JAKARTA – Jelang Pemilu 2024, masing-masing partai politik mulai mengambil sikap tidak sejalan dengan partai penguasa. Presiden Jokowi, menurut Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs Khoirul Umam, kabarnya pun demikian.
Mencermati dinamika di internal pemerintahan saat ini, konon muncul perasaan di kalangan partai pemerintah mengenai dominasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang terlampau monopolistik dalam pembagian kue-kue kekuasaan. Ini bisa terlihat dari penunjukan Dito Ariotedjo sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Menurut Umam, meski tercatat sebagai kader Partai Golkar, penunjukan Dito bukanlah pilihan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
“Sebab, Airlangga kabarnya lebih menginginkan Maman Abdurrahman. Adapun pemilihan nama Dito konon lebih didorong kuat oleh proksi kekuatan politik yang sejatinya berasal dari luar jaringan Golkar,” kata Umam dalam keterangannya kepada VOI pada 10 April 2023.
Pada akhirnya, persepsi tentang dominasi dalam pembagian kue kekuasaan secara natural memunculkan upaya partai-partai pemerintah saat ini mencari titik keseimbangan baru. Saat ini belum ada satu pun partai yang berada dalam pemerintahan yang menunjukkan keseriusannya mendekat ke partai penguasa.
Alih-alih mendekat, sejumlah partai justru membangun kekuatan politiknya masing-masing. Seolah menandai adanya tendensi perlawanan untuk berhadap-hadapan dengan partai penguasa.
Contoh jelas juga terlihat dari acara Silaturahmi Ramadan Bersama Presiden di kantor DPP PAN, Jakarta pada 2 April lalu. Lima ketua umum partai hadir, tapi tidak ada satu pun perwakilan dari PDIP sebagai partai penguasa yang ikut. Bahkan, usai acara muncul wacana pembentukan koalisi besar.
Umam menilai itu merupakan langkah politik ‘mengepung’ PDIP. Dengan harapan, agar partai merah mau menyerahkan golden ticket, tidak lagi ngotot mencalonkan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 dan menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan koalisi besar.
“Menurut sejumlah informasi spekulatif lintas partai, ada ketum partai dari salah satu lima partai pemerintah yang kemarin ikut mewacanakan koalisi besar, yang belakangan ini justru kerap melakukan roadshow menemui partai-partai lain untuk menyampaikan pesan ‘asal jangan merah lagi yang berkuasa’ di 2024,” tutur Umam.
Sikap PDIP
Namun, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tampaknya tidak terperdaya oleh agenda kepentingan koalisi tersebut. PDIP membatasi ruang negosiasinya dengan menegaskan siap bergabung asal posisi Capres diserahkan kepada mereka.
Dengan pengalaman matang di belantika politik nasional, Megawati tampaknya mencium aroma ketika partainya sedang ‘dibujuk’ atau bahkan ‘didikte’.
Menurut Umam, melarang atau membatasi PDIP menggunakan haknya dalam Pilpres 2024 adalah penghinaan. Selain memiliki elektabilitas partai yang lebih tinggi, PDI Perjuangan juga punya calon presiden potensial yang elektabilitasnya juga tinggi. Mereka bahkan punya golden ticket yang bisa mengusung calonnya sendiri.
“Jika PDI Perjuangan tersinggung, ibarat kata, lebih baik tiketnya disobek daripada dipakai orang lain. Karena itu, sikap Bu Mega dan PDI Perjuangan untuk tidak menyerahkan golden ticket dan mempertegas ruang negosiasi dengan mengapling posisi Capres, merupakan langkah cerdas dan bijak untuk menyelamatkan marwah partainya,” tuturnya.
Sehingga, Umam menganggap langkah Megawati untuk tidak hadir dalam silaturahmi tersebut merupakan keputusan brilian.
“Meskipun Ketum PAN mengatakan bahwa PDI Perjuangan diundang, tapi jelas tidak ada satupun perwakilan pengurus PDI Perjuangan yang hadir. Itu pastilah atas perintah atau sepengetahuan Bu Mega. Artinya, ketika ide koalisi besar diluncurkan, maka jelas dan terang bahwa PDI Perjuangan bukan bagian dari gerbong koalisi besar tersebut,” Umam menambahkan.
Sikap diam PDIP kali ini mencerminkan keteguhan sikap sekaligus kehati-hatian dengan partai-partai yang hendak mendompleng kekuatan mesin politiknya. Ini merupakan bentuk kematangan dalam berpolitik yang siap dengan segala konsekuensi, baik menang maupun kalah dalam kontestasi.
“PDI Perjuangan tidak seperti partai-partai lain yang lemah dan tidak kuat berpuasa dari kekuasaan. PDI Perjuangan memiliki cara pandang politik ideologis dan harga diri yang tinggi dalam berdemokrasi. Ini dibuktikan ketika 10 tahun menjalankan peran opisisi,” kata Umam.
Justru menguatnya strategi politik untuk mengepung PDIP memunculkan reaksi atas positioning Jokowi di mata internal partai. Jokowi dianggap seperti kacang lupa kulitnya, seolah tidak paham dari mana dia berasal. Jokowi lebih sibuk memikirkan partai lain dari pada partainya sendiri.
“Itulah mengapa ketika di forum Rakernas Harlah ke-50 PDIP pada 10 Januari lalu, Ketum PDI Perjuangan Megawati kembali mengungkit posisi Jokowi sebagai petugas partai. Sekadar menegaskan agar Jokowi tidak lupa kedudukannya di hadapan PDI Perjuangan sendiri,” imbuh Umam.