Kata Pengamat, Julukan Kepada Pejabat Negara dari Mahasiswa adalah Bentuk Kegelisahan dan Ketidakpercayaan
Ilustrasi (Foto: Juliana Romão on Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat julukan The King of Lip Service dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, kini giliran Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Ketua DPR RI Puan Maharani mendapat julukan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (BEM KM Unnes).

BEM KM Unnes menyebut Ma'ruf Amin sebagai The King of Silent dan Puan Maharani sebagai The Queen of Ghosting. Julukan tersebut diunggah ke akun Instagram mereka yang belakangan diretas dan menghilang.

Lantas apa yang menyebabkan mahasiswa ini memberikan julukan terhadap para pejabat tersebut?

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan apa yang dilakukan BEM UI dan BEM KM Unnes serta badan kemahasiswaan lain yang menyuarakan hal serupa adalah pertanda mereka sudah tak percaya lagi dengan pemerintah saat ini.

Selain itu, julukan ini juga muncul karena sikap pejabat tersebut bisa saja berbeda dengan janji mereka.

"Julukan-julukan itu lahir dan muncul karena pejabat tersebut banyak tak merealisasikan janjinya. Apa yang diucapkan dengan apa yang direalisasikan selalu berbeda," kata Ujang kepada VOI, Jumat, 9 Juli.

Selain itu, dia juga menyebut sikap ini bisa saja bukan hanya dirasakan oleh mahasiswa tapi juga masyarakat pada umumnya dan hal ini wajar. "Karena aspirasi dan keinginan rakyat tidak pernah didengar," tegas Ujang.

Ada banyak peristiwa yang mengindikasikan pemerintah kerap tak mendengar suara masyarakat. Salah satunya adalah saat pemerintah memutuskan merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019 lalu.

"Rakyat tidak mau tapi mereka merevisi dan sudah melemahkan serta membunuh KPK," ungkapnya.

Tak hanya revisi UU KPK, Ujang juga menyinggung pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Saat itu, masyarakat juga menolak tapi para pejabat malah kompak mengesahkan perundangan tersebut.

"Faktanya rakyat selalu dibelakangi dan dirugikan. Sehingga wajar jika rakyat, mahasiswa mulai kritis dan melawan," ujarnya.

Ujang punya saran bagi para pejabat negara untuk menghentikan julukan aneh disematkan pada mereka. Menurutnya, seluruh pejabat di pemerintahan tanpa terkecuali harus merealisasikan janji mereka.

"Pemerintah mesti merealisasikan janji kampanyenya. Realisasikan apa yang diucapkan, jangan apa yang diucapkannya A tapi yang dilakukan B. Jangan," kata Ujang.

Diberitakan sebelumnya, BEM KM Unnes menyebut Ma'ruf sebagai The King of Silent karena dia dianggap nihil eksistensi di muka publik terutama di tengah pandemi COVID-19. Padahal sebagai Wakil Presiden, Ma'ruf harusnya bisa mengisi kekosongan peran yang tak bisa diisi Presiden Jokowi.

"Secara umum, masyarakat menilai Wakil Presiden Ma'ruf Amin terlihat absen dan diam," demikian dikutip dari Instagram @bemkmunnes yang sudah hilang pada Rabu, 7 Juli.

Lebih lanjut, mereka menganggap Ma'ruf hanya sebagai legitimator kebijakan pemerintah dengan argumentasi dan klaim bias yang dikaitkan pada identitas dan agama tertentu.

"Hal ini tampak pada statement politiknya tentang halalnya BPJS dan hukum Fardlu Kifayyah melaksanakan vaksinasi COVID-19," tulis BEM KM Unnes.

Selain Ma'ruf, mereka menjuluki Ketua DPR RI Puan Maharani sebagai The Queen of Ghosting. Julukan ini diberikan BEM KM Unnes karena berbagai produk legislasi yang dihasilkan di tengah pandemi COVID-19 tak berparadigma kerakyatan dan tak berpihak pada kelompok rentan.

"(Contohnya, red) UU KPK, UU Minerba, UU Omnibus Law Ciptaker dan seterusnya, serta tidak kunjung disahkannya RUU PKS yang sebetulnya cukup mendesak dan dibutuhkan pengesahannya," ungkap mereka.

Berikutnya, sama seperti BEM UI mereka juga menjuluki Presiden Jokowi sebagai The King of Lip Service. Menurut mereka Jokowi kurang becus dalam melaksanakan tugasnya sebagai presiden dan mengingkari janji politiknya.

Hal ini tampak dengan tinjauan perbandingan fakta dan janji yang pernah disampaikan eks Gubernur DKI Jakarta tersebut selama menjabat.

"Misalnya perihal hutang negara, komitmen terhadap demokrasi dan penanganan pandemi. Meskipun tampak pemerintah melaksanakan tugas dengan semaksimal mungkin, akan tetapi fakta menunjukan hal-hal yang seringkali kontradiktif dan paradoksal," pungkas mereka.