JAKARTA – Kebutuhan pengadaan Kereta Rel Listrik (KRL) semakin mendesak. Sebanyak 10 trainset sudah memasuki usia usang tahun ini dan 19 trainset lainnya pada 2024.
PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) memang telah menandatangani kontrak pembelian 16 trainset Kereta Rel Listrik dari PT Industri Kereta Api (INKA) pada 9 Maret 2023. Namun, kereta baru rampung sekitar 2-3 tahun.
Bila harus menunggu kereta tersebut rampung, menurut pemerhati kebijakan publik dan lingkungan Agus Pambagio, berarti ada sekitar 200 ribu jiwa per hari yang terancam tidak terangkut. Meski terangkut pun kondisi dalam kereta akan semakin padat dan sumpek, terutama pada waktu-waktu sibuk.
Pada 2022 saja, data KCI menyebut pengguna Commuterline Jabodetabek mencapai lebih dari 600 ribu jiwa per hari dan tingkat kepadatan kereta masih di atas 100 persen, terutama di lintas Bogor yang mencapai 141 persen. Bahkan sebelum pandemi COVID-19, ketika pengguna mencapai angkat sekitar lebih dari 900 ribu jiwa per hari, kepadatan kereta di lintas tersebut bisa mencapai 239 persen.
Sehingga bila tidak segera diatasi, hal yang menjadi korban adalah kenyamanan penumpang. Bahkan keselamatan, bila armada KRL yang sudah uzur dipaksa terus beroperasi. Seperti kejadian beberapa waktu lalu, KRL yang seharusnya sudah pensiun berasap di Stasiun Bojonggede, Bogor.
Belum lagi persoalan kedatangan kereta. Bila lebih dari 5 menit pada jam sibuk pagi dan sore tentu akan sangat meresahkan. Jika kondisi KRL Jabodetabek memburuk, kendaraan pribadi akan semakin mengular dan mengganggu perekonomian Jabodetabek.
“Jadi, waktu terus bergulir. Ini sudah sangat mendesak. Kita saat ini sudah tidak lagi dalam tahapan berdiskusi terus-menerus,” kata Agus dalam Diskusi Publik Peningkatan Layanan Kereta Komuter untuk Pergerakan Ekonomi INSTRAN secara virtual pada 13 April 2023.
Muncul Polemik
Sebelumnya, KCI maupun KAI sebenarnya sudah beberapa kali melakukan pembahasan mengenai langkah pengembangan dan kebutuhan KRL Jabodetabek, termasuk pembahasan mengenai jaminan pendanaan dan kesiapan PT INKA membuat KRL tersebut.
KCI dengan persetujuan KAI dan Kementerian Perhubungan akhirnya memutuskan membeli KRL bekas dari Jepang. Namun, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian menolak dengan alasan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan harus membeli dari industri dalam negeri.
“Di sinilah mulai terjadi polemik,” kata Agus.
Lalu, Kemenko Marves meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mereview langsung ke Jepang. Kemudian munculah Laporan Review tertanggal 27 Maret 2023, yang secara garis besar berisi penolakan impor kereta.
“Jadi enggak karu-karuan. Ini ajaib dan BPKP patut diduga tidak memahami urgensi keperluan dari PT KCI. Sekarang, lebih baik segera putuskan. Mau beli bekas, beli baru dari INKA, atau mau dari Asemreges-asemregesan (peremajaan) silakan saja. Yang penting keretanya ada,” Agus menegaskan.
Agus saat dikonfirmasi VOI pada 14 April 2023 pun sempat mempertanyakan bagaimana mungkin BPKP bisa mereview teknis perkeretaapian komuter tanpa menyertakan atau berdiskusi dengan ahlinya, sehingga dapat membuat kesimpulan mengenai persoalan utilisasi, teknis dan pengoperasian KRL Jabodetabek?
“Sebagai contoh keanehan review terkait dengan biaya konservasi, perbaikan atau upgrade. Apakah BPKP paham akan terjadi gangguan sangat besar di suplai ketika 220 trainset berkurang karena dikonservasi, perbaikan dan upgrade atau retrofit?” tutur Agus.
BPKP, lanjut Agus, memang sangat memahami persoalan manajemen proyek dan akuntansi tetapi rasanya tidak untuk pengaturan yang bersifat teknis seperti manajemen perjalanan KRL Jabodetabek.
Lagipula, mengapa BPKP tidak membahas terlebih dahulu hasil review tersebut dengan PT KCI sebagai operator sebelum diserahkan ke Menko Marves, persis kalau BPKP mengaudit proyek? Sebelum diterbitkan laporan resmi, BPKP selalu mendiskusikan dengan pengguna tentang akurasi isi laporan.
“Jadi, saya mohon Bapak Menko berhati-hati dalam mengambil keputusan, tetapi harus cepat karena sudah sangat mendesak,” kata Agus menambahkan.
Penunjang Ekonomi
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi juga berpendapat tak jauh berbeda. Dia mempersilakan bila memang keputusannya harus impor, beli baru, atau melakukan peremajaan KRL yang penting masyarakat bisa menggunakan KRL dengan nyaman dan aman.
Sebab peran KRL dalam menunjang infrastruktur perkotaan dan perekonomian sangat vital.
Sehingga, ketika KRL didedikasikan untuk keperluan ekonomi tentu saja harus ditingkatkan keandalannya, infrastrukturnya, SDM-nya untuk mendorong KRL sebagai entitas pendorong ekonomi," ucap Tulus dalam diskusi publik tersebut.
Semua harus memiliki persepsi yang sama untuk mewujudkan itu. Pengembangan moda transportasi KRL, kata Direktur Utama PT KCI Suryawan dalam kesempatan sama, bukan hanya menjadi tugas operator. Pemerintah, pengguna, dan semua stakeholder harus sama-sama membangun ini menjadi sesuatu yang positif.
Tengok Jepang, pengguna komuter bisa mencapai 40 juta jiwa per hari. Secara infrastruktur mulai dari kapasitas stasiun, kapasitas peron, lahan parkir, hingga jumlah armada, Jepang sudah sangat siap. Dampaknya sangat positif bagi perekonomian. Pergerakan orang menjadi efektif dan efisien.
“Saya pernah berkesempatan melihat langsung kondisi itu. Dalam arti, pembangunan infrastruktur sangat penting untuk menjadikan moda transportasi ini semakin maju,” kata Suryawan.
Kalau penumpangnya semakin banyak, peronnya tidak diperluas, jumlah keretanya tidak ditambah, tentu menjadi masalah. Belum lagi rentang kedatangan kereta yang terlalu lama dan permasalahan lahan parkir.
“Kami butuh banyak support. Enggak mungkin KCI semua yang menyelesaikannya,” sambung Suryawan.
Terkait pengadaan kereta, Suryawan menegaskan akan mendukung apa pun keputusan pemerintah.
“Intinya, saat ini kami butuh sarana. Mau retrofit, beli bekas, atau beli baru silakan,” kata Suryawan menegaskan.