Bagikan:

JAKARTA - Masa jabatan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang telah memasuki 100 hari menjadi momen untuk mengevaluasi program dan kinerja kepemimpinan mereka. 

Politikus PDI Perjuangan Effendi Simbolon menganggap, masa 100 hari kerja Jokori-Ma'ruf mampu menciptakan stabilitas politik karena membopong mantan rivalnya, Prabowo Subianto, masuk dalam pemerintahan. 

Meski demikian, Effendi bilang Jokowi punya kelemahan dalam menyusun tataran menteri-menteri dalam kabinet Indonesia Maju. Menurut dia, beberapa pos kementerian diisi oleh orang yang tidak memiliki rekam jejak sesuai dengan bidangnya. 

"Nah pertanyaannya adalah apakah modal (stabilitas politik) Jokowi sudah dimanfaatkan secara optimal kepada susunan kru yang ada di kapalnya Pak Jokowi ini?" ungkap Effendi dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 8 Februari. 

"Kita lihat, susunan kabinetnya ada orang-orang yang enggak ada urusannya, tapi posisinya di situ. (Misalnya) dokter jadi ahli mesin, ahli mesin jadi dokter bedah," tambah dia.

Anggota Komisi I DPR RI ini menganggap, beberapa menteri tidak bekerja maksimal selama 3 bulan kepemimpinan Jokowi. Karena itu, sejumlah menteri Jokowi perlu dievaluasi kerjanya.

Jokowi, menurutnya, memiliki banyak program di bidang ekonomi. Namun, program itu tak didukung dengan menteri di bidang keuangan. Effendi meminta Jokowi mengevaluasi Menteri Keungan Sri Mulyani. Sebab, Sri Mulyani dianggap tidak memiliki nilai jual di mata pasar.

"Kalau memang diperlukan, kenapa tidak dicari Menteri Keuangan yang fresh. Jadi, yang treasury yang punya nilai jual di pasar. Saya bukan enggak suka sama bu Sri Mulyani tetapi buktinya sampai tahun keenam ini sekarang, enggak ada poin yang menjadi nilai jual kemudian mendongkrak programnya Pak Jokowi," tutur Effendi. 

Selain Sri Mulyani, Effendi menyoroti kinerja Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan serta Menteri Pariwisata Wishnutama. Menurut Effendi, kedua menteri ini belum bekerja sesuai harapan Jokowi.

"Bagaimana Menteri Pariwisata, kok, sudah sekian bulan enggak ada program yang jelas. Ini contoh. Banyak menteri yang lain juga sama begitu. Menteri investasi, bagaimana begitu berinvestasi, mau menarik investasi," katanya. 

Kemudian, Effendi juga menyoroti kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Menurut Effendi, latar belakang Nadiem sebagai mantan bos Go-Jek tak memiliki keterkaitan dengan dunia pendidikan. 

"Saya melihat dia (Nadiem), mengurus Gojek saja begitu tega sekali. Dia membiarkan para pengendara itu mengurusin motor dan dirinya sendiri tetapi dia juga meminta bagi hasil. Bagaimana kepada orang seperti itu kemudian dimintakan dia peduli soal moral dan pendidikan," sebut Effendi. 

Usulan penghapusan menteri koordinator

Lebih lanjut, Effendi mengusulkan agar Jokowi menghapus pos menteri koordinator (menko). Sebab, ia menilai posko menko membuat birokrasi menjadi terbelit-belit. 

"Sekarang saya melihat fungsi Menko nggak terlalu efektif. Jadi, si menteri juga bingung dia bertanggung jawab ke siapa. Ke Wapres tapi kok via Menko, atau ke Presiden. Atau ke mana, atau ke KSP," ucap Effendi. 

Oleh karena itu, ia berharap agar mantan Gubernur DKI Jakarta itu untuk menghapus pos Menko dalam kabinetnya. "Kalau mau lari kencang, enggak perlu ada Menko. Semua menteri-menterinya adalah menteri yang langsung menerapkan kebijakannya," tegasnya.

Menanggapi, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian membuka kemungkinan Jokowi bakal merombak (reshuffle) sejumlah menteri di kabinetnya.  

"Saya kira Pak Jokowi akan tegas, sebab dia tidak punya beban apa-apa. Kita tunggu saja. Saya kira tidak akan lama, dalam waktu dekat," imbuh Donny.