Bagikan:

JAKARTA – Bahasa adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya. Definisi lainnya tentang bahasa adalah suatu ungkapan yang mengandung maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Selama kampanye Pilpres 2024, penggunaan bahasa yang komunikatif adalah hal yang sangat penting.

Ekonom dan Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Djisman S. Simanduntak mengatakan bahasa adalah pembeda utama antara manusia dengan hewan.

“Kita bisa menggunakan bahasa untuk menyembunyikan niat, mengungkapkan rasa murka, tapi juga mengungkapkan belas kasih, kekaguman, berandai-andai dan lain-lain. Bahasa adalah sesuatu yang sangat melible (mudah meleleh), bisa diputar-putar untuk mengungkapkan sesuatu yang penting maupun tidak penting,” kata Djisman dalam acara Diskusi Publik: Bahasa dan Kampanye Pemilu yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), di Cilandak, Kamis (9/11/2023).

Dalam kampanye Pilpres, Jokowi diasosiasikan dengan tokoh Tintin, yang memiliki penggemar dari berbagai kalangan. (Ist)

Djisman menambahkan, bahasa yang dipakai seseorang juga bisa memberi sinyal tentang kepribadian orang itu. Lebih lanjut ia menuturkan, di tengah tahun politik seperti sekarang ini, kita bisa melihat sinyal kepribadian bakal calon presiden dan wakil presiden melalui bahasa yang mereka ungkapkan dalam sebuah pemilu.

Bahasa Visual dalam Kampanye

Di era modern sekarang ini, bahasa yang digunakan tidak lagi hanya sekadar kata-kata. Ada bahasa visual yang juga menjadi alat komunikasi, termasuk dalam kampanye Pilpres.

Bahasa visual merupakan penyampaian pesan kepada khalayak melalui berbagai hal yang dapat dilihat secara kasat mata, seperti warna, gambar, bentuk, dan penataan.

Dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Dr. Iwan Gunawan mengutip Journal of Experimental Psychology: Human Learning&Memory, mengatakan riset membuktikan bahwa kita lebih baik dalam belajar dan mengingat konten ketika kita melihat gambar daripada teks. Dan, ini adalah sebuah fenomena yang disebut Picture Superiority Effect.

Bahasa visual dalam kampanye, yang biasanya tertuang dalam bentuk poster, spanduk, dan lainnya selalu menjadi bagian penting.

Iwan memberikan contoh bahasa visual yang digunakan Barrack Obama dalam kampanye Pemilu Amerika Serikat pada 2008 dan 2012. Menurutnya, kampanye yang dilakukan Obama banyak ditiru oleh Capres di Indonesia di dua Pemilu terakhir.

Para pembicara dalam Diskusi Publik: Bahasa dan Kampanye Pemilu yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), di Cilandak, Kamis (9/11/2023). (VOI/Dewi)

Obama menggunakan konsep “harapan dan perubahan” pada kampanye Pemilu 2008 dan “mempertahankan perubahan” pada Pemilu empat tahun kemudian.

Untuk menggambarkan konsep perubahan ini, Obama membuat desain kampanye dengan logo huruf O, yang merupakan inisial namanya sendiri. Sementara untuk konsep “harapan”, dia memunculkan matahari terbit. Warna merah putih biru pada desain kampanye Obama diambil dari warna bendera AS.

Tidak itu, kampanye Obama juga dinilai memiliki visual yang indah karena adanya poster-poster yang seragam serta dipenuhi banyak orang sehingga menggambarkan kekompakan dari para pendukungnya.

Menurut Kenneth L. Hacker dalam “Introduction: The Importance of Candidate Images in Presidential Elections,” kampanye pemilihan adalah lebih kepada tentang kandidatnya dan bagaimana mereka menggambarkan diri mereka sendiri sebagai karakter atau orang terbaik untuk menangani isu di masyarakat atau di negara tersebut.

“Jadi yang penting bukan masalah yang ada, tapi sosok orang yang akan menangani masalah tersebut yang ditampilkan,” ujar Iwan.

Tantangan Bahasa Visual di Era Gen Z

Dalam bahasa visual, menurut Iwan, umumnya bicara mengenai dua hal yaitu asosiasi dan analogi. Asosiasi adalah sebuah usaha untuk memberikan sebuah pancingan, entah kata atau visual, yang bisa membuat seseorang mengingat hal lain.

Sementara analogi adalah sebuah perbandingan, yang dibuat untuk menggambarkan kesamaan antara dua situasi atau konsep berbeda. Analogi sering digunakan untuk membantu orang memahami konsep yang sulit dengan merujuk pada sesuatu yang lebih dikenal atau sederhana.

Konsep asosiasi dan analogi ini digunakan oleh dua kontestan, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto, pada Pilpres di dua edisi terakhir.

“Di masa 2014 dan 2019 banyak sekali yang bisa kita pelajari bagaimana mereka mengasosiasikan diri pada sebuah konsep dan bagaimana analogi-analogi yang mereka ciptakan, antara Prabowo dan Jokowi,” kata Iwan lagi.

Prabowo misalnya, yang pada Pilpres sebelumnya kerap terlihat mengenakan kemeja putih, peci hitam, serta gestur yang kemudian membuat orang mengasosiasikannya dengan Soekarno.

Prabowo Subianto dalam Rakernas Partai Gerindra 2017. Ia mengenakan pakaian yang dianggap mirip dengan Presiden Soekarno. (Wikimedia Commons)

Sementara itu, Jokowi dalam kampanyenya memanfaatkan tokoh Tintin. Tintin adalah tokoh utama dalam Petualangan Tintin, serial komik yang diciptakan oleh Herge, seorang artis dari Belgia.

Tintin termasuk salah satu tokoh yang disukai oleh berbagai kalangan usia. Jadi, bisa dikatakan Jokowi menjelma sebagai Tintin untuk mengasosiasikan bahwa dirinya adalah Capres untuk semua kalangan.

“Strategi kontestan ini (Jokowi) adalah mengasosiasikan dirinya pada sebuah tokoh yang narasinya sudah tertanam di kepala calon pemilih,” jelas Iwan.

Menjelang Pilpres 2024 yang akan digelar pada 14 Februari, bahasa visual mulai banyak digunakan. Tapi di era sekarang, penggunaan bahasa visual diyakini akan lebih menantang karena targetnya adalah anak muda dari generasi Z dan milenial.

Seperti diketahui, berdasarkan data daftar pemilih tetap Komisi Pemilihan Umum, sebanyak 56 persen adalah dari generasi Z dan milenial. Ditambah tingkat literasi yang masih rendah, maka bahasa visual untuk dapat mengikat calon pemilih adalah sebuah tantangan.

“Bahasa visual sangat penting karena kondisi media sekarang sangat banyak menggunakan visual. Ada penelitian masyarakat Indonesia itu malas baca, sehingga mereka kalau baca itu biasanya pesan-pesan pendek, headline, dan mereka bisa juga memilih hal-hal yang mereka suka saja,” kata Iwan kepada VOI.

“Bahasa visual sangat penting sebagai strategi. Bahasa visual yang digunakan sebaiknya sesuai dengan image yang ingin ditampilkan, sesuai dengan positif apa yang ingin dia tunjukkan dari Si Kontestan, dan gayanya bagaimana, sambil tetap memperhatikan siapa targetnya. Biasanya anak-anak Gen Z ketika ada bahasa visual yang tidak dia sukai dia tidak ngerti dia tinggalkan dan ini menjadi tantangan tersendiri,” ujar Iwan memungkasi.