LIPI Minta Pemerintah-DPR Tunda Pilkada 2020
Ilustrasi (Foto: Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meminta pemerintah, dan DPR RI untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi COVID-19.

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor menganggap, kukuhnya kelanjutan penyelenggaraan Pilkada 2020 tak sejalan dari asas pemerintahan demokratis yang terbentuk atas dasar kehendak rakyat.

"Kami merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR agar menunda pelaksanaan Pilkada 2020. Sikap berkeras diri untuk tetap melangsungkan Pilkada 2020 bukanlah sebuah sikap bijak," kata Firman dalam diskusi webinar, Kamis, 1 Oktober.

Ada sejumlah alasan yang membuat LIPI mendorong Pilkada 2020 kembali ditunda. Menurut Firman, perkembangan kasus COVID-19 saat ini belum menggambarkan kondisi sesungguhnya. 

Apalagi pelaksanaan tes COVID-19 masih di bawah angka standar. Karenanya, pemerintah tidak bisa beralasan melanjutkan Pilkada 2020 dengan mengambil referensi dari kegiatan pemilihan negara-negara maju seperti Korea Selatan.

"Sebagai perbandingan, beberapa negara yang menyelenggarakan pemilu di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti Korea Selatan (pada 15 April 2020) dan Singapura (pada 10 Juli 2020), telah relatif dapat mengendalikan pandemi COVID-19 dengan baik," jelas dia.

Lebih lanjut, Firman melihat fakta di lapangan terkait dengan pelaksanaan tahapan-tahapan Pilkada 2020. Hal itu menunjukkan tingkat kedisiplinan masih rendah untuk mematuhi protokol kesehatan Covid-19. 

Hal ini didukung oleh perkembangan Indeks Kerawanan Pilkada 2020 yang dikeluarkan oleh Bawaslu. Ada indikasi 50 kabupaten/kota penyelenggara pilkada dengan kategori rawan penularan COVID-19 yang tinggi.

"Kerumunan massa dan arak-arakkan pendukung pasangan calon masih terus terjadi dan sulit untuk dikendalikan," tutur Firman.

Ia melanjutkan, belum ada jaminan bahwa para calon kepala daerah akan melakukan perubahan cara kampanye, karena dalam praktiknya banyak hal yang dilanggar dan terjadi penyimpangan.

"Hal itu sebagai dampak dari tradisi politik di Indonesia saat pagelaran pemilihan politik yang identik dengan kerumunan massa dan mobilisasi dukungan secara fisik secara besar-besaran (masal)," lanjut dia.

Sebagai informasi, banyaknya pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pasangan calon kepala daerah di Pilkada 2020 saat masa pendaftaran pada tanggal 4 sampai 6 September lalu menimbulkan respons banyak pihak.

Sejumlah lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah meminta pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda dengan alasan keselamatan masyarakat dari penularan COVID-19.

Tak hanya itu, Wakil Presiden RI ke-12 Jusuf Kalla juga meminta pilkada ditunda. Pun begitu dengan beberapa koalisi masyarakat sipil.

Sayangnya, pada tanggal 21 September lalu, pemerintah yakni Kementerian Dalam Negeri, DPR RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) sepakat untuk tidak menunda hari pemungutan suara Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang.