Jokowi Mengingkari COVID-19
Presiden Joko Widodo menerima vaksin (Instagram/@Jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Sehari sebelum Indonesia mencatat satu juta kasus COVID-19, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengucap syukur. Menurutnya pemerintah telah mengatasi dua krisis akibat pandemi: kesehatan dan ekonomi. Beberapa orang menganggap Jokowi itu denial alias penuh penyangkalan. Apa kira-kira alasannya?

"Kita bersyukur, Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan dua krisis tersebut dengan baik," kata Jokowi saat memberi sambutan secara virtual pada Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPL-PGI) Senin, 25 Januari.

Namun Jokowi tetap mengingatkan persoalan pandemi belum sepenuhnya berakhir. Ia meminta masyarakat tetap disiplin protokol kesehatan. Dirinya juga mengandalkan pengentasan masalah pandemi ini pada vaksin.

Direktur Center for Media and Democracy, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengkritik pernyataan Jokowi. Menurutnya pernyataan mantan Wali Kota Surakarta itu tidak jujur dan cenderung denial.

Wijayanto menjelaskan, dalam perspektif teori komunikasi krisis ada tiga hal penting yang perlu dikemukakan. "Keterbukaan atau transparansi, kejujuran, dan empati," katanya saat dihubungi VOI, Rabu, 27 Januari.

Dalam faktor kejujuran, misalnya. Kata Wijayanto kita perlu mengakui fakta bahwa COVID-19 sudah mencapai satu juta kasus. "Dan kita paling tinggi di Asia Tenggara dan Australia. Kurva kita terus naik dan puncaknya belum kelihatan jelas."

Presiden Joko Widodo (Sumber: Setkab.go.id)

Kata Wijayanto, Jokowi seharusnya mengakui bahwa situasi kita semakin buruk dan berbahaya. Optimisme Jokowi memang tak sepenuhnya salah, asal dibarengi dengan informasi mengenai situasi sebenarnya.

"Tapi bagaimana pun kita harus optimis atau bersyukur ... Tapi kalau bersyukur saja salah. Itu membuat kita jadi konsisten untuk tidak transparan tidak jujur akan situasi sebenarnya," ujar Wijayanto.

Selain itu, pernyataan Jokowi yang menyebut Indonesia berhasil mengendalikan krisis kesehatan akibat pandemi tak jelas dasarnya. Sebab kata Wijayanto faktanya tak sesuai data.

Misalnya, merujuk Our World in Data, kasus harian COVID-19 Indonesia mencapai 11.748. Angkanya jauh berada paling puncak di atas Malaysia sebanyak 3.587 kasus, Filipina 1.751 kasus, Thailand 293 kasus, Australia 7 kasus, dan Vietnam 1,4 kasus.

Bukan cuma itu. Wijayanto juga menyebut komunikasi Jokowi mengucap syukur jelang sejuta kasus COVID-19 tak menunjukkan empati kepada publik. "Sudah jelas tahu bahwa kita salah salah satu yang terburuk di Asia Tenggara bahkan di kawasan Asia Pasifik termasuk Australia."

Sumber: Ourworldindata.org

Budaya denial

Sikap pemerintah yang denial dianggap sudah mengakar sejak awal pandemi COVID-19. Faktanya bisa dengan mudah kita dapatkan di media massa bahkan Lembaga Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) membukukannya.

Dalam buku bertajuk Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi: Refleksi 2020, Outlook 2021, Wijayanto menjelaskan, selama 2020 kebijakan pemerintah di masa pandemi lebih memprioritaskan ekonomi ketimbang nyawa manusia.

"Itu yang menjelaskan mengapa corona ketika baru tiba (di Indonesia) yang terjadi adalah denial," kata Wijayanto, salah seorang yang menulis buku tersebut.

Buku itu mencatat ada sekitar sepuluh pejabat pemerintah yang sejak Januari hingga awal Maret membuat pernyataan denial mengenai virus corona baru. Padahal saat itu sudah peringatan dari ilmuwan Harvard bahkan kita tahu kasus COVID-19 sudah ada di negara tetangga, Singapura.

Lalu, pada 7 Mei, ketika kasus COVID-19 belum melandai, Indonesia malah memberlakukan kebijakan kenormalan baru. Saat itu Jokowi mendatangi pusat perbelanjaan untuk menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi sudah aman untuk dilakukan.

Ilustrasi foto di pasar tradisional (Angga Nugraha/VOI)

Kita masih bisa menyebut sikap pemerintah yang denial dari banyak kasus. Saat Pilkada Serentak 2020, misalnya. Meski sudah banyak diperingatkan termasuk LP3ES bahwa gelaran itu berbahaya terhadap pandemi, pemerintah tetap bergeming.

"Beneran, Pilkada berlangsung tiba-tiba peledakan [kasus COVID-19], meskipun memang ada pula momen Tahun Baru dan Natal. Tapi, itu artinya, pada masa-masa liburan pemerintah tidak ketat protokolnya," kata Wijayanto.

Selain Pilkada, denial pemerintah juga terlihat menjelang Lebaran. Saat publik dipusingkan dengan pernyataan pemerintah yang saling berlawanan mengenai pelarangan mudik. Publik bingung mengapa mudik dilarang sementara pulang kampung diperbolehkan. Padahal secara umum kedua istilah tersebut mirip. 

"Itu katanya dua hal yang berbeda. Namun kemudian dibantah sama menterinya mudik sama pulkam sama saja. Itu menunjukkan, kepentingan ekonomi politiklah yang lebih dominan, daripada kepentingan yang menyelamatkan nyawa warga," jelas Wijayanto.

Minta maaf bukan budaya kita

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan gaya komunikasi pemerintah yang denial sudah menjadi karakter. "Sampai sekarang kok masih belum bangun? Maksud saya, cara untuk mengatasi masalah harus mengakui kalau ada masalah."

Dari segi politik, seyogyanya pemerintah meminta maaf atas ketidakmampuannya mengatasi pandemi COVID-19. Namun sayang, "minta maaf itu bukan tradisi dari politik kita," kata Wijayanto.

Wijayanto membedah mengapa minta maaf bukan tradisi dari politik bangsa ini. Menurutnya, dalam budaya Jawa, pemimpin dianggap seperti kepala keluarga dan sebagai orang tua yang tak pernah salah. "Jadi orang tua itu enggak pernah minta maaf kepada anak."

Sementara Jokowi kata Wijayanto adalah pemimpin Jawa asal Surakarta. Oleh karena itu ia memprediksi sulit bagi Jokowi untuk minta maaf.

"Kecuali pemimpin Jawa yang sudah keluar dari budaya kejawaannya itu. Tapi Jokowi adalah pemimpin jawa dengan sebenar-benarnya. Jadi permintaan maaf itu prediksi saya tidak akan dilakukan," pungkasnya.