Berkaca dari Kasus Yudo Andreawan: Setiap Orang Harus Peduli Gangguan Kesehatan Mental
Yudo Andreawan digelandang petugas Polda Metro Jaya. (VOI/Rizky Adytra Pramana)

Bagikan:

JAKARTA – Isu gangguan kesehatan mental kembali menjadi perhatian publik pasca penangkapan Yudo Andreawan, pria berusia 25 tahun asal Bontang yang kerap membuat onar di tempat-tempat umum. Setelah ditangkap pun, Yudo masih saja berani berulah, mengamuk hingga melempar rokok ke petugas polisi.

Permasalahan gangguan kesehatan mental sebenarnya sudah sejak lama menjadi pembahasan serius para pemerhati kesehatan. Sebab bila diabaikan akan berdampak signifikan terhadap kondisi psikis dan fisik penderita. Pada akhirnya, ini pun akan memberikan beban sosial dan ekonomi terhadap negara ke depannya.

Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebut, 9,8 persen atau lebih dari 20 juta masyarakat berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, 6,1 persen atau sekitar 12 juta orang mengalami depresi, dan sekitar 450.000 orang pengidap skizofrenia atau psikosis yang merupakan gangguan jiwa berat.

Sementara hasil swaperiksa yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada April-Oktober 2020 atau sebelum puncak pandemi 1 dan 2 di Indonesia menunjukkan 67,4 persen responden mengalami gangguan cemas, 67,3 persen depresi, dan 74,2 persen alami trauma psikologi.

Jumlah itu diperkirakan meningkat pascapandemi seiring perubahan gaya hidup dan beban hidup yang semakin berat.

Ditegaskan oleh hasil survei Populix pada 16-17 September 2022 yang menyebut satu dari dua masyarakat Indonesia merasa mengalami gangguan kesehatan mental. Mayoritas dipicu oleh permasalahan keuangan atau finansial dan kesepian.

Yudo Andreawan ditangkap karena sering berbuat onar di tempat umum. (VOI/Rizky Adytia Pramana)

“Setengah dari responden tahu bahwa mereka mungkin memiliki masalah kesehatan mental, terutama di kalangan 18-24 tahun dan mereka telah menyadarinya selama enam bulan terakhir,” demikian dikutip dari hasil survei Populix.

Juga dari laporan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang menyebut satu dari tiga remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental.

Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.

DSM-5 adalah pembaharuan dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, alat taksonomik dan diagnostik yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association.

 “Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” terang Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang merupakan peneliti utama I-NAMHS seperti dilansir dari laman Universitas Gadjah Mada.

DSM-5

Ada sejumlah jenis gangguan kesehatan mental dalam DSM-5, antara lain antisocial personality disorder, narcissistic personality disorder, borderline personality disorder, dan histrionic personality disorder. Berikut penjelasannya:

  1. Antisocial personality disorder

Populer dengan sebutan psikopat atau sosiopat. Secara sederhana, orang-orang dengan gangguan ini memiliki sikap yang tidak peduli dengan lingkungan sosial yang ada. Mereka menolak aturan, norma sosial, serta hak orang lain.

Penyebabnya beragam bisa karena faktor genetik, interaksi dalam lingkungan, pola asuh, atau adanya kelainan pada fungsi otak di bagian tertentu.

  1. Narcissistic personality disorder

Orang yang mengalami gangguan kesehatan mental ini akan menganggap dirinya lebih penting dari orang lain. Mereka sangat senang dengan pujian dan terlalu percaya diri. Namun, di sisi lain tidak dapat menunjukkan empati terhadap orang lain.

Melansir dari Hellosehat, narcissist tidak suka jika diminta mengubah sikap dan perilakunya, sekalipun ia tahu bahwa apa yang dilakukannya telah menimbulkan masalah. Daripada refleksi diri, narcissist lebih suka menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya.

Ciri dan gejala narcissist sangat beragam tergantung dari tingkat keparahan. Dapat muncul sejak masa kanak-kanak atau remaja. Kendati begitu, tidak berarti ciri kepribadian ini akan berlanjut menjadi gangguan kepribadian.

  1. Borderline personality disorder

Adalah gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi cara berpikir. Seolah orang lain selalu menganggap buruk terhadapnya. Pikiran ini yang seringkali membuat penderitanya cemas, takut, depresi, atau bahkan marah yang tak terkendali tanpa sebab yang jelas. Emosi para penderita borderline personality disorder cenderung tidak terkendali.

Namun, berbeda dengan bipolar. Orang dengan borderline personality disordermood swing akan selalu terjadi. Sementara pada gangguan bipolar, ada masa ketika pengidapnya tidak merasakan gejala depresi. Mereka akan tampak tenang seperti orang-orang pada umumnya.

Belum diketahui pasti penyebab gangguan tersebut. Namun, dari sejumlah literatur, pengalaman traumatik diduga kuat mengakibatkan seseorang berisiko tinggi mengidap borderline personality disorder.

Yudo Andreawan menjadi trending topic di Twitter. Banyak pegiat Twitter yang mengulas keonaran apa saja yang telah diperbuatnya. (Twitter/@Bombomskii1)
  1. Histrionic personality disorder

Adalah gangguan mental yang membuat penderitanya memiliki keinginan berlebih untuk menjadi pusat perhatian. Cenderung memiliki emosi yang tidak stabil dan perilaku yang manipulatif.

Orang dengan histrionic personality disorder juga lebih mudah bosan dan frustasi dengan rutinitasnya. Bahkan, seperti dilansir dari Allodoc, beberapa orang dengan gangguan ini sering kali mengancam melakukan bunuh diri hanya untuk mendapat perhatian orang lain.

Ciri histrionic personality disorder umumnya terlihat lebih jelas pada masa remaja atau dewasa muda. Namun, sebagian besar penderita gangguan ini tidak menyadari bahwa dirinya mengalami itu.

Belum diketahui pasti apa penyebab histrionic personality disorder. Namun, beberapa literasi menunjukkan gangguan ini cenderung diturunkan dari keluarga atau faktor genetik.

Pola asuh orang tua yang terlalu memanjakan anaknya ketika masa kanak-kanak juga dapat menjadi salah satu faktor pendukung. Trauma masa kecil, kekerasan verbal juga menjadi faktor pendukung lainnya.

Setidaknya, kasus Yudo Andreawan bisa lebih menyadarkan masyarakat bahwa tidak hanya fisik, kesehatan mental juga sangatlah penting dalam menunjang kehidupan seseorang.

Orang dengan kesehatan mental yang baik, kata Walda Isna Nisa dalam buku ‘Penanganan Kesehatan Mental Berbasis Komunitas’ akan mampu melakukan beragam aktivitas produktif dalam hidupnya.

Ilustrasi – Gangguan kesehatan mental bisa berdampak signifikan terhadap kondisi psikis dan fisik penderita. (Pixabay)

Mampu melakukan hubungan interpersonal yang efektif dan efisien dengan orang lain, mampu beradaptasi dengan perubahan hidup yang dialami, serta mampu menyiasati kegagalan-kegagalan hidup yang dialami untuk bangkit kembali.

Untuk itu, masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dan mampu merawat anggota keluarga yang menderita gangguan dan mampu mencegah terjadinya gangguan mental baru.

“Penanganan tepat yang dilakukan oleh keluarga maupun masyarakat dapat membantu mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki penderita gangguan mental agar mereka tetap produktif,” imbuhnya.