JAKARTA - Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 akan menjadi spesial dibanding pesta demokrasi yang lain. Pilkada 2020 akan tercatat dalam sejarah karena pesta demokrasi ini diselenggarakan saat Indonesia masih darurat penyebaran COVID-19. Tentu saja, bakal banyak perbedaan pada pelaksanaan Pilkada tahun ini. Perubahan itu antara lain soal aturan, anggaran, dan prosedur penyelenggaraan yang harus sejalan dengan protokol kesehatan.
Hasil riset, sebenarnya banyak masyarakat yang ingin Pilkada tahun ini ditunda lantaran pandemi COVID-19. Survei Indikator Politik pada Juli mencatat 63 persen warga berharap agar Pilkada sebaiknya ditunda. Namun, Pilkada ini dirasa perlu sebab apabila ditunda salah satu petakanya akan mempersulit birokrasi.
Untuk itu, segala upaya dilakukan pemerintah agar Pilkada tahun ini tetap terlaksana. Beberapa dituangkan dalam peraturan dan prosedur baru yang sejalan dengan upaya penanggulangan COVID-19.
Peraturan Pilkada 2020
Untuk memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, pemerintah menelurkan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 6 Tahun 2020 atau PKPU No 6/2020. Beleid itu berisi aturan penerapan protokol kesehatan pada setiap tahapan Pilkada.
Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari dalam sebuah webinar 'Mengawal Instrumen Hukum Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi COVID-19, yang diselenggarakan KPU Kota Denpasar, Sabtu 15 Agustus lalu mengatakan, keberadaan regulasi tersebut sangat penting dalam menjaga kepastian hukum. Hal itu dapat memastikan seluruh jajaran KPU hingga tingkat dearah menerapkan dan menjalankan protokol kesehatan pencegahan COVID-19selama pelaksanaan tahapan Pilkada 2020.
Hasyim menambahkan, KPU juga menyiapkan simulasi proses pemungutan hingga penghitungan suara di tempat pemungutan suara dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 yang melibatkan Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Pada penerapannya, KPU harus mengedepankan penggunaan media digital dalam sosialisasi ataupun kampanye. Selain itu KPU juga membatasi peserta sosialisasi secara tatap muka dan membatasi jumlah massa yang mendampingi proses pendaftaran calon peserta pilkada ke KPU.
Senada dengan Hasyim, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja mengatakan, KPU dan jajarannya bersama Bawaslu menjadi agen sosialisasi penerapan protokol kesehatan di masyarakat. Menurutnya kerja sama itu menjadi terobosan dalam menangani pandemi di Indonesia.
”Jajaran panwas kecamatan juga harus ingat menjalankan protokol kesehatan saat melakukan pengawasan,” kata Bagja dalam webinar tersebut.
Selain penyelenggara, partai politik dan bakal calon yang akan hadir dalam pendaftaran juga diwajibkan untuk menerapkan protokol kesehatan. Salah satu penerapannya antara lain saat penyerahan dokumen pendaftaran bakal pasangan calon Pilkada yang diatur Pasal 49 Ayat (1) PKPU 6/2020.
Dalam beleid itu diatur dokumen yang disampaikan harus dibungkus dengan bahan yang tahan terhadap zat cair. Lalu sebelum diterima petugas, dokumen itu disemprot dahulu dengan cairan disinfektan.
Dalam aturan itu juga petugas penerima dokumen wajib mengenakan alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan sekali pakai. Aturan lainnya: membatasi jumlah orang yang ada di dalam ruangan; dilarang membuat kerumunan; penyampaian dokumen harus berjarak dan antre; seluruh pihak membawa alat tulis masing-masing; menghindari kontak fisik; penyediaan sarana sanitasi yang memadai; dan ruangan tempat kegiatan dijaga kebersihannya.
Selain proses pendaftaran, pelaksanaan kampanye dan pemungutan suara juga dipastikan akan berbeda dari kondisi normal. Pada proses kampanye aturan protokol kesehatan tercantum pada Pasal Pasal 57-64.
Yang paling akan terasa berbeda pada Pilkada 2020 ini adalah, para pasangan calon harus sebisa mungkin membatasi diri bertemu dengan khalayak ramai. Dalam aturan itu juga diatur mengenai diskusi publik yang harus dilakukan di studio Lembaga Penyiaran. Pada pendukung tak diperkenankan hadir pada acara-acara tersebut.
Sementara itu beberapa tahapan penyelenggaraan Pilkada 2020 yang berpotensi menimbulkan keramaian perlu diantisipasi. Misalnya saja saat pengadaan logistik (19 Juli-1 November 2020), produksi dan distribusi logistik (24 September-8 Desember 2020), masa kampanye (26 September-5 Desember 2020), serta pemungutan suara (9 Desember 2020).
Untuk mewujudkan peraturan tersebut pemerintah telah menambahkan anggaran penyelenggaraan Pilkada 2020. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akhir Agustus lalu, total anggaran pilkada sebesar Rp15,22 triliun. Sementara yang telah dicairkan pemerintah daerah sebanyak Rp12,01 triliun atau 92,05 persen. Sehingga masih ada 7,95 persen atau Rp1,21 triliun yang belum dicairkan.
Jumlah itu sudah termasuk anggaran tambahan sebagai biaya untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19. Untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) anggaran ditambahkan sebesar Rp4,7 triliun, Bawaslu Rp478 miliar, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Rp39 miliar, dengan didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Penentu tingkat partisipasi
Tapi, apalah arti aturan apabila tingkat partisipasi masyarakat rendah. Oleh karena itu menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini faktor krusial lain untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yakni kualitas calon kepala daerahnya itu sendiri.
"Untuk meyakinkan masyarakat bahwa pilkada itu penting dan perlu, tak bisa hanya dengan menjamin protokol kesehatan yang baik, tetapi juga membuat keyakinan kepada masyarakat bahwa pilkada ini diikuti oleh calon-calon yang kompeten dan bisa memberikan optimisme bagi perbaikan daerah di tengah situasi krisis yang sedang kita hadapi,” tutur Titi dikutip Kompas.
Oleh karena itu, lanjut Titi, kesuksesan Pilkada 2020 ini juga membutuhkan komitmen partai politik. Jangan sampai investasi yang sangat mahal ini tidak diikuti oleh lahirnya pemimpin-pemimpin yang bisa mempercepat daerah melalui masa krisis.
Kompetensi calon kepala daerah yang bertarung dalam Pilkada Serentak 2020 pada masa pandemi COVID-19 menjadi kata kunci. Hal itu karena perlunya inovasi di tengah situasi penuh ketidakpastian guna memastikan daerah yang dipimpin mengalami kemajuan.
Dalam survei Litbang Kompas mengenai persepsi publik terhadap politik dinasti, kompetensi calon pemimpin daerah berkaitan dengan kemampuan untuk berkompetisi di masa pandemi. Di antaranya keharusan untuk beradaptasi dengan model kampanye yang berubah, menjadi di ranah daring serta dari rumah ke rumah. Juga beradaptasi dengan kesulitan ekonomi yang dihadapi sebagian pihak sehubungan dengan konteks tersebut.
Daerah yang disorot
Pilkada Serentak 2020 ini akan dihelat di 270 daerah. Rinciannya adalah 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Gelaran ini seharusnya diikuti 269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.
Terdapat beberapa daerah yang mendapat sorotan tim redaksi VOI pada pertarungan politik Pilkada Serentak 2020 ini. Daerah itu di antaranya Surabaya, Tangerang Selatan, Depok, Medan, Solo, Makassar dan Sumatera Barat.
Pilkada 2020 di Solo dan Medan menjadi salah dua yang diperbincangkan karena di daerah tersebut ada calon kepala daerah yang berasal dari keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka adalah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang maju sebagai calon Wali Kota Solo dan Bobby Nasution, menantu Jokowi yang maju di Pilkada Medan.
Lalu, yang tak kalah menarik adalah Pilkada Surabaya. Pasalnya, kota tersebut sudah tidak lagi dipimpin oleh salah satu wali kota berprestasi, Tri Rismaharini. Menarik untuk memprediksi bagaimana jadinya Ibu Kota Jawa Timur pasca ditinggal dirinya di bawah pimpinan wali kota yang baru.
Selain itu di Depok, kita bisa mencoba mengukur apakah PDIP dan Gerindra sanggup mematahkan dominasi PKS. Pasalnya, partai tersebut sudah berkuasa sejak kota ini mengadakan pemilihan pertama kepala daerahnya secara langsung pada 2006.
Persiapan 2024
Pertarungan politik di Pilkada 2020 ini menjadi penting untuk persiapan ajang Pemilihan Umum 2024. Sebab menurut Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, hal tersebut akan menjadi penentu apakah sebuah partai bisa bersaing di 2024.
"Jika calon kepala daerah yang didukung oleh partai itu menang, maka kepala daerah terpilih tersebut akan berusaha memenangkan partai yang telah mendukungnya dan akan mendukung di Pilpres juga. Jadi semakin banyak memenangkan Pilkada, maka semakin mudah untuk bisa bersaing di 2024. Pilkada 2020 ini modal. Investasi politik untuk 2024," tutur Ujang kepada VOI.
Ujang mengatakan kontestasi politik Indonesia itu begitu cair. Hal itu membuat arah peta politik susah ditebak hingga Pemilu 2024.
Misalnya saja Ujang melihat duet mesra partai papan atas PDIP dan Gerindra itu kembang kempis. Mereka tak selalu mesra seperti yang kita lihat saat ini. "Kemesraan PDIP dan Gerindra hari ini tak menjamin mesra hingga 2024," kata Ujang.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai koalisi yang dibangun antara PDIP dan Gerindra ini tak dibangun atas dasar ideologi, melainkan atas dasar kepentingan dan pragmatisme belaka. Ia merasa aliansi tersebut tak berasal dari hati.
Jadi jika kepentingan keduanya sama di 2024, maka mereka akan bersatu. Begitu juga sebaliknya. Di politik Indonesia tak ada koalisi yang permanen, jadi mudah berubah sesuai kepentingan masing-masing," pungkas Ujang.