JAKARTA – Memori hari ini, 34 tahun yang lalu, 11 Juni 1990, rakyat Peru menyambut politikus pendatang baru, Alberto Fujimori sebagai Presiden Peru terpilih. Penyambutan itu dilakukan karena Fujimori berhasil unggul dengan perolehan 56,6 persen, dibanding lawannya novelis kesohor, Mario Vargas Llosa.
Sebelumnya, Kepemimpinan Presiden Alan Garcia 1985-1990 tak membawa banyak perubahan bagi Peru. Kondisi itu membuat rakyat Peru menggantung harapan kepada calon presiden baru: Fujimori dan Mario. Pilpres 1990 jadi arena persaingan keduanya.
Presiden Peru Garcia dianggap gagal menjinakkan inflansi. Kondisi itu membuat rakyat Peru jadi korban. Pendapatan per kapita rakyat anjlok. Kemiskinan pun menjamur. Masalah itu membuat Garcia gelagapan mengambil kebijakan.
Ia sempat mengelorakan penggunaan utang luar negeri untuk membangun dan menggerakan roda pemerintahan. Ia tak mau negaranya terjebak dalam krisis. Namun, siasat itu tak banyak berhasil. Posisi itu membuat Rakyat Peru hanya dapat menggantungkan diri kepada perubahan lewat Pilpres 1990.
Pilpres itu diikuti oleh dua nama besar. Politikus pendatang baru keturunan Jepang, Fujimori dan novelis kesohor dunia, Mario. Kampanye keduanya berlangsung sengit. Rakyat Peru memprediksi dua kandidat itu akan unggul dalam Pilpres.
Kalangan masyarakat menengah ke atas dan berpendidikan tinggi mempercayai suaranya kepada Mario. Mereka dengan ekonomi ke bawah justru memilih Fujimori. Keduanya sama-sama membawa kampanye dengan narasi melawan inflasi.
Pilpres putaran pertama pun berlangsung sengit pada 8 April 1990. Fujimori dan Mario harus bersaing dengan kandidat lainnya. Mario pun menang dan Fujimori berada di posisi kedua. Namun, ia tak mencapai suara mayoritas. Kondisi itu membuat Pilpres putaran kedua akan digelar pada 10 Juni 1990.
Fujimori dan Mario mulai bersaing sengit. Mereka mulai berkampanye kembali kepada pendukungnya. Mario mulai menggunakan kecakapan intelektualnya untuk menyentuh hati rakyat Peru. Fujimori sebaliknya. Ia tampil sederhana saja.
Fujimori bak tak jauh beda dengan penampilan kaum petani lainnya. Mantan rektor itu mengunakan bahasa sederhana untuk bisa merebut hati rakyat Peru.
“Fujimori, mantan kepala universitas pertanian nasional, menggunakan bahasa yang lebih sederhana dibandingkan dengan intelektual Vargas Llosa, yang sering tampil tegang dan serius. Bertutur kata lembut dan berkacamata, Fujimori mengenakan topi dan selimut petani Andean saat ia berbicara dari belakang traktor, simbol khasnya, di daerah kumuh perkotaan yang berdebu dan desa-desa terpencil,” ungkap James F. Smith dalam tulisannya di surat kabar Los Angeles Times berjudul Fujimori Wins Peru Presidency (1990).
BACA JUGA:
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pilpres putaran kedua berlangsung pada 10 Juni 1990. Tanda-tanda kemenangan Fujimori pun hadir. Kondisi itu karena kampanye yang dilakukan Mario dianggap terlalu elitis. Banyak di antara kaum miskin kota merasa kampanye Fujimori tak menyentuh kalangan bawah.
Benar saja. Hasil hitungan cepat Pilpres mendaulat Fujimori sebagai pemenang Pilpres 1990. Suaranya sudah melampau suara mayoritas 50 persen ke atas. Kondisi itu membuat ucapan selamat berdatangan.
Pun satu hari setelahnya, atau pada 11 Juni 1990 pendukung Fujimori mulai berpesta dan turun ke jalan. Mereka menyambut pemimpinnya yang berhasil sebagai Presiden Peru terpilih. Kondisi itu membuat Fujimori segera menaikkan hajat hidup rakyat Peru sesuai janji kampanye.
Namun, Fujimori justru menjadi pemimpin tangan besi. Ia tak mau dikritik. Pun angka korupsi cukup tinggi di pemerintahannya.
“Fujimori, yang naik menjadi presiden karena dukungan kelompok pengusaha kecil serta rakyat jelata, menerapkan kebijakan makro ekonomi yang cenderung bersifat deregulasi, yang merontokan berbagai kemudahan dan subsidi yang selama ini dinikmati oleh kelompok elite tradisional.”
“Direktur Investigation of Markets, Manuel Saavedra melihat Rakyat Peru merasa, dengan 12 tahun demokrasi, yang didapat hanyalah korupsi, kebrengsekan, kekacauan, kelaparan, dan kurang gizi. Jadi, Fujimori memang harus melakukan deregulasi,” tulis Bambang Harymurti dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Kudeta Seorang Presiden (1992).