan arah yang berbeda-beda.
Yang pertama ada kelompok loyalis Ganjar dan PDIP. Berbarengan dengan ketegasan mereka menolak politik dinasti, kelompok ini juga menyebut pasangan Ganjar-Mahfud bisa menyelamatkan bangsa dari politik dinasti.
Tagar #TegakLurusKonstitusi, #OrdeBaruReborn, #GanjarMahfudTanpaDrama, #GanjarMahfud, dan #PrabowoGibranKalah dan #KecewaJokowi ramai dimainkan kelompok ini sebagai bentuk penolakan terhadap politik dinasti.
Kelompok lain yang juga memanfaatkan isu politik dinasti adalah loyalis Anies dan PKS. Isu politik dinasti yang dituduhkan pada keluarga Jokowi terus digoreng kelompok ini, khususnya menyoal pengusungan Gibran sebagai Cawapres Prabowo.
Kelompok ini menyebutkan politik dinasti di era sekarang tidak akan laku, sehingga mereka yakin masyarakat yang menolak politik dinasti akan memberikan suara ke duet Anies-Muhaimin.
Tagar yang dimainkan adalah #PollingCapresCawapres, #PrabowoProPolitikDinasti, #RakyatMuakPolitikDinasti, #2024AniesPresidenRakyat, dan #AMINkanIndonesia.
Kelompok Prabowo-Gibran tidak tinggal diam setelah selalu mendapat citra negatif di media. Di antara narasi negatif soal politik dinastik yang dominan dimainkan dua kelompok lainnya, ada juga tagar dengan narasi positif. Dan ini tentu dinaikkan oleh kelompok pendukung Prabowo-Gibran.
Tagar dengan narasi positif yang bermunculan di antaranya #MenataMasaDepan, #BersamaPrabowo, dan #Jokowinomics. Sementara narasi yang dibangun adalah bahwa politik dinasti bukan hal baru. Menurut kelompok ini, semua partai termasuk PDIP juga mengandung politik dinasti. Apalagi jika tujuannya adalah untuk memajukan Indonesia, maka dinasti politik seharusnya bukan masalah.
Terakhir adalah kelompok media pemberitaan yang masif menaikkan isu ini juga turut menyematkan tagar seperti #newsupdate, #mediainternasional, #tempodunia, #gibran, #prabowo, dan #politikdinasti.
Politik dinasti ala Jokowi memang menuai kontroversi. Meski banyak yang menentang, tapi tak sedikit pula yang merasa ini adalah hal biasa. Itu karena politik dinasti juga terjadi di luar negeri, termasuk Amerika Serikat.
Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menjelaskan alasan politik dinasti ala Jokowi kurang diterima di Indonesia. Menurutnya, anak-anak Jokowi terjun ke gelanggang politik hanya dengan modal relasi kuasa ayahnya sebagai presiden.
“Kalau mau membandingkan dengan Puan Maharani (anak Megawati Soekarnoputri) jelas berbeda sekali. Puan mengawali kariernya sebagai anggota biasa, lalu anggota DPR, ketua fraksi, baru dia menjadi menteri dan kemudian jadi Ketua DPR. Jadi memang ada tahapan-tahapan yang dilalui,” kata Hendri kepada VOI.
BACA JUGA:
“Hal yang sama juga dengan keluarga Pak SBY, AHY ditempa dulu. Dan yang paling penting AHY itu maju ke perhelatan Pilkada pada saat ayahnya tidak lagi menjabat sebagai presiden,” ujar Hendri menambahkan.
“Sementara dinasti Jokowi ini semuanya memanfaatkan relasi kuasa, bapaknya jadi presiden, anaknya maju jadi Wali Kota Solo, Wali Kota Medan, Ketua PSI dan sekarang mau jadi wakil presiden,” kata Hendri lagi.