JAKARTA - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Surabaya menjadi salah satu daerah yang menjadi sorotan redaksi kami. Hal ini menarik lantaran Surabaya mencari sosok yang dapat mengimbangi atau bahkan menandingi pencapaian Wali Kota Tri Rismaharini. Adakah sosok yang sanggup menggantikan Risma?
Eri-Armuji
Pilkada Surabaya akan diramaikan oleh dua pasangan bakal calon (paslon) wali kota dan wakilnya. Paslon nomor urut 1 yakni Eri Cahyadi dan Armuji. Eri-Armuji hanya diusung partai PDI Perjuangan (PDIP) dan didukung PSI.
Eri adalah seorang aparatur sipil negara (ASN) sejak 2001 di Pemerintah Kota Surabaya. Alumni Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini sempat menjabat menjadi Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang (DPRKP-CKTR) di usia ke-32 tahun.
Lalu pada 2018, Eri menjabat Kepala Bidan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya. Ia juga mengembang tugas sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau. Setelah diusung sebagai calon wali kota, ia mendaftar sebagai kader PDIP.
Sedangkan, Armuji tercatat pernah menjadi anggota DPRD Surabaya dan ia juga pernah menjabat ketua DPRD Surabaya. Saat ini, Armuji duduk sebagai anggota DPRD Jawa Timur 2019-2024.
Machfud-Mujiaman
Sementara itu, Paslon nomor urut 2 Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno didukung delapan partai pengusung, yakni Golkar, PKB, PKS, Gerindra, PPP, Demokrat, dan Nasdem. Machfud merupakan seorang Purnawirawan perwira tinggi Polri yang pernah menjabat sebagai Analis Kebijakan Utama bidang Sabhara Baharkam Polri.
Pada 2013, Machfud pernah menjabat sebagai Kapolda Maluku Utara. Setelahnya, ia dipercaya lagi sebagai Kapolda Kalimantan Selatan sampai 2015.
Kemudian, lulusan Akpol 1986 yang berpengalaman dalam bidang reserse ini dipercaya menjabat sebagai Kepala Divisi TI Polri. Dan pada 2016-2018 ia menjabat sebagai Kapolda Jatim menggantikan Irjen Pol Anton Setiadji.
Machfud memilih mantan Direktur Utama PDAM Surabaya Mujiaman, sebagai pendampingnya di Pilkada Surabaya. Mujiaman diangkat menjadi Dirut PDAM pada 2017 oleh Wali Kota Risma.
Peta politik
Pada Pemilu 2019 lalu, Surabaya merupakan basis massa PDIP. Anggota DPRD Kota Surabaya periode 2019-2024 berjumlah 50 orang didominasi oleh PDIP dengan 15 kursi.
Sementara itu, PKB, Partai Gerindra, PKS dan Partai Golkar masing-masing 5 kursi. Kemudian Demokrat 4 kursi, PSI 4 kursi, Nasdem 3 kursi dan PPP 1 kursi.
Selain itu pada Pilpres 2019, pasangan yang diusung PDIP Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapat suara lebih banyak di Surabaya ketimbang Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Jokowi-Ma'ruf berhasil meraup 1.124.966 suara, sementara Prabowo-Sandi hanya memperoleh 478.439 suara.
Boleh jadi PDIP mendominasi suara pada Pemilu tahun lalu di Surabaya. Namun hal itu belum tentu menjamin kemenangan Paslon Era-Armuji yang diusung PDIP pada Pilkada Surabaya. Pasalnya pesaing mereka, Machfud-Mujiaman diusung koalisi gemuk dari banyak partai.
Bila melihat dua hasil lembaga survei, elektabilitas para calon wali kota di Surabaya kejar-kejaran. Survei Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) misalnya, mencatat elektabilitas Eri Cahyadi mampu mengungguli kandidat lainnya seperti Machfud Arifin (MA) dan Whisnu Sakti Buana (WS).
Persentasenya terpaut jauh. Eri Cahyadi unggul dengan 38,39 persen, sedangkan Machfud Arifin dan Whisnu Sakti masing-masing hanya memperoleh 28,44 persen dan 20,38 persen.
Metode survei ARCI menggunakan stratified multistage random sampling. Jumlah responden yang diwawancara sebanyak 400 orang warga Surabaya dengan margin error sebesar 5 persen.
Sedangkan survei Lembaga Akurat Survei Terukur Indonesia (ASTI) mencatat Machfud Arifin memimpin dengan persentase mencapai 14,08 persen. Disusul Whisnu Sakti Buana dengan 9,86 persen, lalu Eri Cahyadi dengan 8,45 persen.
Namun, survei elektabilitas itu tidak mutlak. Masih banyak faktor-faktor lain yang menentukan tingkat keterpilihan calon wali kota Surabaya.
Menurut survei ARCI, pertimbangan terbesar warga Surabaya dalam memilih calon pemimpin kota mereka yakni pengalaman, sebesar 58,29 persen. Disusul faktor merakyat 15,17 persen, kejujuran 8,53 persen, berprestasi 6,16 persen, kreatif 4,27 persen, pintar atau cerdas 2,84 persen, tidak terlibat korupsi 2,37 persen.
A Flourish election chartMencari penerus Risma
Persoalan lain pada Pilkada Surabaya tahun ini adalah mencari kandidat yang bisa mengimbangi --kalau tidak menandingi-- Wali Kota Risma. Sebab, prestasi dirinya yang luar biasa, hingga bisa menjabat Wali Kota Surabaya selama dua periode.
Risma adalah wanita pertama yang terpilih sebagai Wali Kota Surabaya sepanjang sejarah. Kepiawaiannya dalam memimpin Surabaya selama dua periode diakui dunia. Terbukti dari beberapa kali dirinya masuk dalam daftar pemimpin terbaik dunia.
Selama hampir satu dekade memimpin, Risma menjadi ikon keberhasilan pembangunan Surbaya. Seperti smart city, the green city, the cultural city dan identitas lainnya.
Oleh karena itu, tugas penerus Risma nantinya menanggung amanah yang cukup besar. Pasalnya, keberhasilan Risma dalam membangun Surabaya akan menjadi patokan.
Pengamat Politik Universitas Airlangga Surabaya Siti Aminah mengatakan tak ada sosok yang dapat menandingi elektabilitas Risma. Pasalnya, sosok Risma memiliki sosok branding yang khas dan kuat. Bahkan baik Eri Cahyadi maupun Machfud Arifin malah ikut "nebeng" popularitas Risma untuk strategi Pilkada.
Menurut Aminah Risma adalah sosok pemimpin perempuan yang tangguh dan punya sosok keibuan yang kuat. "Hal tersebut mampu membuat Risma 'seolah' dekat dengan masyarakat dan menciptakan personal branding sebagai 'emak e suroboyo'. Hal ini yang absen di kedua calon walikota surabaya pada pilkada mendatang," kata Aminah saat dihubungi VOI.
Sementara itu dari segi pengalaman, kedua calon wali kota Surabaya seimbang sebab sama-sama dari aparat pemerintah. "Potensi kemenangan juga 50:50 karena klaim mereka juga dari akar rumput," tutup Aminah.
Pilkada 2020
Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 akan menjadi spesial dibanding pesta demokrasi yang lain. Pilkada 2020 akan tercatat dalam sejarah karena pesta demokrasi ini diselenggarakan saat Indonesia masih masuk masa darurat penyebaran COVID-19.
Untuk memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, pemerintah menelurkan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 6 Tahun 2020 atau PKPU No 6/2020. Beleid itu berisi aturan penerapan protokol kesehatan pada setiap tahapan Pilkada.
KPU juga menyiapkan simulasi proses pemungutan hingga penghitungan suara di tempat pemungutan suara dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 yang melibatkan Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Pada penerapannya, KPU harus mengedepankan penggunaan media digital dalam sosialisasi ataupun kampanye. Selain itu KPU juga membatasi peserta sosialisasi secara tatap muka dan membatasi jumlah massa yang mendampingi proses pendaftaran calon peserta pilkada ke KPU.
Selain penyelenggara, partai politik dan bakal calon yang akan hadir dalam pendaftaran juga diwajibkan untuk menerapkan protokol kesehatan. Salah satu penerapannya antara lain saat penyerahan dokumen pendaftaran bakal pasangan calon Pilkada yang diatur Pasal 49 Ayat (1) PKPU 6/2020.
Dalam beleid itu diatur dokumen yang disampaikan harus dibungkus dengan bahan yang tahan terhadap zat cair. Lalu sebelum diterima petugas, dokumen itu disemprot dahulu dengan cairan disinfektan.
Dalam aturan itu juga petugas penerima dokumen wajib mengenakan alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan sekali pakai. Aturan lainnya: membatasi jumlah orang yang ada di dalam ruangan; dilarang membuat kerumunan; penyampaian dokumen harus berjarak dan antre; seluruh pihak membawa alat tulis masing-masing; menghindari kontak fisik; penyediaan sarana sanitasi yang memadai; dan ruangan tempat kegiatan dijaga kebersihannya.
Selain proses pendaftaran, pelaksanaan kampanye dan pemungutan suara juga dipastikan akan berbeda dari kondisi normal. Pada proses kampanye aturan protokol kesehatan tercantum pada Pasal Pasal 57-64.
Yang paling akan terasa berbeda pada Pilkada 2020 ini adalah, para pasangan calon harus sebisa mungkin membatasi diri bertemu dengan khalayak ramai. Dalam aturan itu juga diatur mengenai diskusi publik yang harus dilakukan di studio Lembaga Penyiaran. Pada pendukung tak diperkenankan hadir pada acara-acara tersebut.
Untuk mewujudkan peraturan tersebut pemerintah telah menambahkan anggaran penyelenggaraan Pilkada 2020. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akhir Agustus lalu, total anggaran pilkada sebesar Rp15,22 triliun. Sementara yang telah dicairkan pemerintah daerah sebanyak Rp12,01 triliun atau 92,05 persen. Sehingga masih ada 7,95 persen atau Rp1,21 triliun yang belum dicairkan.
Jumlah itu sudah termasuk anggaran tambahan sebagai biaya untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19. Untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) anggaran ditambahkan sebesar Rp4,7 triliun, Bawaslu Rp478 miliar, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Rp39 miliar, dengan didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).