JAKARTA - Meski banyak desakan dari sejumlah pihak agar pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda, namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui juru bicaranya, Fadjroel Rachman menegaskan pesta lima tahunan sekali ini akan tetap diteruskan meski pandemi COVID-19 terjadi. Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai, sikap yang diambil oleh Presiden Jokowi ini bisa saja menimbulkan spekulasi di tengah masyarakat.
"Kengototan ini bisa saja diartikan karena ingin cepat melihat anak dan menantunya menang di Pilkada 9 Desember nanti," kata Ujang saat berbincang dengan VOI, Selasa, 22 September.
Diketahui, saat ini, anak Presiden Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka maju di Pemilihan Wali Kota Solo (Pilwalkot) Solo dan berpasangan dengan Teguh Prakosa. Sedangkan sang menantu, Bobby Nasution maju di Pemilihan Wali Kota Medan dan berpasangan dengan Aulia Rachman. Keduanya juga didukung oleh partai yang membesarkan nama Jokowi yaitu PDI Perjuangan yang berkoalisi dengan sejumlah partai lainnya seperti Partai Gerindra.
Spekulasi lain yang bisa saja muncul adalah banyaknya desakan dari para cukong yang membiayai calon kepala daerah. "Karena semakin diundur dan semakin lama mereka diundur, mereka akan semakin banyak keluar uang. Kalau dalam istilah politiknya adalah rugi bandar," tegasnya.
Sehingga, dengan banyaknya desakan terhadap pemerintah dari sejumlah pihak seperti Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, hingga Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 seharusnya Jokowi mempertimbangkan hal tersebut.
Sebab, bukan tak mungkin jika pemerintah tetap memaksa untuk melaksanakan gelaran pesta demokrasi ini di tengah pandemi COVID-19 maka jadi korbannya adalah masyarakat.
Jika Ujang menyoroti spekulasi yang akan muncul, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti justru menyoroti soal alasan pemerintah yang tak mau menunda Pilkada 2020 karena khawatir jalannya roda pemerintahan di daerah tak efektif akibat kepala daerah harus diganti dengan Penjabat Sementara (Pjs) maupun Penjabat (Pj) kepala daerah.
Menurut dia, kekhawatiran ini sebenarnya bisa diatasi dengan adanya peraturan berupa Perppu yang berisi kebijakan khusus luar biasa untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah hingga pilkada selanjutnya.
"Saya kira jika ada Perppu ini maka masalah yang dinyatakan pemerintah bisa diatasi bahkan bisa jadi kerja pemda menjadi efektif karena kepala daerah utamanya yang akan kembali maju bisa fokus bekerja untuk rakyat dalam mengatasi COVID-19 dan budget pemda bisa untuk penanganan virus itu juga," ungkapnya.
BACA JUGA:
Sementara untuk alasan pemerintah tetap melaksanakan pilkada, kata dia, bisa saja mereka melihat adanya manfaat ekonomi dalam kegiatan tersebut. Putri menyebut, aktivitas Pilkada 2020 ini memang bisa membuat perputaran ekonomi di 270 daerah terjadi dan hal ini bisa membantu perekonomian yang menurun akibat pandemi COVID-19.
Lebih lanjut Putri juga menilai, dilanjutkannya Pilkada 2020 ini memang sudah tak bisa lagi ditunda karena banyak calon kepala daerah dan partai yang sudah menyiapkan diri bahkan mengundurkan diri dari jabatan sebelumnya. Belum lagi, soal biaya politik untuk merawat konstituen jika pilkada ini ditunda bisa juga makin tinggi.
"Sehingga akan ada keberatan dari peserta pilkada jika akhirnya ditunda. Tapi DPR dan pemerintah harus mempertimbangkannya secara arif risiko menjalankan pilkada di masa pandemi ini. Ada risiko besar yang mengancam kualitas pilkada dan juga ada ancaman semakin meluasnya pandemi COVID-19," kata dia.
Diketahui, setelah Presiden Jokowi menegaskan Pilkada akan terus berjalan, DPR RI Komisi II, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat jika Pilkada tidak akan ditunda dan akan jalan terus ditengah pandemi. Keputusan ini diambil setelah mereka menyelenggarakan rapat.
"Komisi II DPR RI bersama Mendagri, Ketua KPU RI, Ketua Bawaslu RI dan Ketua DKPP RI menyepakati bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tetap dilangsungkan pada 9 Desember 2020 dengan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan COVID-19," kata Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia membacakan kesimpulan rapat di Gedung Parlemen, Senayan, Senin, 21 September.
Untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19 karena pelanggaran protokol kesehatan, Komisi II DPR RI meminta KPU untuk melakukan Revisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020. Komisi II mengusulkan enam hal dalam revisi PKPU tersebut.
"Komisi II DPR meminta KPU untuk segera merevisi PKPU Nomor 10/2020 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 6/2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Non Alam," ujar Doli.
Adapun yang menjadi usulan revisi adalah melarang pertemuan melibatkan massa atau kerumunan seperti rapat umum, konser, arakan-arakan dan lain-lain. Kedua, DPR mendorong diterapkan kampanye secara virtual. Ketiga, mewajibkan penggunaan masker handsanitizer, sabun dan alat pelindung kesehatan lainnya sebagai media kampanye.
Selanjutnya, penegakan disiplin dan sanksi hukum sesuai UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Pilkada. Serta UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hingga penerapan KUHP bagi pelanggar.
Kemudian, KPU diminta mengatur tata cara pemungutan suara khususnya bagi pemilih yang berusia rentan terhadap COVID-19. Terakhir, KPU diminta mengatur rekapitulasi suara melalui e-rekap.