Bagikan:

JAKARTA - Produsen vaksin dunia tengah berlomba-lomba menciptakan vaksin COVID-19 terbaik. Setidaknya saat ini ada lebih dari 200 vaksin sedang dikembangkan di seluruh dunia. Lantas, dari sekian banyak produsen vaksin di dunia, mana yang paling mutakhir dan paling terpercaya?

Banyak laporan yang menyatakan vaksin COVID-19 akan siap diedarkan hanya dalam hitungan minggu. Dalam operasi pengadaan vaksin Amerika Serikat, "Operation Warp Speed" misalnya, melaporkan mereka memiliki pejabat yang siaga untuk mendistribusikan vaksin pada Oktober, menjelang pemilihan presiden.

Hal ini tentunya mencengangkan banyak pihak. Pasalnya, dalam kondisi normal, perlu waktu sampai sepuluh tahun untuk mengembangkan vaksin, termasuk yang paling lama adalah pada tahap pengujian. Namun para politisi Inggris, Rusia dan Amerika Serikat (AS) berencana mempersingkat prosedur tersebut menjadi kurang dari 12 bulan. 

Berbahaya

Direktur Pusat Vaksin di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Profesor Beate Kampmann mengatakan percepatan pengembangan vaksin COVID-19 yang tidak realistis sangat berbahaya. "Jika ternyata tidak berguna atau bahkan berbahaya, mungkin membahayakan seluruh program vaksin. Semakin banyak hal ini berpindah dari sains ke politik, semakin menjadi sedikit gila," kata Kampmann kepada Telegraph

Kampmann bilang pengadaan vaksin tak boleh asal. Semua vaksin baru, kata Kampmann, wajib melalui uji klinis yang komprehensif. Dan tenggat waktu 12 bulan pada analisis uji coba vaksin menurutnya tak masuk akal. "Sangat tidak bijaksana melanjutkan pemberian lisensi vaksin apa pun tanpa rekam jejak yang terbukti untuk keamanan dan kemanjuran, di negara mana pun," ujarnya.

Sementara itu WHO telah menyatakan mereka tidak berharap untuk melihat vaksin sampai pertengahan 2021. Mereka mengatakan akan terus bekerja dengan para ahli untuk menentukan standar kriteria kelayakan vaksin.

Tak lama, surat kabar AS juga memuat laporan tentang pernyataan bersama yang direncanakan beberapa perusahaan farmasi besar terkait vaksin COVID-19. Dalam pernyataan itu mereka berjanji tidak akan merilis vaksin sampai kegunaan dan keamanannya terbukti. 

Vaksin paling mutakhir

Saat ini Menurut data London School of Hygiene & Tropical Medicine ada 234 kandidat vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan. Sebanyak 39 dari jumlah itu sudah memasuki tahap uji klinis. 

Sebanyak 195 atau lebih dari 90 persen kandidat vaksin COVID-19 baru masuk tahap praklinis. Pada tahap itu, vaksin belum diuji kepada manusia. 

Sedangkan dari ratusan kandidat vaksin tersebut, baru ada delapan yang memasuki babak akhir uji klinis tahap ketiga. Dan separuhnya berasal dari China. Sisanya dari Amerika Serikat, Israel dan Rusia. 

Infografik (VOI/Raga)

Seperti diketahui, menurut otoritas pengendalian penyakit Amerika Serikat, CDC, dalam pengembangan vaksin setidaknya ada enam tahap. Pertama tahap eksplorasi, dilanjutkan dengan tahap praklinis (pre-clinical), dan uji klinis (clinical trials). 

Pada tahapan uji klinis dibagi lagi menjadi tiga fase. Fase pertama vaksin dites kepada 10-100  relawan lalu dilihat hasilnya. Tahap kedua vaksin diuji coba kepada 100-1.000 relawan. Dan tahap ketiga, vaksin dites kepada 1.000 hingga lebih dari 10.000 orang.

Setelah berhasil melewati uji klinis, tahapan akhir pembuatan vaksin yakni memproses persetujuan regulator. Setelah itu barulah vaksin bisa diproduksi massal. Dan tentu saja terakhir tahap uji kualitas tak boleh lolos dari prosedur produksi vaksin. 

Infografik (VOI/Raga)

Vaksin potensial

Dalam pengadaan vaksin COVID-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menginisiasi program COVAX. Sementara itu 172 negara telah bergabung dalam program yang dipimpin WHO, Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI), dan aliansi vaksin dunia (Gavi) ini.

Dari ratusan vaksin COVID-19 yang dikembangkan, menurut laman WHO setidaknya ada sembilan yang mendapat dukungan CEPI --kemitraan inovatif antara publik, swasta, filantropi dan organisasi secara global untuk mengembangkan vaksin guna menghentikan epidemi. Dari kesembilan produsen tersebut, tak semuanya sudah mencapai fase III. Kesembilan produsen tersebut antara lain:

  • Inovio, AS (Fase I menuju II)
  • Moderna, AS (Fase III)   
  • CureVac, Jerman (Fase I)
  • Institut Pasteur/Merck/Themis, Prancis/AS/Austria (Praklinis)
  • AstraZeneca/University of Oxford, Inggris dan Irlandia Utara (Fase III)
  • Universitas Hong Kong, China (Praklinis)
  • Novavax, AS (Fase I menuju II)
  • Clover Biopharmaceuticals, China (Fase I)
  • Universitas Queensland/CSL, Australia (Fase I)

Sembilan kandidat vaksin tersebut telah melengkapi portofolio standar pengadaan vaksin COVID-19 CEPI. Saat ini CEPI tengah mengevaluasi vaksin tersebut sebelum dipastikan dimasukkan dalam COVAX. 

Dari daftar tersebut, vaksin produksi Sinovac dan Sinopharm belum ikut serta dalam Inisiatif COVAX. Bisa jadi Sinovac termasuk dalam daftar sembilan kandidat vaksin yang ingin bergabung dengan Inisiatif COVAX.

Sembilan daftar produsen itu masih tentatif. Apabila kesembilannya lolos dari evaluasi CEPI, maka vaksin dari produsen-produsen tersebut dipastikan layak untuk didistribusikan ke berbagai negara.

Distribusi

Apabila vaksin COVID-19 telah tersedia dan aman untuk digunakan, COVAX memastikan tidak ada negara yang tertinggal untuk mengakses vaksin itu. Karena itu negara kaya diimbau untuk mendanai pengadaan vaksin di negara berkembang.

Tahun 2021 akhir diharapkan tersedia dua miliar dosis vaksin yang dapat dibagikan kepada 20 persen populasi terutama pekerja kesehatan dan kelompok penduduk paling rentan terpapar COVID-19, di 92 negara golongan ekonomi lemah dan menengah yang bergabung dalam Inisiatif COVAX. Dan Indonesia termasuk dalam 92 negara yang bisa mengakses vaksin dengan harga yang lebih murah.

Pada 25 Agustus silam sebanyak 172 negara membahas Inisiatif COVAX. Sementara 80 negara penghasilan tinggi yang mampu mendanai produksi vaksin akan menopang ongkos vaksin untuk 92 negara penghasilan rendah dan menengah. 

80 negara yang berkomitmen, di antaranya: Argentina, Brasil, Kanada, Finlandia, Yunani, Israel, Jepang, Yordania, Selandia Baru, Norwegia, Qatar, Arab Saudi, Singapura, Swiss, Uni Emirat Arab dan Inggris.