Mencermati 100 Hari Kerja Ma'ruf Amin dan Menterinya dari Pengamat Politik
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sudah lebih dari 100 hari kabinet kerja pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin bekerja. Sejumlah pihak menilai perlu evaluasi hingga reshuffle menteri kabinet Indonesia Maju ini. Selain para menteri yang disoroti, kerja pendamping Jokowi, Ma'ruf Amin juga dikritisi. 

Jokowi-Ma'ruf dilantik jadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2019. Tugas pertama Ma'ruf sebagai wapres adalah pergi ke Jepang untuk menghadiri penobatan Kaisar Naruhito. Setelah itu, Ma'ruf menemani Jokowi mengumumkan dan melantik menteri Kabinet Indonesia Maju.

Ma'ruf untuk pertama kalinya mendampingi Jokowi memimpin Sidang Kabinet Paripurna perdana di Istana Merdeka, Jakarta, 24 Oktober tahun lalu. Setelah itu, kegitan Ma'ruf lebih banyak bersifat seremonial.

Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai kinerja Ma'ruf Amin belum ada yang menonjol selama 100 hari kerjanya. Bahkan, lanjutnya, peran minim Ma'ruf di pemerintahan ini dianggap sama dengan Wakil Presiden ke-11 Boediono yang juga tak menonjol saat mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono di periode 2009-2014.

"Kelihatannya posisi Ma'ruf Amin akan seperti Boediono. Tak akan menonjol. Hanya akan difungsikan Jokowi untuk acara-acara seremonial. Jangan sampai wapres hanya jadi ban serep presiden dan jangan sampai jadi bantalan," kata Ujang dihubungi VOI di Jakarta, Senin, 10 Februari.

Menurut Ujang, posisi Ma'ruf harus saling mengisi dan berbagi tugas dengan Jokowi untuk tujuan kemaslahatan bangsa. Namun, Ujang menilai, Ma'ruf hanya akan menjadi 'peran pengganti' Jokowi.

Ma'ruf, kata Ujang, harus membuktikan kinerjanya dengan baik kepada publik bahwa sebagai wakil dirinya juga memiliki peran penting. Apalagi, waktu tiga bulan pertama ini sudah cukup sebagai tahap adaptasi sebagai wakil presiden.

"Perannya hanya akan lebih banyak pada acara-acara seremonial. Atau mewakili Jokowi ketika Jokowi berhalangan. Jokowi juga tak mau ada matahari kembar. Enggak mau juga wapres terlihat menonjol," tuturnya.

Pelantikan Menteri Kabinet Indonesi Maju (Foto: setkab.go.id)

Ma'ruf memang pernah mengaku, mendapat tugas khusus dari Jokowi. Ia mengatakan, dapat beberapa tugas yang berkaitan dengan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan ekonomi. Tapi bagi Ujang kerja Ma'ruf masih tidak terlihat.

Sementara itu, Ujang juga sepakat dengan usulan reshuffle menteri kabinet Jokowi yang kerjanya tak baik. Kata dia, kerja menteri Jokowi minimalis, atau bahkan cenderung membuat kontroversial, harus direshuffle.

"Menteri kan digaji negara untuk bekerja maksimal dan bagus. Jika kinerjanya tak bagus ya kudu diganti. Karena masih banyak anak bangsa yang lain yang bisa bekerja dengan baik," tutur Ujang.

Namun, Ujang yakin, Jokowi tidak akan mengikuti atau menuruti hasil survei di luar pemerintah tentang kinerja. Menurut Ujang, Jokowi akan melakukan reshuffle dari hasil evaluasi internal pemerintah. 

"Jokowi tak akan mengambil data dari lembaga survei luar. Dia hanya akan ambil data dari lembaga survei yang dibayar oleh pemerintah. Atau menggunakan penilaian dari lembaga resmi pemerintah. Jadi Jokowi tak akan mereshuflle hanya karena ada survei itu," tuturnya.

Sebelumnya, survei Indonesia Political Opinion menyebutkan, dalam 100 hari kabinet Jokowi-Ma'ruf, ada lima kementerian yang dinilai memiliki prestasi buruk. 

Secara berurutan, mereka adalah Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Sosial, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Faktor yang membuat nilai lima kementerian itu buruk adalah isu korupsi 31 persen, membuat gaduh 18 persen, menterinya politikus 11 persen dan memiliki rekam jejak buruk 10 persen. Sisanya adalah tidak dikenal 15 persen dan faktor lainnya 15 persen. Penilaian ini berdasarkan hasil di lapangan pada 10 sampai 13 Januari 2020 terhadap 1.600 responden di seluruh Indonesia.

Meskipun baru berjalan 100 hari, sebanyak 42 persen responden setuju perlu adanya pergantian kabinet atau reshuffle. Selanjutnya, 36 persen responden mengatakan tidak perlu melakukan reshuffle, dan 22 persen lainnya tidak menyatakan pendapat. Tiga menteri yang dianggap layak untuk direshuffle adalah Menkum HAM Yasonna Laoly, Menag Fachrul Razi, dan Menkom Info Johnny G Plate.