JAKARTA – Kinerja para pegawai Kementerian Keuangan terus mendapat sorotan tajam. Maret lalu, sejumlah masyarakat dan publik figur buka suara di media sosial menceritakan pengalaman tidak mengenakkan ketika berurusan dengan petugas bea cukai maupun pajak.
Alissa Wahid, putri sulung Presiden Republik Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid menceritakan ulah petugas bea cukai di Bandara Soekarno Hatta yang berperilaku intimidatif kepadanya sekembalinya dari Taiwan. Petugas membongkar semua barang bawaannya sambil menginterogasi.
"Saya buka koper sambil dia minta paspor. Saya: ‘Cuma 3 hari di taiwan’ Petugas: ‘Kerja apa 3 hari di taiwan? Kok bawaannya koper gede? Beli apa aja? Emang dibayar berapa?’ Saya: ‘Konperensi’ Petugas: ‘Kok kamu bisa belanja & bawa barang banyak? Kamu kerja apa?’ Ndedes..," tulis Alissa masih dalam bentuk percakapan pada 20 Maret lalu.
Dia saja sempat stres diperlakukan seperti itu, bagaimana dengan para pekerja migran yang baru kembali ke Indonesia.
“Abis itu kalau pas landing di Cengkareng bareng mbak2 TKI & saya gak lagi capek, saya suka barengin PMI yg cewek, just in case. Saya saja yg anytime bisa panggil Paspampres, cukup stres diperlakukan intimidatif gitu. Apalagi mba² PMI yg gak pengalaman," sambung Alissa mengungkapkan.
Fatimah Zahratunnisa juga menceritakan pengalamannya ketika bernegosiasi dengan oknum petugas bea cukai di Bandara Soekarno Hatta agar piala yang diperolehnya dari ajang lomba menyanyi amatir di Jepang bisa sampai ke rumah.
Oknum petugas tersebut meminta uang yang disebutnya sebagai pajak sebesar Rp4,8 juta agar piala tersebut bisa keluar.
“Menang lomba kok nombok. Gak terima dong. Akhirnya ngajuin apa ya istilahnya, ribet deh butuh banyak surat lalala yang membuktikan kalo itu tuh hadiah. Sampe nunjukin video acara TV nya juga baru orang bea cukai percaya. Mana waktu di kantornya DISURUH NYANYI buat buktiin bisa nyanyi apa nggak,” kata Fatimah.
Pelaksana tugas Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo melalui akun Twitternya langsung merespon satu per satu keluhan-keluhan tersebut.
Alih-alih mereda, keluhan serupa justru masih saja bermunculan. Kinerja petugas Bea Cukai bahkan sampai menjadi ulasan media asing. Media asal Taiwan, CTS memberitakan ulah oknum petugas bea cukai yang melakukan pemerasan terhadap wisatawan asal Taiwan yang baru tiba di Bali akhir pekan lalu.
CTS dalam laporannya menerangkan, ketika tiba di Bandara Ngurah Rai, Bali, wisatawan Taiwan tersebut mengambil foto dan mengabari sopir yang akan membawa rombongan mereka.
Tak lama kemudian, oknum petugas bea cukai mendatanginya dan membawanya untuk diinterogasi. Awalnya, ia diminta membayar denda sebesar 4.000 dolar AS. Setelah bernegosiasi karena dianggap baru melakukan pelanggaran pertama, wisatawan itu hanya dikenakan denda sebesar Rp4 juta.
Bila merujuk Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 80 tahun 2017 memang ada beberapa area di bandara yang tidak diperbolehkan mengambil foto.
Yakni di tempat pemeriksaan keamanan penerbangan, tempat pengendalian keamanan penerbangan, tempat pelayanan keimigrasian, dan tempat pelayanan kepabeanan.
Namun, itu bukan kewenangan Bea Cukai. Lagipula tak ada denda khusus, pelanggar hanya diminta untuk menghapus foto.
“Kami tetap akan berusaha berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk kemudian dapat mencari tahu duduk persoalan yang sebenarnya dan berkomunikasi dengan yang bersangkutan. Dapat kami sampaikan pula, saat ini kami dalam proses berkoordinasi dengan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei,” kata Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Hatta Wardhana dalam keterangan resminya pada 13 April 2023.
Kasus Pajak Bangunan Soimah
Tak hanya bea cukai, ulah oknum pegawai Diijen Pajak juga tengah menjadi sorotan. Banyak masyarakat yang mengeluhkan berbagai hal tentang pajak. Tak jarang keluhan-keluhan itu menjadi pertanyaan seperti apa aturan yang benar.
Seperti pengakuan artis Soimah Pancawati yang pernah bermasalah dengan oknum petugas pajak ketika mendirikan bangunan. Ternyata, kegiatan membangun sendiri dengan luas bangunan minimal 200 meter persegi juga dikenakan pajak, yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022 tentang PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS). Berlaku untuk pembangunan baru maupun renovasi, baik dilakukan secara bertahap atau tidak bertahap yang tidak melebihi jangka waktu 2 tahun. Masa terutang PPN atas KMS dimulai sejak proses awal pembangunan hingga selesai dibangun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Neilmaldrin Noor, menyebutkan KMS merupakan objek PPN yang dikenakan fasilitas PPN besaran tertentu.
“Artinya, besar tarif PPN KMS atau tarif pajak membangun sendiri berbeda dengan tarif PPN umum. Tarif PPN secara umum adalah 11 persen, sedangkan tarif PPN KMS atau tarif pajak membangun sendiri adalah dikenakan tarif khusus sebesar 2,2 persen dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa seluruh biaya, tidak termasuk biaya perolehan tanah,” jelasnya seperti dilansir dari Klikpajak.
Merujuk Pasal 3 ayat 2 PMK 61/2022, tarif khusus PPN KMS sebesar 2,2 persen tersebut merupakan hasil perkalian 20 persen dengan tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 UU PPN dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Contoh membangun rumah pribadi dengan luas bangunan 300 meter persegi. Pemilik bangunan total menghabiskan biaya mencapai Rp280 juta untuk bahan baku bangunan dan pekerja bangunan.
Besaran PPN terutang atas KMS yang harus ditanggung adalah 2,2 persen x Rp280 juta yang hasilnya Rp6.160.000. Namun, rumus ini tidak berlaku bila pembangunan menggunakan jasa kontraktor yang tergolong Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam akun instagramnya pun menanggapi pengakuan Soimah dengan mengupload video penjelasan atas kasus tersebut.
“Saya meminta tim @ditjenpajakri melakukan penelitian masalah yang dialami Bu Soimah,” tulis Sri pada 9 April lalu.
“Kami akan terus melakukan perbaikan pelayanan. Terimakasih atas masukan dan kritikan yang konstruktif. Untuk Indonesia yang lebih baik,” sambungnya.
Lakukan Bersih-Bersih
Berkaca dari beragam permasalahan tersebut, Kementerian Keuangan rasanya perlu berbenah. Melakukan bersih-bersih di lingkup internal sehingga masyarakat kembali meyakini pajak yang dibayarkan memang dipergunakan untuk pembangunan, bukan justru untuk memperkaya para pegawai Kementerian Keuangan, terutama pegawai Ditjen Pajak dan Bea Cukai.
Sebab, tak dapat dipungkiri, citra para petugas pajak dan bea cukai di mata masyarakat saat ini sangat tidak baik. Terlebih, dengan mencuatnya kasus harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo yang tidak masuk akal. Serta, gaya hidup sejumlah pejabat Kementerian Keuangan yang pamer barang-barang mewah di sosial media.
Masyarakat lewat media sosial terus berharap Sri Mulyani tidak sekadar sekadar lips service untuk meredakan keriuhan publik, tetapi mampu menunjukkan kualitas dalam memberantas para ‘pencuri’ di jajarannya.
Presiden Joko Widodo secara tegas telah menginstruksikan itu. Kementerian dan lembaga harus menyusun pedoman yang jelas dan tegas mengenai apa yang boleh dan tak boleh dilakukan seorang pegawai dan pejabat negara.
“Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan harus jelas. Kemudian di Polri maupun di Kejaksaan Agung dan aparat penegak hukum lainnya juga benahi dulu di dalam, baru selesaikan dan bersihkan kementerian dan lembaga lainnya,” kata Presiden dalam sidang kabinet paripurna di Istana Merdeka, Maret lalu.
Selain itu, penting pula Kementerian Keuangan untuk lebih menggiatkan sosialisasi aturan-aturan pajak dan bea cukai agar masyarakat dapat terhindar dari ulah oknum petugas nakal.
Sejumlah literasi menunjukkan selain karena mutu pelayanan yang rendah, rendahnya kepatuhan wajib pajak juga karena ketidaktahuan. Mereka sangat menyadari pajak adalah sumber utama pendapatan negara untuk membiayai semua belanja pembangunan.
Namun, mereka tidak mengerti hukum perpajakan yang sering kali mengalami perubahan. Sementara edukasi serta informasi yang diberikan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) lebih banyak hanya sebatas iklan. Tengok kasus Soimah, berapa banyak orang yang memahami kegiatan membangun rumah bisa terkena pajak.
Mengutip pernyataan Anggota Komisi III DPR RI Santoso dalam menanggapi langkah Menko Polhukam Mahfud MD membongkar kasus di internal Kementerian Keuangan, “Lebih baik terlambat daripada tidak dilakukan sama sekali.”