Bagikan:

JAKARTA - Melambungnya angka kasus positif COVID-19 di Tanah Air membuat 59 negara melarang warga Indonesia memasuki negaranya. Bukan cuma itu, CDC juga mengeluarkan peringatan level tertinggi kepada warganya agar tidak memasuki Indonesia karena hal tersebut. Hal ini mencerminkan buruknya penanganan kasus COVID-19 di Indonesia yang membuat jumlah kasus terus meningkat.

Mengutip Majalah Tempo edisi 5 September 2020, salah satu negara yang membatasi kunjungan dari Indonesia yakni Malaysia. Larangan itu dilayangkan langsung Menteri Pertahanan Malaysia Ismail Sabri Yaakob pada 1 September, dan mulai berlaku Senin kemarin, 7 September.

Bukan cuma Indonesia. Pemerintah Malaysia juga melarang warganya melancong ke Filipina dan India. Pemerintah Malaysia menilai kasus positif COVID-19 di tiga negara itu meningkat tajam.

Saat itu ada lebih dari 187 ribu kasus positif di Indonesia, dengan 7.800 kematian. Pemerintah setempat tak ingin pendatang dari tiga negara itu menulari warga Malaysia.

Selain Malaysia, ada 58 negara yang juga melarang warga Indonesia masuk. Misalnya, Hungaria, Uni Emirat Arab, dan Afrika Selatan.

Menurut Duta Besar Indonesia untuk Hungaria, Abdurachman Hudiono Dimas Wahab, larangan itu sempat dilonggarkan pada Agustus lalu dengan syarat pendatang melakukan dua kali tes PCR. Namun mulai September, larangan itu kembali diperketat.

Dua pejabat pemerintah Indonesia yang dikutip Majalah Tempo menuturkan, sejak ada larangan masuk dari 59 negara, pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Mereka melobi negara tersebut untuk melonggarkan aturan itu. 

Namun banyak negara tetap menolak atau tak memberikan kepastian. Sebagian dari 59 negara itu tak hanya menilai berdasarkan jumlah kasus positif corona yang tinggi, tapi juga bagaimana kemampuan pemerintah Indonesia mengatasi pandemi.

Selain 59 negara menutup pintu masuk bagi Warga Negara Indonesia, otoritas pengendalian penyakit Amerika Serikat, CDC, juga mengeluarkan peringatan level 3 tertinggi, agar pelancong menghindari perjalanan yang tidak perlu ke Indonesia. Hal itu tak lain karena menanjaknya angka kasus COVID-19 di Indonesia.

Lewat laman resminya, CDC mengimbau agar wisatawan yang rentan terpapar COVID-19 seperti orang yang lebih tua dan punya riwayat penyakit tertentu, wajib menunda semua perjalanan termasuk yang penting sekalipun, ke Indonesia. Beberapa contoh perjalanan penting itu mencakup pekerjaan kemanusiaan, alasan medis, atau keadaan darurat keluarga.

Dalam situs itu dijelaskan risiko COVID-19 di Indonesia tergolong tinggi. Selain itu, CDC juga memberikan catatan bahwa sumber daya medis di Indonesia juga mungkin terbatas. "Jika anda sakit di Indonesia dan membutuhkan perawatan medis, sumber daya mungkin terbatas," tertulis.

Nihil

Alasan sebagian dari 59 negara yang menutup pintu untuk warga Indonesia karena buruknya penanganan pandemi oleh pemerintah Indonesia ada benarnya. Epidemiolog FKM UI, Pandu Riono bahkan merasa pandemi COVID-19 di Indonesia masih belum ditangani dengan kata lain masih nihil. 

"Emang pandemi sudah ditangani? Kan belum, baru akan ditangani," kata Pandu saat dihubungi VOI. Selama ini, kata Pandu yang digelontorkan pemerintah cuma simulasi-simulasi ekonomi. 

"Harusnya ya menangani pandemi. Kan selama ini yang digelontorkan cuma simulasi-simulasi ekonomi," ujarnya.

Menurut Pandu, pemerintah seharusnya mengutamakan penanganan pandemi terlebih dahulu baru kemudian bisa kembali meningkatkan ekonomi. "Karena enggak mungkin berbarengan, enggak mungkin masyarakat disuru melakukan banyak kegiatan, tapi penularannya masih tinggi. Atasi dulu pandeminya, baru kemudian dilonggarkan," katanya.

Pandu mencontohkan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang belum berhasil menekan penyebaran secara signifikan, namun pembatasan sudah dilonggarkan. "Jadi apabila ditanya apakah sudah menangani pandemi, jawabannya belum secara serius dilakukan," tegasnya.

Terlambat

Sementara itu, andaikan Indonesia akan memberlakukan kembali pembatasan sosial atau menerapkan kuncitara sekalipun, kata Epidemiolog Pandu Riono, hal itu sudah terlambat. "Kalau mau lockdown harus enam bulan yang lalu, baru ada dampaknya. Kalau sekarang sudah susah."

Pandu bilang, saat ini penularan virus corona baru sudah terlalu luas. Sehingga penerapan kuncitara secara nasional pun sudah tidak mungkin.

Menurut Pandu saat ini yang bisa dilakukan hanya meningkatkan pengujian, pengisolasian, dan penerapan protokol kesehatan. Masalahnya dalam tiga aspek itu saja penerapannya masih jauh panggang dari api.

"Testing aja masih jauh dari cukup. Kalau testing-nya masih kurang, bagaimana kita bisa mengidentifikasi orang-orang yang positif yang harus diisolasi," kata Pandu.

Untuk memutus penularan COVID-19, Pandu bilang, kita harus mengisolasi orang-orang yang membawa virus. Mereka, ujar Pandu, harus bisa dites dengan alat yang bagus. "Jangan pakai rapid test. Jadi semua harus pakai PCR dan tes usap," tuturnya.

Seperti diketahui, angka pengujian COVID-19 masih belum memenuhi standar WHO yakni 1:1.000 orang per pekan. Bahkan menurut pemerintah sendiri, lewat jubir Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito mengatakan jumlah pengujian Indonesia saat ini belum mencapai setengahnya, yakni baru 46,58 persen.

Sementara itu Pandu juga banyak memberikan catatan lain soal ketidakseriusan pemerintah menangani pandemi COVID-19. Ia menyinggung soal penerapan protokol kesehatan yang masih belum optimal. Hal itu dikarenakan kurangnya edukasi pentingnya menerapkan aturan kesehatan tersebut bagi masyarakat. 

"Kenapa masyarakat harus pakai masker kan harus dikasih tau alasannya, bagaimana pakai masker yang benar. Edukasinya belum ada," ujar Pandu.

Selain itu Pandu juga mengkritik soal pelayanan kesehatan Indonesia. Ia menilai banyaknya tenaga medis yang meninggal akibat tidak cukup dilindungi. 

Pandu bilang pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan harus bekerja lebih keras lagi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelayanan kesehatan Indonesia yakni soal pengadaan alat pelindung diri (APD) dan pengadaan rumah sakit khusus COVID-19. 

"Maka dari itu, artinya ada yang salah dalam pelayanan kesehatan kita. Itu yang harus diperbaiki," pungkasnya.